Translate

Dari Kesalehan Diri Menuju Kesalehan Sosial


Sebuah tema diskusi yang tak henti-hentinya diperbincangkan manakala melihat sikap kegamaan seseorang. Disatu sisi, ada orang yang sangat taat dalam beribadah. Pertanyaannya, apakah ibadahnya sudah mampu membuat dia lebih baik secara psikis dan mental?. Alhasil, kenyataan di masyarakat kita justru banyak yang menjadikan balasan ibadah adalah pahala, sedangkan pahala bisa dilihat kelak di akhirat. Secara tidak langsung disini muncul dikotomi antara kehidupan di dunia dan di akhirat.
Kita mungkin sepakat, bahwa menjalani sesuatu tidaklah segampang memahaminya. Banyak orang yang memahami fiqih, memahami hukum-hukum islam namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak 100% seperti apa yang tertulis dalam ajaran. Orang memahami korupsi itu perbuatan jahat, merugikan banyak pihak, toh yang memahami itu tetep korupsi. Ini membuktikan bahwa menjalani sesuatu tidaklah segampang memahaminya.

LEBARAN DAN “PAKAIAN BARU”


Sudah menjadi pemandangan biasa ketika toko-toko pakaian ramai oleh pengunjung beberapa hari sebelum Lebaran tiba. Bagaikan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan, rasanya kurang lengkap jika Lebaran tanpa pakaian baru. Bagaimana jika beberapa orang atau keluarga yang memiliki perekonomian rendah dihadapkan dengan budaya seperti ini?. Terlebih lagi jika julmah anggota keluarganya berjumlah lebih dari empat orang, ini tentu akan sangat menyusahkan bagi orang tua dimana ia harus membelikan pakaian lebaran untuk semua anak-anaknya.
Sebenarnya, Nabi Muhammad SAW telah mencotohkan budaya yang benar-benar islami. Bukan berarti saya mengatakan membeli baju baru sebelum lebaran tiba merupakan budaya yang tidak islami. Nabi Muhamamd SAW mencontohkan bahwa pakaian yang baik hendaklah sederhana, berwarna putih, tidak menyerupai jenis kelamin yang berbeda dari pemakainya, yang intinya ialah tidak mewajibkan seorang muslim untuk membeli baju lebaran.

PEMERKOSAAN: KETIKA WANITA KEHLANGAN KEHORMATANNYA


Banyaknya kejadian pemerkosaan wanita yang banyak diberitakan di media masa, atau dibicarakan di media sosial cukup menyita perhatian banyak orang. Alih-alih simpatisan memperlihatkan rasa simpati mereka, bahkan beredar petisi untuk mendukung hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan gadis dibawah umur. Namun yang bisa dilakukan kebanyakan orang hanyalah ribut dan berteriak seolah-lah mengecam perbuatan keji itu, tanpa berfikir jernih ke akar permasalahnnya.
Petuah seorang tokoh feinisme asal India, Kamala Bhasin pun menarik untuk dibahas karena berusaha membela wanita korban perkosaan dengan mempertanyakan kembali, mengapa peremuan harus merasa kehormatannya hilang jika ia diperkosa?. Bukankah ini hanya paradigma masyarakat saja?. Dari pernyataan ini, ia ingin mengajak kaum wanita yang pernah menjadi korban perkosaan untuk kembali tenang dan jangan terlalu bersedih hati oleh stigma buruk masyarakat terhadap korban perkosaan. Apakah memang demikian?,Perhatikanlah Hadits dibawah ini.

ARABISASI “PHOBIA”


Diskursus (wacana) tentang menguatkan kembali kebudayaan lokal (local genius) Indonesia akhir-akhir ini menjadi tranding topic di berbagai kalangan. Pembahasan ini hangat lantaran beberapa sikap anak bangsa yang notebenenya lebih mencintai budaya luar dibandingkan budaya Indonesia itu sendiri. Misalnya k-pop, westernisasi bahkan sampai arabisasi. Budaya arab atau arabisasi masuk ke dalam budaya Indonesia tentu melalui ajaran agama islam. Sulitnya memilih dan memiliah mana ajaran islam dan mana budaya arab menjadikan masyarakat tidak mau ambil pusing, dan dengan sederhana menerima semuanya (baik ajaran islam maupun budaya arabnya). Seperti kata gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab, bukan untuk “aku” jadi “ana”, “Sampeyan” jadi “antum”, “sedulur” (saudara) jadi “akhi”. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya tapi bukan budaya arabnya.”

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...