Oleh: Muh. Hasan Suryawan
Saat
kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah
satu agama yang menjadi keyakinan. Pun jika memahami agama, yang terlintas
dalam benak kita adalah tentang surga dan neraka. Semua agama menjanjikan
kebahagiaan (surga) dan ancaman (siksa hari pembalasan). Menuju kebahagiaan dan
menghindari siksaan sederhannya dapat dicapai melalui Ibadah.
Ibadah
dalam islam, seringkali dihubungkan dengan ritual-ritual keagamaan yang
tersimbol melalui tempat-tempat ibadah; Masjid, mushalla dan semacamnya. Sehingga
definisi Ibadah kemudian dipersempit, hanya memiliki ketentuan, di waktu-waktu
tertentu dan ditempat khusus (mahdoh). Sederhananya, agama sama dan tak
lebih hanya berisi aturan tentang ritual-ritual.
Diluar
tempat ibadah, banyak yang merasa tidak memiliki kewajiban beribadah. Misalnya
di pasar, di kantor, dalam pergaulan sosial dan lainnya. Beberapa hari lalu
kita di hadapkan dengan isu tentang korupsi dan jual beli jabatan di lingkaran
Kementerian Agama. Itu membuktikan bahwa saat di kantor orang merasa tidak
sedang beribadah.
Untuk
itu islam bukan agama yang hanya memiliki landscape ritus-ritus ibadah (mahdoh)
karena ia juga memiliki ibadah pada ranah lain yakni dalam kehidupan sosial
sehari-hari (muamalah). Islam sebagai pedoman hidup. Istilah yang
seringkali kita dengar namun tak pernah kita resapi apalagi melakukannya.
Nabi
Muhammad saat menerima wahyu pertama, mendapatkan perintah untuk membaca (iqra’).
Apa yang hendak dibaca sedangkan beliau seorang yang ummi (tidak bisa membaca
dan menulis). Satu-satunya hal yang dapat dibaca oleh Rasulullah pada waktu itu
adalah tentang realitas sosial masyarakat jahiliah yang sudah sangat
memperihatinkan.
Sehingga
islam diawal berdirinya memiliki misi-misi sosial untuk melakukan pembebasan
dan menghentikan segala macam penindasan. Mulai dari penindasan kepada
budak-budak, hingga membela hak-hak wanita yang sekian lama terpasung oleh
tradisi dan budaya masyarakat jahiliah. Barulah kemudian islam membahas mengenai
posisi manusia dihadapan Tuhannya, yakni sebagai abid (hamba Allah) dan
juga sebagai khalifah (pemimpin di bumi).
Jika
islam menjadi way of life maka segala macam bentuk dan tidak tanduk manusia
dalam kehidupannya akan senantiasa mencerminkan ajaran islam. Sama seperti adat
kebiasaan yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat. Satu masyarakat memiliki
budaya yang berbeda-beda dengan masyarakat yang lainnya. Jika pengikut islam
merasa bahwa way of life nya adalah islam maka segala macam tindak tanduknya
akan senantiasa seperti yang diajarkan oleh islam. Tidak korupsi, menghargai
sesama, tidak melakukan kejahatan yang berujung pada kerugian bagi yang
lainnya. Dalam posisi ini kita tidak lagi terpengaruh oleh etnosentrisme atau
fanatisme kelompok tertentu saja. Karena dalam islam dan semua agama pasti
mengajarkan untuk menghormati orang lain tanpa membedakan agama, ras, suku dan bangsa.
Bahkan perbedaan itu ada dengan tujuan agar manusia saling mengenal (Q.S
Hujurat, 10) bukan untuk dipermasalahkan.
Menjalani
ajaran islam sebagai way of life berarti membumi dengan segala macam
ajarannya. Melihat manusia bukan hanya sebatas sekat-sekat golongan dan
fanatisme ideologi sendiri. Melainkan melihat manusia sebagai bagian dari
ciptaan Tuhan, sehingga melahirkan sikap inklusif bahwa semua orang memiliki
posisi yang sama sebagai manusia yang harus dihargai dan dihromati segala macam
haknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar