Translate

CERDAS MENURUT RASULULLAH SAW


Pada suatu kesempatan, saya meluangkan waktu untuk shalat dzuhur berjama’ah di masjid at tarbiyah UIN Maliki Malang. Shalat itu diimami oleh bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo. Setelah selesai shalat dan membaca wirid, biasanya ada salah satu dari dosen memberikan kultum. Namun setelah takmir masjid memanggil dosen yang bersangkutan dari depan mimbar, ternyata dosen tersebut tidak hadir. Sehingga bapak imam dengan senang hati bersedia untuk menggantikan dosen tersebut. Saya sangat bersyukur karena pada akhirnya beliau yang memberikan kultum atau khazanah pada siang itu. Semua jama’ah  terlihat sangat antusias untuk mendengarkan khazanah dari beliau.

Beliau pun memulai ceramahnya dengan pembukaan yang luar biasa. Sebagai prolog, beliau menceritakan bahwa beliau kini sudah menulis artikel selama 4 tahun tanpa jeda, dan artikel-artikel itu kini sudah mencapai 1456 buah. Dalam hati saya, ini sebuah keistiqomahan tingkat tinggi. Mungkin saja tahun depan beliau akan memperbarui rekor MURInya yang mana tahun lalu beliau mendapatkan rekor MURI menulis artikel selama 3 tahun berturut-turut tanpa jeda. Semua orang pasti sepakat bahwa ini sesuatu yang sangat luar biasa, seperti keluarbiasaan beliau dalam memimpin UIN Maliki Malang, yang dulunya persis seperti SD impres namun sekarang UIN Maliki Malang menjadi sebuah perguruan terbaik di kelas PTAI se indonesia. Dan itu beliau lakukkan hanya dalam satu dekade.

Kemudian beliau sedikit menyindir para civitas kampus agar senantiasa menulis juga, karena menulis merupakan suatu hal yang sangat baik. Menulis, jelas beliau, bisa mengukur kecerdasan seseorang dalam prespektif sendiri. Saya sependapat dengan beliau, karena ada sebuah perbedaan yang signifikan antara tulisan yang sudah kita tulis dulu dengan tulis yang kita tulis sekarang, dan itu bisa kita jadikan sebagai titik acuan untuk mengukur kecerdasan kita. Banyak hal yang membuat kita di katakan sebagai orang cerdas. Saya akan memfilosofikan penjelasan beliau dengan prespektif sendiri. Misalnya ketika dulu saya menanyakan sebuah konsep fisika pada guru fisika saya, kemudian beliau bisa menjelaskan. Maka beliau tentu akan di katakan sebagai orang cerdas. Ketika saya menanyakan rumus turunan di guru matematika saya, dan beliau bisa memaparkan turunan itu, maka jelas beliau juga termasuk orang yang cerdas. Begitu juga ketika saya menanyakan masalah tentang bahasa indonesia pada guru bahasa indonesia saya, atau bahasa inggris kepada guru bahasa inggris saya, dan mereka semua bisa menejelaskannya, maka merupakan sebuah kesepakatan yang umum jika mereka dikatakan orang-orang yang cerdas. Inilah paradigma yang berkembang ditengah-tengah kita saat ini bahwa, cerdas itu terkonsep hanya dalam bidang ilmu pengetahuan alam, sosial, dan bahasa. Ini merupakan kesepakatan bersama.

“Namun nabi Muhammd SAW tidak sepakat dengan pendapat kita. Pendapat mengenai syarat-syarat orang cerdas tadi.” Jelas pak imam. Saya dan semua jama’ah hanyut dalam demonstarai dari runtunan kata-kata indah nan penuh makna dari beliau. Kemudian beliau menjelaskan sebuah hadits. Dulu ada seorang sahabat nabi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang bagaiman kriteria orang cerdas. Dan Nabi SAW menjawab, ‘orang yang cerdas adalah orang yangs selalu mengingat mati.’ Dimana orang yang cerdas akan selalu menyisihakan waktunya dan mempergunakan waktu yang ada untuk senantiasa mencari bekal setelah dia mati besok. Orang yang cerdas, terang beliau, bukan orang yang selalu mengganti mobilnya, memperbanyak rumahnya, bukan juga orang yang menumpukkan hartanya setiap harinya walaupun semua itu di dapat dari pengetahuan yang dia miliki.

Saya termenung dengan klimaks beliau. Berarti menurut presepsi saya, banyak di antara para penguasa pemerintahan di negeri ini adalah orang-orang yang tidak cerdas. Mereka selalu identik dengan hal-hal yang mewah, walaupun setiap kali tampil di depan umum mereka terlihat begitu terpelajar. Mereka biasa berbicara di atas podium gedung-gedung pemerintahan yang sangat megah dan mewah dengan aksesoris jas rapi nan harum, namun ternyata selama ini kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tidak cerdas. Mereka memiliki rumah megah. Coba kita bayangkan, dalam satu rumah bisa saja ada lima buah mobil. Masing-masing untuk dia sendiri, untuk istrinya dan sisanya untuk anak-anak mereka. Dia lupa dengan mati, dia juga lupa mempersiapkan segala sesuatu untuk dijadikannya sebagai bekal setelah mati kelak. Yang ada dalam fikiran mereka hanyalah bagaimana mereka mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan selanjutnya akan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, entah untuk berlibur, bertamasya, bahkan berkeliling dunia setiap akhir pekan. Mereka lupa dengan sedekah sebagai bekal mereka nanti setelah mati. Pantas saja, Indonesia tidak penah menjadi negara maju hampir selama 65 tahun setelah mardeka. Dan hari ini apa yang dikatakan oleh nabi Muhammad ternyata terbukti. Bagimana sesuatu biasa maju, sedangkan orang-orang yang mengurusnya tidak cerdas.

Dan pertanyaannya sekarang, sepakatkah kita dengan kecerdasan ala nabi Muhammad SAW?. Jika ia, maka kehidupan ini akan berjalan dengan seimbang. Dimana para pengemban amanah rakyat disana akan melakukkan pekerjaannya dengan niatan sebagai ibadah untuk di jadikan sebagai bekal kelak setelah mati. Mereka tidak akan korupsi, mereka juga tidak akan tamak dengan harta. Mereka akan senantiasa mengunakan pengetahuan luas dan kecerdasannya untuk kepentingan hidup orang banyak. Jika mereka mempunyai harta yang lebih, maka mereka pasti akan menyisihkannya sebagai bekal mereka di akhirat nanti, dengan kata lain mereka akan rajin bersedekah. Namun jika pengetahuan yang dimilikinya hanya untuk kepentingan pribadi, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bahkan mereka mau semua kekayaan negeri ini untuk keluarganya saja, walaupn mereka pintar, namun sesungguhnya mereka tidak pintar dan tidak cerdas kalau kita mengacu kembali atas apa yang dikatakan baginda Nabi SAW di atas tadi bahwa orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati, dengan makna dia akan senatasa berbuat sesuatu untuk mencari ridho Allah SAW.

Apakah kita termasuk orang-orang yang cerdas? Selamat berfikir!!



Artikel By: Muh. Hasan Suryawan
Mhs. Jurusan Pendidikan Agama Islam di UIN Maliki Malang

KEPERCAYAAN KOMUNITAS ISLAM WATU TELU

Keberadaan aliran-aliran dalam islam yang begitu banyak mungkin sudah biasa kita dengar. Salah satu faktor munculnya aliran-aliran itu terlebih karena disebabkan oleh penafsiran setiap orang yang berbeda-beda mengenai suatu dalil. Ada aliran yang tak tanggung-tanggung langsung dikatakan sesat oleh majelis ulama terkait, dan ada pula aliran-aliran yang tetap menjujung tinggi dalil al Qur’an ataupun As sunnah sehingga keberadaan mereka tidak di permasalahkan karena memang perbedaan menurut pandangan islam adalah hikmah yang diturunkan Allah SWT, selama perbedaan itu tidak terjadi dalam masalah tauhid dan pokok-pokok ajaran islam lainnya. Namun bagaimana jika ada suatu aliran dalam islam yang lahir dari suatu kultur yang dibawa turun temurun yang dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Salah satunya contohnya dapat kita temukan di komunitas wetu telu yang berada di kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB.
 
Para pengikut wetu telu mengaku diri mereka beragama islam tapi pada kenyataannya mereka masih jauh dari apa yang sudah di jalani oleh orang-orang muslim pada umumnya atau islam waktu lima. Komunitas watu telu mencampur adukkan antara kegiatan ibadah dengan adat istiadat. Mereka memiliki cara yang berbeda dalam menjalani kegiatan ibadah dengan islam waktu lima. Dalam bahasa indonesia, Wetu berarti waktu dan telu yang berarti tiga. Dalam situs Wikipedia, dijelaskan bahwa Wetu Telu (Bahasa Indonesia=waktu tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku sasak yang mendiami pulau lombok dalam menjalankan agama islam.

Sejalan dengan artinya, komunitas watu telu menjalani syari’at islam serba tiga kali. Misalnya mereka menjalankan rukun islam hanya tiga; diantaranya Syahadat, Shalat dan Puasa. Merekapun membagi waktu shalat menjadi tiga waktu saja, yakni subuh, magrib dan isya’. Demikian juga halnya dengan ibadah puasa, mereka tidak menjalani puasa sebulan penuh seperti yang dijalani islam waktu lima, melainkan hanya berpuasa di awal bulan ramadhan, pertengahan dan akhir bulannya saja. Walaupun kepercayaan yang sudah begitu menyimpangnya dari syari’at islam waktu lima dan perbedaan semacam ini tidak boleh ada, namun islam waktu lima, khususnya yang berada di Lombok mengatakan ajaran wetu telu tidak sesat. Hanya saja mereka butuh dakwah yang lebih gencar, kemudian meluruskan pemahaman agama mereka selama ini, karena kemunculan komunitas wetu telu yang membawa sekian kebiasaan ibadah yang berbeda itu bukan lahir di era dakwah yang sudah maju seperti saat sekarang ini, melainkan sebuah masalah yang timbul akibat budaya yang dijalani turun temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Menurut sejarahnya, kecamatan Bayan, tempat dimana komunitas ini bermukim merupakan tempat yang dulunya dakwah islam pertama kali masuk ke pulau Lombok. Tak heran jika timbul suatu kepercayaan seperti watu telu di daerah ini. Di daerah Bayan ini juga, terdapat sebuah Masjid Kuno yang di jadikan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Pusat yang disebut-sebut sebagai masjid pertama kali di bangun di pulau Lombok. Selain menjalani ibadah yang serba tiga, komunitas watu telu juga mempunyai ritual-ritual untuk memuja para roh leluhur. Mereka masih meyakini adanya roh para leluhur yang akan menjadikan perantara mereka dengan Tuhan, karena roh leluhur hidup di alam halus dan alam halus sangat dekat dengan Tuhan. Menurut mitos komunitas wetu telu, jika ritual-ritual tidak dilaksanakan, maka roh leluhur akan murka dan menurunkan musibah untuk mereka.

Keberadaan Wetu Telu sebagai varian Islam di Lombok sudah ada sejak lama. Hanya saja tidak ada suatu keterangan pasti yang menunjukkan asal-usul Islam Wetu Telu. Juga tiada seorang pun yang dapat mendeskripsikan atau yang memberikaan penjelasan secara persis kapan dan dimana istilah tersebut mulai dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat Islam pulau Lombok.

Pendapat masyarakat Lombok pun berbeda-beda dalam memahami latar belakang dari kebiasaan ibadah dari komunitas watu telu. Pendapat yang paling populer mengenai masalah ini adalah karena dakwah yang tidak sempurna pada saat penyebaran islam pada waktu itu, sehingga mereka hanya mendapatkan perintah syi’ar hanya tiga. Namun masyarakat islam sasak secara umum berpendapat bahwa komunitas watu telu benar-benar telah terbenam dalam praktek-praktek adat mereka. Demikianlah pendapat masyarakat islam waktu lima yang berekembang selama ini. Namun lain halnya dengan kutipan dari Dr. Erni Budiawanti, dalam bukunya yang bertajuk “Islam Sasak, Watu Telu Versus Waktu Lima”, menjelaskan bahwa menurut pendapat pemimpin komunitas wetu telu, yang di sebut juga dengan istilah Pemangku Adat, menyatakan tidak setuju jika istilah wetu di kaitkan dengan istilah waktu. Pemangku adat menjelaskan lebih dalam lagi bahwa asal kata wetu itu adalah metu, yang berari muncul. Hal ini terkait dengan munculnya makhluk hidup dari tiga reproduksi; Melahirkan (menganak), Bertelur (menteluk), dan Benih/biji (mentiuk). Ketiga macam jalur reproduksi tersebut merupakan makna harfiah wetu atau metu telu. Tetapi fokus kepercayaan wetu telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi. Kata tersebut memiliki makna yang lebih rumit lagi. Pemangku kembali menjelaskan  “wetu telu tidak hanya menunjukkan pada tiga macam sistem reproduksi, melainkan juga menunjukkan pada kemahkuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.”

Lebih lanjut lagi Pemangku menjelaskan bahwa wetu telu juga melambangkan ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menerangkakn hal ini, ia membagi wilayah kosmologis menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad besar juga ia sebut sebagai mayapada atau alam raya, yang terdiri dari; dunia, matahari, bulan, bintang dan pelanet lain. Sedangkan manusia dan makhluk lainya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta. Ketergantungan semacam itu menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan dan karena itulah tatanana alam (kosmologis) bekerja. Pemangku adat juga mengatakan bahwa leluhur manusia yang tertua adalah nabi Adam dan Siti Hawa. Sehingga mereka sangat mengagungkan Adam dan Siti Hawa, dismping mereka mengagungkan Allah SWT juga. Dari sinilah makna ‘tiga’ yang manjadi background kegiatan ibadah komunitas wetu telu.

Terlepas dari masalah latarbelakang kepercayaan di atas, wetu telu jelas telah menyimpang dari ajaran agama islam yang sebenarnya. Kegiatan dakwahpun tak pelak menjadi kenyataan yang harus di hadapi komunitas wetu telu. Dimulai dari seorang kyai yang bernama TGH. Mutawali (TGH berarti ‘Tuan Guru Haji’ yang merupakan sebutan untuk ulama yang berada di pulau lombok), yang memulai dakwahnya pada tahun 1960-an. Stelah itu di tahun 1970-an, banyak kyai-kyai lain yang mengambil bagian dari dakwah ini, seperti TGH. Zainuddin Abdul Majid (pendiri organisasi Nahdatul Wathan), TGH. Ahmad, TGH. Hazmi Azhar, dan TGH. Safwan Hakim.

Adapun dakwah-dakwah yang dilakukkan terpusat di masjid-masjid yang terwujud dalam kegiatan ceramah-ceramah, contohnya pada saat khotbah jum’at ataupun pengajian-pengajian umum lainnya. Dakwah juga dilakukkan di tingkat madrasah-madrasah, namun hal ini tidak begitu efektif, walaupun pendidikan yang di janjikan gratis, tapi anak yang bersekolah disana kebanyakan anak-anak yang berasal dari keluarga prasejahtera, dan tidak terlihat anak-anak asli dari keluarga bayan penganut wetu telu. Karena pelajaran tuhid, akidah, fiqih dan akhlak menurut komunitas wetu telu sangat bertentangan dengan kepercayaan religius komunitas wetu telu. Mereka yang konservatif dengan adat sangat takut jika kutukan dari roh leluhur menimpa anak-anak mereka jika dibiarkan mengenyam pendidikan yang bertentangan dengan kepercayaan mereka. Namun dalam islam, dakwah adalah upaya yang tiada akhir. Segala aspekpun dilibatkan dalam misi dakwah ini, baik dalam aspek perekonomian ataupun perpolitikan, dan itu berlangsung hingga sekarang.

Komunitas wetu telu kini berada di dalam posisi yang sangat terjepit yang dihadapkan pada agresi kultural kaum waktu lima. Dengan memperhitungkan peningkatan penetrasi gerakan islam ortodoks, beriringan dengan ketatnya kontrol pemerintah dan pembangunan perekonomian baru di Bayan, saya yakin lama kelamaan integritas dan pandangan religius komunitas wetu telu akan mengalami transformasi. Dengan kata lain, dibawah tekanan terus-menerus dari kekuatan-kekuatan eksternal itu, lambat laun setidak-tidaknya akan memberikan paradigma baru bagi komunitas wetu telu mengenai kepercayaan mereka sendiri. Studi penelitian yang lebih up to date dan dilakukakn secara komperhensif dengan rentan waktu yang lama akan memberiakan pemahaman yang lebih jelas mengenai tarnsformasi sosio-kultural dan religius dalam masyarakat indonesia kontemporer.




Artikel By: Hasan Suryawan.
NIM: 11110052
NB: Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir UAS mata kuliah Teologi Islam dari Bapak Imam Syarqowi, M.Pd.

Semoga Bermanfaat,,
Malang, 23 Juli 2012

MENULIS ARTIKEL


 

             Buat teman-teman PAI, khususnya yang di kelas G. Sebelum kita mengerjakan tugas Teologi Islam, yang dari bapak dosennya nyuruh kita buat sebuah artikel. Hmm sebenarnya apa sih artikel itu?. Sek sek,, tak jelasin yahh...

Artikel itu tulisan pribadi di media massa/jurnal ilmiah yang merespon sebuah fenomena. Karena sifat di media massa yang memiliki halaman terbatas, maka fenomena yang dibahas hanya sepintas saja, inti gagasan yang lebih kuat ditekankan, dan itu sangat tergantung pada subyektivitas penulisnya. Jadi pemahaman penuis atas masalah yang ada mau diangkat sangat penting. Terus ada yang tanya, bagaimana cara supaya kita paham tentang masalah yang kita tulis??? Hufs,, gampang kok, diantanya adalah banyak baca buku, sering share ma temen-temenmu tentang masalah yang mau di angkat, atau kalo nggak ya cara yang paling simple, yaitu Browsing..

Orisinalitas karya/gagasan amat menentukan bukan hanya bobot karya, tetapi juga bobot atau kualitas penulisnya. Ragamnya fenomena, mendorong orang untuk melakukan klasifikasi. Secara umum klasifikasi artikel adalah:

1. Arikel Politik: Soal DPR, strategi militer, masa depan politik. Lahirnya sebuah gerakan, dsb..

2. Artikel sosial: Persoalan BLT, penanganan gempa, pengemis dan gelandangan.

3. Artikel ekonomi: perhitungan kebijakan kenaikan BBM, tanggapan terhadap perhitungan RAPBN dan sebagainya.

4. artikel budaya: di samping pentas kesenian persoalan humaniora, sejarah.

Namun Pembagian atau klasifikasi itu tidak kaku. Bahkan terkadang masing-masing kelas tidak mampu mewadahi, karena masing-masing klasifikasi bisa saling mempengaruhi. Misalnya karya artikel tentang tinjuan politik ekonomi kita atau sejarah politik.

Diluar artikel semacam itu, masih ada bentuk-bentuk artikel lain yang kini sedang populer. Misalnya artikel-artikel kiat. Cukup banyak memburu artikel semacam ini. Banyak ragamnya, misalnya kiat kesuksesan, tips belajar yang baik, resep makanan,  atau malah bisa saja kita membuat artikel cara hebat mensukseskan hubungan seksual misalnya. Artikel petunjuk praktis itu cukup laku di pasaran.

Ada satu lagi arikel, yang disebut sebagai resensi buku. Ini juga tergolong sebagai artikel. Hanya saja dalam resensi buku kupasan dibatasi oleh isi buku itu sendiri. Artinya, sama-sama menganalisa, tetapi seorang penulis resensi sudah dipatok untuk menganalisa sebuah buku. Menganalisa atau meresensi sebuah buku, menurut sastrawan Budi Dharma, bukan saja membuat abstraksi atau meringkas isi buku. Lebih dari itu, meresensi buku adalah merefleksikan isi buku dengan kondisi kekinian. Atau, sebisa mungkin kita berusaha mengaktualkan isi buku menjadi bagian yang penting dalam hidup kita. Contoh Resensi buku Maxhavelaar oleh Maria wartawati kompas.

Mungkin artikel yang sejenis ini yang hendak kita tulis. Meresensi sebuah buku yang berisi tentang pemahaman atau aliran-aliran yang terjadi di era sekarang ini. Terus..

                      Bagaimana Menulis Artikel ?

Kalo mau nulis artikel itu, keterampilan berbahasa dan tulis menulis memang menjadi modal yang utama. Kekayaan kosa kata bisa menolong seorang penulis artikel. Karena itu memperkaya diri kosa kata dan berlatih mengolah kata menjadi kalimat, sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin belajar menulis artikel.

Namun bagusnya sebuah karya artikel tidak bisa hanya ditentukan oleh keterampilan menulis. Sebagus apa kita merangkai kata, hanya akan bermakna kosong kalau di dalamnya tidak dimasuki pengetahuan-pengetahuan aktual yang kita miliki. Akan bermakna kosong, kalau kita tidak memiliki daya analisis yang tajam terhadap sebuah persoalan. Ini artinya pengetahuan memegang kunci bobot penulisan kita, bukan kata-kata yang indah. Bahkan pengamat pers Ashadi Siregar berpendapat : Dalam sebuah bangun tulisan, 80 persen ditentukan oleh tingkat intelektualitas kita, seberapa dalam kita memehami persoalan. Sedang 20 persen sisanya adalah keterapmpilan penulisan.

Sudah barang pasti, untuk mengembangkan pengetahuan, membaca adalah kegiatan penunjang yang efektif (anak SD jug tau kan). Membaca adalah bagian dari hidup seseorang yang ingin menulis sebuah artikel atau menulis tulisan-tulisan yang lain. Kita akan menjadi penulis yang baik, manakala kita bisa menjadi pembaca yang baik. Apa saja bisa kita baca. Dengan itu penumpukan ide akan terjadi. Jadikan sebuah bacaan atau pengalaman menjadi naluri gerak hidup kita. (ilustraisi orgel gereja Blenduk Semarang).

Adapun langkah-langkahnya nihh..


Ambil Lepi anda, hidupkan, dan mulailah menulis.. “Karena dalam menulis itu yang terpenting adalah aksi bukan hanya orientasi.” (Hasan Suryawan: 2012)



Artikel By: Hasan Suryawan

IKHLAS MELUPAKAN DENGAN CINTA


Ungkapan ‘cinta tak harus memiliki’ sebenarnya ungkapan yang bertujuan untuk melepas seorang yang kita cintai tapi tak kunjung untuk di miliki. Namun pada kenyataannya ungkapan ini kadang di taruh pada tempat yang kurang tepat. Bagi sebagian orang, mereka menggunakan ungkapan di atas untuk menguatkan hati untuk terus bertahan mencintai seseorang yang sudah jelas menepukkan cintanya di sebelah tangannya sendiri atau tak kunjung ia dapatkan namun terus mencintai sang pujaan hatinya dari belakang. Bukankah itu artinya menyakiti diri sendiri. Mungkin dengan ungkapan ‘cinta tak harus miliki’ ini juga mereka beranggapan bahwa cinta itu tak harus memiliki, cukup kita mencintai dia, melihat dia bahagia walaupun dengan orang lain maka hati kita akan bahagia dan tenang. Bagaimana hal itu itu terjadi?. Apakah ini sekedar retorika belaka untuk menguatkan hati yang sedang di tepuk sebelah tangan dengan cinta?. Jika niat selanjutnya memang ingin melupakan sang pujaan hati, maka penggunaan ungkapan di atas tepat. Tapi kurang tepat jika penguatan hati dari ungkapan ‘cinta tak harus miliki’ di gunakan untuk tetap tegar di belakang sang pujaan secara kontinu, walaupaun sang pujaan hati sudah mencintai orang lain.

Sebelum lebih lanjut menerangkan antara mencintai dan kehilangan itu seprti apa, maka timbul satu pertanyaan sederhana. Apakah cinta kepada sesama makhluk itu sama dengan rasa cinta kita kepada Allah?. Mungkin bagi sebagian orang mengatakan beda. Tapi mengapa cinta kita kepada Allah bisa di filosofikan dengan cinta yang terjadi di antara sesama manusia. Jadi sebenarnya cinta itu sama. Kesamaan ini di dukung pula oleh Intentitas kecintaan kita kepada Allah yang bisa di ukur oleh filosofi kecintaan kita pada manusia. Seberapa cinta anda dengan Allah. Maka jawablah setelah membaca pernyataan di bawah ini.

Ketika orang yang anda cintai, misalnya pacar anda mencubit anda, maka jelas akan terasa sakit. Tapi pada hakekatnya anda mau di cubit lagi bukan?. Begitu pula dengan cubitan dari Allah. Cobaan/cubitan dari Allah yang di turunkan itu memang akan tersa sakit, tapi jika kita benar-benar mencintai Allah pasti kita mau di cubit lagi. Inilah cinta yang sesungguhnya, yang akan melahirkan sebuah keikhlasan atau keridhoan bagi siapa saja yang memilikinya. Banyak cobaan tidak menjadi masalah jika kita mencintai Allah dengan setulus hati, bahkan yang lebih extrim lagi ketika kita meminta cobaan/cubitan lagi dari Allah. Namun jika yang kita rasakkan hanya keluh kesah dan putus asa, berarti cinta kita pada Allah SWT nihil, only in the mouth.

Maka kaitannya dengan paragraf pertama di atas bahwa, jika kita benar-benar mencintai seseorang maka akan ada keikhlasan atas apa yang ia perbuat, termasuk menolak kita. Selanjutnya hati kita akan merasa ikhlas atas keputusannya secara lahir maupun batin. Ketika kita merasa ikhlas, bukankah itu artinya kita harus melupakannya. Karena kehadiran kita terkadang membebani dia. Kalau kita tidak bisa melupakan orang yang kita cintai, maka cinta kita perlu di pertanyakan ketulusannya. Mungkin kita punya niat lain, yang tidak hanya sekedar berniat untuk mencintai dia.

Lepas dari segala gambaran di atas, mari kita kembalikan segala sesuatu pada Allah SWT sebagai pemilik yang menghendaki dengan siapa makhlukNya berjodoh. Tetap husnudzhan dengan takdirnya, karena keputusan Allah SWT selalu yang terbaik. Rencana kita boleh indah, tapi jangan lupakan bahwa rencana Allah lah yang terindah.


Artikel by: M. Hasan Suryawan
NB: tema terinspirasi dari orang lain.

SAATNYA PENCETAKAN INSAN ULUL ALBAB YANG SESUNGGUHNYA

Menjadi seorang yang ulul albab tidak segampang membalikkan telapak tangan. Perlu sekian pengorbanan, baik waktu, tenaga, biaya, bahkan pengorbanan hati yang harus selalu memelihara dan menjaga sebuah kesabaran. Demikianlah sebuah kesimpulan yang menggambarkan betapa kami telah melewati masa-masa penuh perjuangan selama satu tahun penuh, terhitung sejak kami menjadi maba di UIN Maliki Malang angkatan 2011/2012.

Tinggal di ma’had dengan jadwal yang sangat padat sejak subuh adalah sebagian kecil dari aktifitas kami. Selain menjalani perkuliahan reguler, kamipun harus mengikuti perkuliahan bahasa arab secara kontinu setiap harinya sampai hari jum’at, mulai dari jam 2 siang hingga jam 8 malam. Tak heran jika begadang menjadi pilihan satu-satunya jikalau ada tugas-tugas dari perkuliahan reguler. Parahnya lagi setelah begadang hingga larut malam, kami sudah harus bangun saat adzan subuh tiba, karena kami harus melaksanakan shalat subuh berjamaah di Masjid at Tarbiyah. Selesai jamaah subuh, kami semua harus mengikuti kegiatan Ma’had, diantaranya subahullugoh (mentoring bahasa arab dan inggris) dan ta’lim (kitab kuning dan Al qur’an) sampai pukul 7 pagi. Kegiatan seperti itu terus berulang setiap harinya, kecuali hari free, yaitu sabtu dan minggu. Jika ada mahasantri yang malas, maka siap-siap dengan iqob (hukuman) yang sudah menunggu. Mulai dari iqob ringan, sedang, sampai iqob berat.

Siangnya, tepat pukul 2 siang, perkuliahan bahasa arab atau yang di namakan dengan  PKPBA sudah di mulai. Perkuliahan itu berlangsung sampai jam 8 malam, disampaing ada waktu jeda untuk istirahat, mandi, dan shalat magrib.

Kami tidak bisa serta merta meremehkan kegiatan-kegiatan di atas. Selain perkuliahan PKPBA yang menyumbang 6 SKS dalam satu semester, kegiataan ma’had pun berpengaruh dalam bidang akademik Mahasiwa. Walaupun tidak mendapat SKS secara langsung seperti perkuliahan bahasa arab tadi, namun kegiatan ma’had akan menetukan lulus atau tidak semua mahasiswa pada akhir tahunnya. Jika lulus ma’ad, maka mata kuliah agama pada semester selanjutnya bisa di program; jika tidak lulus, maka mahasiswa bersangkutan tidak dapat memrogram mata kuliah agama yang  telah di jatahkan. Ini jelas akan menunda wisuda, satu hingga dua semester.

Pada intinya, semua kegiatan-kegiatan tersebut menuntut kami untuk mahir menggunakan dua bahasa, yaitu arab dan bahasa inggris. Hal itu bertujuan agar kami bisa mendalami ilmu dari literatur-literatur barat yang memakai bahasa inggris dan mengkaji ilmu agama yang ada di kitab-kitab kuning yang menggunakan bahasa arab. Ini merupakan pembekalan untuk menjadi insan ulul albab yang akan mengintegralkan antara pengetahuan umum ke dalam ranah agama. Atau dalam bahasa kontemporernya ‘mengislamisasikan ilmu’. Dimana jurusan-jurusan umum yang ada di kamus UIN Maliki Malang, seperti biologi, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran dan sebagainya, harus bisa mengintegralkannya dengan ilmu agama islam. Sehingga harapan kampus, alumni UIN Maliki Malang akan menjadi insan ‘Profesional Yang Ulama’ ataupun ‘Ulama Yang Profesional’. Disamping itu juga memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keleluasaan ilmu dan kematangan profesional. Inilah sedikit gambran insan ulul albab yang di harapkan oleh kampus UIN Maliki Malang bagi alumni-alumninya, dimana ulul albab dalam kehidupannya akan melakukkan dzikir, fikir dan amal shaleh, seperti dalam kutipan surat Al imron ayat 190-191, yang menjadi dasar berdirinya kampus UIN Maliki Malang.

Walaupun kami sudah tahu, kegiatan-kegiatan yang super padat itu di adakan sebagai bekal untuk menjadi insan ulul albab, namun kadang ada rasa malas dan lelah untuk menjalaninya. Bagi kami itu wajar. Yang terpenting adalah bagaimana kami bisa menyikapinya dengan positif dan selanjutnya dapat bersemangat kembali menjalani rutinitas-rutinitas itu.

Kalau saya pribadi, untuk menyikapi masalah malas yang kadang-kadang timbul di dalam hati itu perlu adanya satu konsep yang ampuh. Ada satu kata bijak yang menjadi dasar konsep yang saya miliki, yaitu “jika kamu sedang terpuruk, maka teruslah terpuruk, bila perlu sampai ke dasar keterpurukan yang paling dalam, karena dengan begitu tidak ada jalan lagi untukmu kecuali ke atas”. Saat saya sedang merasa malas, misalnya dengan perkuliahan bahsa arab, maka saya hari itu tidak akan masuk selama sehari penuh, dan mengisinya dengan jadwal tidur serta mengarkjakan hal-hal yang sebanarnya tidak bermanfaat. Inilah cara instant untuk berada di dasar kemalasan, hanya satu hari. Hari esoknya semangat akan kembali ada. Memang konsep ini agak nakal. Tapi setidaknya lebih baik daripada malas yang di pelihara ngambang, hingga menimbulkan niat setengah hati. Seperti salah satu teman saya yang mengambangkan rasa malasnya dan berdampak hingga berhari-hari. Kadang kuliah kadang tidak. Saat kuliah niatnya pun setengah-setengah, ilmu akan ngambang pula.

Namun sekarang, tak terasa satu tahun sudah aktifitas yang super padat itu kami jalani. Selanjutnya kami akan gunakan hasil studi selama satu tahun tadi di semester selanjutnya, yakni mulai dari semester tiga dan seterusnya. Inilah pencetakan insan ulul albab yang sesungguhnya.

Banyak hal-hal menarik dan berkesan selama satu tahun yang telah kami dilewati. Kisah- kisah itu penuh makna yang di dalamnya ada pelajaran-pelajaran kehidupan yang bisa di petik hikmahnya. Insya Allah tulisan selanjutnya akan menceritakan hal-hal itu.



Artikel by: Muh. Hasan Suryawan
Mhs. Jurusan Pend. Agama Islam UIN Maliki Malang

HAKEKAT PACARAN


Beberapa hari yang lalu saya berangkat ke kota Tuban bersama teman-teman PAI G untuk melaksanakan acara silaturrahmi ke dua Ponpes disana. Kami ditemani oleh bapak Zainal M.Pd, selaku dosen pengampu mata kuliah Study Qur’an. Di Ponpes pertama, kami bertemu langsung dengan bapak kyainya. Jujur dari hati yang terdalam, ini pengalaman pertama saya duduk lesehan bersama dengan seorang kyai besar, apalagi langsung berdiskusi dengan beliau mengenai hukum-hukum islam.

Sebelum sambutannya, beliau dengan candaan memperkenalkan dirinya dengan sebutan UGD, yaitu kepanjangan dari Ustad Gus Dayat. Setelah itu beliau langsung memberikan vaksin ke dalam pikiran kami mengenai satu masalah yang menjadi problematika dalam kehidupan anak muda zaman sekarang, apalagi kalau bukan masalah ‘pacaran.’ Dari awal pembukaan, beliau langsung menekankan kepada kami selaku calon pendidik agama islam untuk tidak mendekati satu istilah berbahaya menurut beliau, yaitu pacaran. Karena terang Gus Dayat, bahwa ilmu adalah Nur Illahi atau cahaya Illahi yang tidak akan barokah jika kita barengi dengan maksiat.

Kemudian ada satu teman saya yang bertanya, “Bagaimana dengan pacaran yang di lakukkan bersama hal-hal positif, seperti saling memotivasi untuk belajar, saling menyenangkan, bukankah menyenangkan orang berarti mendapat pahala dan pahala itu bisa digunakan untuk menutup dosa dari pacaran itu?.” Setelah itu Gus Dayat menjawab dengan tenang, “Jangan sekali-kali mencampur adukkan antara kebaikan dengan keburukan. Sesuatu yang awalnya buruk pada akhirnya pasti akan buruk juga, apapun alasannya, karena yang demikian itu ibarat mencuci baju dengan air seni”. Beliau menambahkan  bahwa “Hari ini kita boleh pintar dan mendapat rangking kelas serta IP yang tinggi dengan semangat dari pacaran, tapi hal itu akan berlangsung hari ini saja, dan ilmu yang di dapat akan sampai disitu. Tidak akan ada barokah dan manfaat kebergunaan dari ilmu yang di dapat itu.” Mendengar pernyataan itu, hati kecil saya langsung menjustifikasi pendapat beliau. Ya, bagaiman bisa dengan perbuatan pacaran yang buruk diniatkan dengan suatu kebaikan. ‘Itu adalah alasan tanpa dasar’, tegas beliau.

Teman saya yang lain pun angkat bicara. “Bagaiman dengan pacaran yang Islami?”. Katanya. Gus Dayat kembali menjawab, bahawa pacaran yang islami itu tidak ada. Minimal ada pacaran yang selamat. Di antara syaratnya adalah jika hendak bertemu harus ditemani muhrim, waktunya pun harus sebentar saja dan pertemuan itu dilakukan sejarang mungkin. Karena dengan membawa muhrim, setan tidak akan menjadi yang ketiga; dengan jarang bertemu, cinta dan sayang akan bertambah karena rindu. Kalau pacaran yang tidak ditemani muhrim, tambah beliau, bagaikan berduaan di tepi jurang api neraka dan satu kata yang dikeluarkan di ganjar 1000 dosa. Nauzubillah, berari kata ‘aku cinta kamu’, itu diganjar 3000 dosa.

Namun menurut saya, syarat pacaran selamat yang disebutkan Gus Dayat tadi sangat sulit dijalani. Kalau memang ada siapa yang berani menjamin kalau syarat-syaratnya itu tetap di jaga, sedangkan Allah sendiri meragukan manusia. Ingatkah kita dengan firman Allah yang menyuruh manusia untuk tidak mendekati zina?. Inilah bukti bahwa Allah meragukan manusia dengan cara memerintahkan agar tidak “mendekati”, lebih-lebih melakukan zinanya. Jika manusia mendekati zina maka peluang untuk melakukan zina sangatlah besar. Inilah dalil sebagian orang yang mengharamkan pacaran, karena menurutnya pacaran termasuk dalam katagori mendekati zina.

Ketika manusia terjerumus dalam maksiat, entah melakukan zina dan sebagainya, biasanya seorang manusia akan menyalahkan pasangannya atau paling tidak menyalahkan setan yang telah menggodanya. Hal ini merupakan anggapan yang sangat keliru.

Sebenarnya maksiat yang telah dilakukan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri. Jika menyalahi setan?, Setan hanya menghasut dan tidak ada daya serta upaya untuk menjamnin manusia yang digodanya berhasil untuk sesat. Pilihan itu ada di tangan manusia sendiri. Di dalam suatu riwayat, setan pernah memberikan pernyataan bahwa dia tidak akan mampu menggoda manusia yang di dalam hatinya ada sifat ikhlas kepada Allah SWT. Dari sini, teranglah bahwa keburukan yang dilakukan itu akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Maka jangan salahkan siapapun jika kita melakukan suatu keburukan, kecuali diri sendiri.

Akhirnya, saya tidak akan memberikan kesimpulan apapun mengenai masalah pacaran di atas. Karena saya tidak mau menjadi musuh dari orang yang masih melakukan hubungn itu hanya gara-gara saya mengatakan pacaran itu bertentangan dengan agama. Cukuplah ini menjadi bahan perenungan bagi Ulul Albab, yaitu orang-orang yang berakal.



Artikel By: Muhammad Hasan Suryawan.
Mahasiawa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Maliki Malang

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...