Oleh
Muhamamd Hasan Suryawan
Dunia pendidikan dalam prosesnya memang terus mengalami dinamisasi dan pembaharuan-pembaharuan dalam rangka merespon perubahan zaman. Pembaharuan ini dimulai dari perubahan (perkembangan) paradigma kurikulum, tentunya diikuti perubahan kebijakan-kebijakan dibawahnya. Seperti pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) serta kebijakan lainnya sebagai buah dari perubahan dan penyempurnaan kurikulum 2013. Ini merupakan contoh kecil dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Asumsi dasar dari setiap perubahan dari sebuah sistem pendidikan ialah merupakan langkah untuk mengevaluasi, menyempurnakan dan memperbaiki sistem pendidikan agar menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Jika memang demikian, pertanyaannya kemudian apakah perubahan sistem pendidikan kita memiliki landasan filosofis yang melatarbelakangi dinamika dan perubahan yang terjadi?. Jika ada, Seperti apa landasan filosofis dari sistem pendidikan kita?.
Landasan filosofis
dari sebuah sistem pendidikan sangat berhubungan dengan bidang filsafat
tertentu yang mendasari sebuah sistem pendidikan secara umum. Dalam keilmuan
barat, landasan pendidikan biasanya mengarah pada bidang-bidang filsafat
seperti idealisme, realisme, dan pragmatisme. Di Indonesia sendiri secara
khusus memiliki landasan pendidikan tersendiri, yakni menjadikan Pancasila
sebagai landasan dan sumber sistem pendidikan. Sehingga tujuan pendidikan kita
hari ini sangat terpusat pada cita-cita yang tertuang di dalam kelima sila yang
ada di dalam Pancasila. Salah salah satunya ialah menjadikan Masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat yang Monoteis, yakni mempercayai kekuasaan Tuhan yang
selanjutnya menjadikan agama sebagai modal dalam pembentukan karakter yang
terpuji. Hal itu tertuang di dalam Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) No. 20 tahun 2003, bab II pasal 3
yang salah satu amanatnya ialah pendidikan bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang maha Esa. Cita-cita ini tentunya sangat berhubungan sekaligus
memrupakan amanat pertama di dalam Pancasila. Poin ini merupakan turunan
dari amanah di dalam sila pertama dari pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Uraian diatas
menggambarkan betapa pentingnya peranan Pendidikan Agama dalam pembentukan karakter
peserta didik sehingga menjadi insan yang terpuji dalam kehidupan sosialnya,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Namun saat ini, terdapat beberapa kebijakan
yang berkaitan tentang pengembangan sistem pendidikan khususnya pendidikan
agama islam yang menimbulkan kekhawatiran akan eksistensinya. Mulai dari opini
bahwa frasa Agama di dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang
dirumuskan oleh Kemendikbud ternyata diganti oleh istilah yang lebih umum yakni
mengintegrasikan pengetahuan bagi perkembangan sosial. Memang istilah
ini sangat umum dan dapat menimbulkan banyak persepsi, dimana kata
“pengetahuan” bisa saja mengarah dan khusus pada pengetahuan agama.
Permasalahan lain
muncul tatkala isu bahwa Formasi Guru Agama di dalam rekrutmen satu juta
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tidak diberikan ‘jatah’
formasi. Sehingga muncul beberapa reaksi terhadap kebijakan ini, mulai dari ancaman
mogok mengajar oleh beberapa persatuan guru mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam, juga dilakukan langkah dialog oleh beberapa kementerian yang terkait dan
juga ke DPR sebagai lembaga legislatif negara. Langkah ini merupakan luapan
ketidaksetujuan dan ketidakpuasan para guru pendidikan Agama dan Budi Pekerti
terhadap kebijakan yang dikeluarkan karena seolah-seolah mendiskreditkan semua
yang ada di dalamnya, terutama hak-hak guru mata pelajaran Pendidikan Agama.
Padahal di dalam
kurikulum 2013, mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti masuk ke dalam
katagori mata pelajaran wajib. Konsekuensi dari hal ini tentu membuat seluruh
aturan, sistem manajemen pelaksanaan pendidikan agama diatur dengan baik
termasuk juga mengenai hak-hak dan kewajiban guru atau pendidik mata pelajaran
agama. Oleh karena itu pada setiap jenjang, kelas atau jurusan pada lembaga
pendidikan wajib menyertakan pendidikan agama di dalam kurikulum pendidikannya.
Tentunya, guru mata
pelajaran agama islam (PAI) mempunyai jumlah yang besar karena jumlah Peserta
didik yang menganut agama islam sekolah-sekolah sangat besar. Namun dalam hasil
survei Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019 menyebutkan bahwa
jumlah guru PAI di Indonesia 182.696
orang dari jumlah siswa muslim sebanyak 37.655118 siswa. Jumlah ideal pendidik
PAI jika mengacu pada jumlah siswa muslim diatas ialah 217.738 orang. Artinya
ada selisih kekurangan guru PAI sebanyak 35.042 orang. Sehingga pembenahan
sistem dan SDM pada mata pelajaran wajib seperti mata pelajaran
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti harusnya menjadi perhatian khusus bagi
pengampu kebijakan dan bukan malah sebaliknya.
Isu ini juga
mengingatkan kita semua tentang arah pendidikan kita hari ini. Kita memang
menyadari bahwa perjalanan dan perjuangan untuk meraih tujuan luhur pendidikan tidak akan pernah selesai, karena sistem
sosial masyarakat yang terus berubah-ubah. Hal itu menjadikan sistem pendidikan
ikut berubah, berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan. Namun perubahan tersebut tentunya tidak melupakan jati diri dan ciri
khas bangsa yang tertuang di dalam Pancasila. Termasuk jaminan adanya
Pendidikan Agama di dalam sistem Pendidikan di Indonesia sebagai representasi
dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentu sila pertama ini menghendaki terbangunnya
masyarakat Indonesia dengan akhlak dan moral baik yang terbentuk melalui
pengembangan potensi lokal budaya masyarakat Indonesia yaitu menjadikan nilai
dan ajaran agama menjadi pedoman hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar