Dalam
tulisan ini, saya ingin menjelaskan mengenai dominasi simbolisasi dalam
mempengaruhi tingkah laku manusia, terutama dalam tingkah laku sebagai
konsumen. Agar lebih jelas dan mudah difahami, maka saya akan memberikan ilustrasi dari fakta sosial saat ini.
Digitalisasi
dalam segala aspek kehidupan menjadi hal yang lumrah atau biasa. Misalnya
lapak-lapak penjualan pakaian online yang mulai menyasar konsumen melalui
media-media sosial, seperti instagram, facebook dan lainnya. Dengan kemudahan
itu, diamanapun seseorang berada ia dengan mudah dapat mengakses
katalog-katalog daftar pakaian yang ada. Ketika seseorang memutuskan untuk
membeli, maka dominan ialah mereka akan memilih barang yang ia suka (mungkin
yang sedang hits) dan bukan membeli barang yang ia butuhkan.
Ada
dua persfektif dalam melihat tingkah ini, yakni eksistensi dan essensi. Eksistensi
mementingkan pengakuan dari sesuatu di luar dirinya atau orang lain, maka pola
konsumsinya cenderung memilih sesuatu yang dianggap sedang trend atau barang
yang dapat menaikan status sosialnya. Terlepas apakah barang itu bermanfaat
atau tidak, yang terpenting adalah barang itu dapat membrikan pengakuan orang
lain terhadap eksistensi terhadap dirinya.
Berbeda
dengan eksistensi, essensi merupakan pola yang mana seseorang lebih mementingkan
tercapainya manfaat atau kebutuhan dari sesuatu. Ia tidak lagi bersandar pada
pengakuan seseorang, atau tidak memperdulikan status sosial. Sehingga ia tidak
terjebak di dalam paradigma yang dibuat oleh masyarakat tentang suatu hal.
Adapun
pola-pola diatas lahir dari perjalanan panjang manusia. Dimulai dari munculnya
kehidupan modern di abad ke XVI-XVII Masehi, yang kemudian memberikan pengaruh
terhadap kemajuan saat ini. Realitas menurut teori modern ialah sesuatu yang
materi (dapat dilihat dan di indera). Perjalanan pola konsumsi tersebut dimulai
dari penyediaan barang yang dibutuhkan konsumen oleh produsen “konsumen sentris”
(Karl Marx) sampai pada hari ini berkembang begitu jauh, yaitu ketika produsen
dapat mengatur kebutuhan para konsumen.
Rupanya
pola yang terakhir saat ini lebih mudah dikondisikan oleh para produsen karena
ia tak lagi sulit menentukan mana yang dibutuhkan oleh konsumen. Disamping itu,
penyembahan terhadap simbol-simbol eksistensi yang telah dilegitimasi oleh
masyarakat misalnya trend, model dan merk pakaian tahun ini seperti apa. Lebih jauh
lagi ia juga mengatur simbol lain seperti gadget, dimana seseorang yang
memiliki gadget terbaru akan menaikkan status sosial atau eksistensinya
ditengah-tengah masyarakat. Mungkin kita jug akan bertanya, mengapa saat
menjelang lebaran atau hari besar lainnya, diskon pembelian barang elektronik,
kendaraan dan lainnya mengalami diskon. Lantas apa hubungannya barang-barang
yang terdiskon tersebut dengan hari besar tersebut?.
Bahkan
dalam dunia pendidikan saat ini, orang tua cenderung mnyekolahkan anaknya ke
lembaga pendidikan yang sudah terbukti memiliki pengakuan dari mamsyarakat.
Saat ditanya orang anak mereka sekolah dimana maka dengan yaqin ia akan
menajwab di “sekolah A” (yang mahal), yang secara tidak langsung juga menaikkan
drajat dan eksisnsi keluarganya. Padahal tidak sedikit lembaga pendidikan yang
menjaga kualitas didikannya, namun karena ia belum mendapatkan “brand”
ditengah-tengah masyarakat maka ia sulit akan menjadi sekolah yang benafit
dalam segala hal.
Oleh
karena itu, saat ini orientasi hidup bergeser dari kebutuhan hidup menjadi gaya
hidup. Apapun harus dilakukan demi gaya, dan mendapatkan eksistensi. Padahal
pada abad awal aufklarung, kita mungkin akan memahmi “cogito ergo sum” bahwa
eksistensimu tergantung buah pemikiranmu. Atau di dalam agama islam, bahwa yang
menjadi pembeda antar satu dengan lain ialah ketakwaannya. Sangat jelas, bukan
hal-hal yang berbau simbolisasi semata. Artinya islam melihat seseorang bukan
pakian dan bentuk rupa fisik, namun jauh dalam yang dilihat islam adalah
sisi-sisi spiritual atau essensinya.
Dari
sini kita akan melihat sesungguhnya dimana letak kekuragan peradaban modern
saat ini. Karena pembahasan dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan hal-hal
materi, (empirisme, rasionalisme) maka hal itu akan rentan terhadap manipulasi
simbol-simbol (tingkah laku konsumen dikuasai produsen), yang dalam hal ini
sudah sangat berbahaya bagi semua orang. Simbol-simbol tersebut menggerakkan
manusia untuk bergerak dan terus menyembah produk-produk dari produsen (atau
kalangan borjuis). Sehingga kajian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
spiritualitas rupanya kembali akan menjadi diskurus hangat di dalam kehidupan saat
ini.
Sehingga
masyarakat harus memulai mengganti pola pikir yang dekat dengan essensi. Bahwa apa
yang ia lakukan tergantung kebutuhan, dan bukan keinginan. Ini sekaligus sebagai
sebuah tantangan sebagai wujud seseorang melawan derasnya arus monopoli pola
konsumtif yang dilakukan oleh kaum-kaum borjuis. Sehingga sisi-sisi
spiritualitas akan memberikan pengaruh besar untuk mengembalikan manusia pada
dirinya sendiri dan apa yang ia butuhkan. Bukan lagi terapsung dalam eksistensi
semu yang buat oleh logika kerumunan (masyarakat) yang cenderung tidak
reflektif. Artinya semua ditentukan oleh pandangan umum masyarakat, bukan sesuatu
yang benar-benar hasil refleksi dan penalaran pikiran individu. Ini akan
menghindari kekeliruan kita dalam membaca simbol-simbol kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar