“Waktu terus mengalir bak tetesan air hujan
dari atas awan, menggerus usia seorang manusia tanpa henti. Perlahan demi
perlahan, gerusan itu akan sampai pada posisi dimana kita berdiri sekarang.
Hingga pada akhirnya kita akan terjatuh untuk selama-lamanya dari atas dunia.
Setelah kemusnahan itu kita rasakan, apa yang sudah kita perbuat untuk mereka
yang masih berada jauh dibelakang sana?. Apakah hanya satu nama? Apakah hanya
sebuah cerita? Atau hanya tetesan tangisan air mata?. Tentu tidak hanya itu.
Jika usia kita tak sepanjang kehidupan, maka sambunglah ia dengan peradaban
yang telah membuat dan merubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah
cita-cita sesungguhnya itu”.
Rasa syukur yang teramat mendalam saya panjatkan kepada Rabb yang selalu melindungi dan selalu menujukkan jalan-jalan kebaikaknnya untuk saya, untuk keluarga, untuk sahabat-sabat saya, untuk teman-teman saya, bahkan untuk seluruh makhluk-makhlukNya di alam semesta ini. Syukur itu juga saya panjatkan atas nafas yang telah Dia berikan untuk saya dan untuk kita semua. Nafas berarti sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum kita benar-benar kembali kepadaNya.
Rasa syukur yang teramat mendalam saya panjatkan kepada Rabb yang selalu melindungi dan selalu menujukkan jalan-jalan kebaikaknnya untuk saya, untuk keluarga, untuk sahabat-sabat saya, untuk teman-teman saya, bahkan untuk seluruh makhluk-makhlukNya di alam semesta ini. Syukur itu juga saya panjatkan atas nafas yang telah Dia berikan untuk saya dan untuk kita semua. Nafas berarti sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum kita benar-benar kembali kepadaNya.
Hari ini, atau tepat tanggal 03 Oktober
kemarin, umur saya genap menginjakkan kaki di angka ke-21 tahun. Nominal umur
yang sudah tidak sedikit. Tapi tidak bagi seorang ibu yang telah melahirkan
saya. Beberapa hari yang lalu saya membicarakan keresahan ini. Ketika saya
mengatakan bahwa umur saya sekarang sudah mencapai 21 tahun, ummi menepih hal
itu. Beliau berpesan, usia 21 tahun adalah usia muda. “kamu masih sangat muda
nak”. Nasehatnya. Mungkin karena sekarang saya hidup sendiri, nan jauh disana.
Jauh dari belaian manja dari tangan seorang ummi. Sehingga tanggungan kehidupan
ini terasa begitu berat dan melelahkan, seberat tanggungan yang dipikul oleh
orang tua yang sesungguhnya.
Dua puluh satu tahun saya berkelana di atas
dunia ini. Terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang sangat sederhana.
Saya menjadi anak terakhir dari tiga bersaudara. Sebuah mitos, katanya, anak
terakhir adalah anak paling nakal, sering membuat orang tua susah, paling
membangkang dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dan itu memang benar-benar
terjadi. Dulu saat usia saya masih menginjak 4-5 tahun, saking jengkelnya
melihat kenakalan yang saya lakukan, kakak perempuan satu-satunya sering kali
membuat cerita yang membuat saya ketakutan. “Jangan-jangan dulu kamu tertukar
saat baru lahir di rumah sakit”. Sontak kata-kata itu membuat saya menghayal
dan membayangkan seorang perawat yang salah mengambil seorang bayi, dan
ternyata bayi itu adalah saya sendiri. Kemudian saya diberikan kepada orang tua
yang sekarang ini. Akhirnya saya benar-benar terpisah dengan orang tua saya
yang sesungguhnya. Menyeramkan. Saya pun kalah, terdiam, tapi hanya beberapa
jam. Setelah itu, saya kembali kumat.
Lain dirumah, lain di sekolah. Saat saya
bersekolah di TK Raudlatul Athfal dulu, saya termasuk salah satu siswa pembuat
onar. Bersama dua teman saya, setiap hari membuat kelas gaduh. Terkadang saya
mengurung seisi kelas, termasuk dua orang guru. Mengkonci pintu, kemudian
musnah entah kemana. Karena kami bertiga tak kunjung kembali, terpaksa pihak
sekolah memanggil tukang untuk menjebol pintu itu dengan paksa. Melihat kami
sangat aktif seperti itu, pernah sekali waktu saya diikutkan lomba menyanyi
antar TK se kota Mataram. Sesi latihan begitu bersemangat, saya pun bernyanyi
penuh dengan ekspresi dan senyuman. Namun setelah hari perlombaan tiba,
ternyata hari itu saya bernyanyi diatas panggung dengan keadaan sangat tegang,
minim ekspresi. Ibu guru saya pun akhirnya kecewa. Tak senakal saat dibawah
panggung, mungkin jerit hatinya.
Lingkungan Sekolah Dasar (SD) menyita umurku
selama 6 tahun lamanya. Bertemu dengan teman-teman antar RT, se-kelurahan
Sayang-Sayang. Saya memiliki teman-teman original anak-anak desa. Berapa kali
kami sepakat bolos untuk tidak mengikuti senam pagi. Namun akhirnya trik itu
terungkap. Kami push-up puluhan kali, lari keliling lapangan sekolah sampai
setengah jam lamanya. Sepulang sekolah kami biasanya beranjak ke kebun untuk
mencari apa saja yang kami temui. Mencari buah-buhan berbagai jenis, karena
waktu itu kami belum tahu hukum halal dan haram. Beberapa kali kami dikejar
oleh pemilik kebun. Tapi seperti sebuah harmoni alam yang sangat indah. Jika kami
tak datang mencuri, sang pemilik kebun pasti akan merindukan kehadiran kami.
Beranjak dari kebun, kami biasanya pergi mandi
ke sungai. Kalau tidak, kami pasti bermain bola walaupun ditengah trik
matahari. Tapi saya tidak terlalu pintar bermain bola kala itu. Posisi abadi
yang selalu menjadi tempat saya adalah pemain belakang. Kalau tidak, pasti
ujung-ujungnya menjadi penjaga gawang. Hampir seluruh kulit saya terlihat hitam
legam. Hanya gigilah yang terlihat putih. Karena memang saya sangat rajin
menykatnya. Tak lain karena Ummi sengaja membelikan pasta gigi yang bermerk
“kodomo”, yang kemasannya bergambar jerapah itu.
Setelah itu, umur 13 tahun saya menjadi salah
satu siswa di sebuah MTs Negeri yang terpinggirkan. Namun dengan bangga, hari
ini saya akan menyebut namanya, MTsN 2 Mataram. Saya adalah angkatan ke-3.
Kondisi geografisnya sangat sejuk. Bayangkan, depan, belakang, samping kiri,
semuanya dikelilingi sawah. Tak heran, siswa SMP tetangga menyebut istilah MTs
ke dalam sebuah singkatan dari “Madrasah Tengah Sawah”. Namun dari sinilah satu
demi satu peristiwa penting saya lewati. Pertama, saya mengkuti gerakan
pramuka. Beberapa kali mendapat juara perlombaan LKBB tingkat kota Mataram.
Tahun kedua saya menjabat sebagai ketua pramuka atau disebut pradana. Pernah
menjadi calon ketua osis, namun kalah dalam pemilihan putaran ke dua. Di Era
MTs inilah saya juga mengenal hubungan baru dalam hidup saya. Ya, saya
berpacaran dengan salah satu teman kelas saya. Dan ternyata kami dapat
mempertahankan hubungan itu selama 1,2 tahun. Selama 3 tahun lamanya saya
bersekolah di MTs N 2 Mataram ini, selama itu juga saya selalu juara kelas.
Hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak juara pertama, pasti saya menjadi
runner-up nya. Selalu begitu. Inilah masa keemasan dalam hidupku.
Lulus dari MTsN 2 Mataram, saya melanjutkan ke
MAN 2 Mataram. Salah satu sekolah aliyah favorit dan terunggul di provinsi NTB.
Disinlah saya bertemu dengan sahabat-sahabat yang hingga sampai saat ini terus
menjalain pertemanan yang mengagumkan. Selama tiga tahun saya bersekolah di MAN
2 Mataram, namun masa keemasan yang dulu pernah tercipta akhirnya meredup. Tak
pernah sekalipun saya mendapatkan peringkat lima besar. Apalagi saat saya
berhasil masuk di kelas IPA, mendapatkan peringkat belasan saja adalah suatu
hal yang mengesankan. Saya sempat menjadi anggota Pramuka, namun akhirnya
mengundurkan diri. Sempat juga mengikuti rekrutmen anggota baru dari teater
al-kutshar, namun akhirnya saya mengundurkan diri. Saya tak memiliki karier
satupun organisasi kala itu. Saya hanyalah seorang siswa kupu-kupu. Sehabis
pulang sekolah langsung ke rumah, terus makan, tidur, main, besoknya sekolah
lagi. Begitulah hari-hari yang saya lewati. Saya sempat menyukai salah seorang
gadis, tepatnya adik kelas saya saat masih di MTsN 2 Mataram. Kami berpacaran
hanya beberapa bulan kemudian kami berpisah. Dua tahun saya tertatih dan
berjuang untuk melupakannya, namun tetap tak bisa. Disinlah saya belajar banyak
hal dan mencoba memahami arti sebuah cinta, orang yang dicintai dan sebuah
kehilangan.
Perasaan yang besar itu akhirnya terbawa
sampai ke Kota Malang. Secara mengejutkan saya mendapatkan tikes gratis untuk
kuliah di salah satu universitas islam terfavorit di Indonesia. Sudah jelas
kalau ini semua adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Anak yang tak
memiliki satupun organisasi itu, anak yang hanya dikenal oleh teman sekelasnya
itu, anak yang disakiti oleh kekasih hatinya itu, anak yang tak memiliki
satupun kelebihan itu, anak yang tanpa memiliki satupun prestasi itu, akhirnya
ditakdirkan untuk mengikuti sesi latihan kehidupan seorang diri selama beberapa
tahun ke depan di Kota Malang.
Sesampai di Malang, satu tahun lamanya saya
harus menjadi seorang santeri. Pada bulan berikutnya, saya akhirnya memutuskan
diri untuk kembali menginjakkan kaki ke dalam dunia organisasi. Di dalam
organisasi ini, saya bertemu orang-orang yang sangat luar biasa. Suatu
organisasi yang berisikan orang-orang yang memiliki latar belakang yang
berbeda-beda. Ada yang ahli dalam penelitian. Ada juga yang ahli dalam
berorientasi, yang ini adalah orang-orang kajian. Kemudian, ada yang ahli dalam
bidangn politik. Dan tentu juga ada orang-orang yang ahli dalam bidang sastra.
Saya belajar banyak hal bagaimana cara kita mengutarakan pendapat dengan
orientasi yang lugas, tepat, singkat dan padat. Saya juga belajar banyak hal
tentang pergerakan masa dari seseorang yang berlatarbelakang politik tadi,
bagaimana seharusnya suatu organisasi agar terus dapat eksis ditengah terpaan
ujian dan gangguan. Dan saya juga dapat berlajar banyak hal tentang sastra.
Masa ini adalah masa keemasan perubahan yang terjadi pada diri saya. Semoga ini
akan terus berlanjut.
Saya juga bertemu dengan sosok yang telah
membukakan mata hati akan hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Ia menghidupkan
hati yang telah lama tertidur pulas. Kemudian bertarung melawan beratnya ujian,
membuat hati semakin berani untuk bermimpi dan memberikan kenikmatan cita-rasa
berbagi dengan sesama.
Baiklah, mungkin ini adalah salah satu sifat
dari kehidupan, dinamis. Perubahan seseorang kadang terjadi disengaja ataupun
tidak disengaja. Sengaja, jika ia berniat berubah menjadi seseorang yang lebih
baik dari yang sebelumnya. Tidak disengaja, jika perubahan itu menggerusnya ke
dalam sosok yang lebih buruk daripada kondisi semula. Bak sebuah roda yang
terus berputar. Hari ini seseorang yang terlihat begitu baik, tak memiliki
masalah yang berat satupun, dan menjalani kehidupan yang sempurna, karena bisa
jadi ia memang berada pada roda kehidupan sebelah atas. Sedangkan orang yang
hari ini kita lihat begitu terpuruk, masalah dimana-mana, dan menjalani hidup
dengan rintihan, bisa jadi ia sedang berada pada roda kehidupan sebelah bawah.
Suatu saat, tidak menutup kemungkinan roda itu akan berputar dan merubah kedua
jenis orang tersebut berada pada posisi yang sangat berbeda dengan posisi
mereka saat ini. Sehingga menanggapi keadaan seseorang hari ini dengan
bersahaja dan menerima apa adanya dia yang sekarang, merupakan hal yang
realistis. Bukan menanggapi dengan alasan siapa dia di hari yang akan datang,
lebih-lebih melihat siapa dia dari masa lalunya.
“Banyak orang yang meragukan dirinya sendiri
untuk bisa berubah, namun lebih banyak lagi orang yang tidak mempercayai
perubahan yang akan terjadi pada orang lain.”
sumberhttps://www.facebook.com/notes/muhammad-hasan-s/perubahan-demi-perubahan-hingga-pijakan-yang-ke-21-tahun/666395933384071
Oleh: Hasan Suryawan
Oleh: Hasan Suryawan
lucu,menarik, keren...hehehe tiga"nya dech...
BalasHapus^_^
satu lgi..., bermakna...
Barokallohu fiyk...