Dalam tulisan ini, saya akan mencoba memaparkan salah satu bentuk
keunikan dari pembelajaran-pembelajaran yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri
(pendidikan non formal). Dalam peradaban masyrakat Indonesia, belum cukup populer
saya kira dengan peranan aktif masyarakat mendidik manusia-manusia yang masih
dalam katagori anak-anak. Khusunya sebuah keluarga, masyarakat kita kebanyakan
menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan anak mereka kepada satu lembaga
tertentu, entah itu sekolah, lembaga bimbingan belajar tertentu sampai lembaga-lembaga
nonformal seperti tempat pengajian Al Qur’an.
TPQ atau juga bisa disebut TPA merupakan singkatan dari Taman
Pendidikan Al Qur’an merupakan lembaga atau kelompok masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan non formal jenis keagamaan islam yang bertujuan
untuk memberikan pengajaran membaca al Qur’an sejak usia dini, serta memahami dasar-dasar
dinul islam pada anak usia taman kanak-kanak, sekolah dasar. Nah disini penulis
menggunakan istilah TPQ Rumahan karena pelaku dari pelaku TPQ sendiri ialah
masyarakat itu sendiri dengan mengambil tempat di rumah-rumah mereka. Berbeda
dengan TPQ kebanyakan yang mengambil tempat di Masjid, Aula Mushalla atau
lainnya. TPQ Rumahan banyak dilakukan khususnya di daerah Lombok.
Adapaun yang menjadi unik disini ialah pertama dari partisipasi
masyarakat yang secara sadar membuka TPQ di rumah masing-masing setelah ba’da
Magrib. Masyarakat yang menyediakan rumahnya tempat TPQ tentu mereka yang
minimal memahami ilmu-ilmu dasar al Qur’an seperti Tajwid, dasar-dasar fiqih
seperti tata cara shalat, bersuci, dan praktik ibadah lainnya. Bisa dibayangkan,
satu RT itu kira-kira ada dua sampai empat tempat TPQ Rumahan. Kalau di satu
desa ada sepuluh RT, maka di satu desa itu tentu ada 20-40 tempat TPQ Rumahan. Data
ini masih berupa angka perkiraan penulis, selanjutnya dapat diperdalam melalui
penelitian.
Waktu pengajaran di TPQ Rumahan biasanya berkisar hanya satu jam,
yaitu dari setelah magrib sampai waktu isya’ tiba. Hanya libur ketika malam jum’at
dan hari-hari khusus tertentu, seperti isyro’ mi’roj, dan lain-lain atau
kebijakan libur diputuskan oleh masing-masing pengurus di TPQ Rumahan. Pada
bulan ramadhan TPQ Rumahan libur total, dan
digantikan dengan mengikuti Tadarrus Al Qur’an di Masjid dan Musholla
dilingkungan mereka. Ini khusus bagi beberapa anak yang sudah dianggap layak
mengaji di momen Tadarrus, karena disini mereka akan menggunakan pengeras
suara. Pada malam maulidan, masjid setempat biasanya akan mengadakan khataman al
Qur’an sebelum ceramah dari seorang kyai. Anggota khataman al Qur’an adalan
meraka yang telah khatam membaca al Qur’an di masing-masing TPQ Rumahan. Ini
momen, dimana anak dari beberapa “perguruan ngaji” (TPQ Rumahan) bertemu dan
membawa kebanggaan masing-masing tempat mereka mengaji. Berbaur menjadi satu
dan ini merupakan proses wisuda bagi mereka.
Secara singkat, aturan sistem pendidikan di TPQ Rumahan memiliki
banyak kesamaan walalupun di berbagai aspek kegiatan berbeda. Anak yang baru
masuk akan memulainya dengan buku Iqro’, dimana mereka belajar dasar membaca al
Qur’an. Sekitar lulus Iqro’, kemudian akan berlanjut dengan menggunakan Al Qur’an.
Secara bertahap, kemampuan mereka dipantau oleh guru yang mengajarkan setiap
malam. Sebelum di simak sang guru, si anak akan belajar membenarkan bacaan dan
dipandu oleh anak lain yang sudah lancar dalam membaca al Qur’an.
Selanjutnya ada kajian senajutnya yang lebih mendalam mengenai
tulisan diatas. Karena ini masih berupa kajian awal. Sehingga ada sekian proses
panjang untuk bertanya lebih mendalam tentang Apa yang diajarkan di TPQ Rumahan?
Apa yang mempengaruhi TPQ Rumahan?. Disini kajian sosial-budaya mengenai
masyarakat setempat. Kemudian mengapa TPQ Rumahan dapat berdiri berdiri?, juga
merupakan pertanyaan lanjutan mengenai hasil kajian sebelumnya. Yang pada
intinya ialah TPQ Rumahan merupakan wujud partisipasi masyakarakat dan
representasi pemahamannya mengenai ajaran agama islam yang diwujudkan melalui pendidikan
islam non formal.
TPQ Rumahan seperti pengalaman penulis ditemukan bahkan sampai pada
pelosok-pelosok desa di Lombok. Karena anak yang tidak pergi mengaji setelah
adzan magrib akan merasa asing dan disanalah sanksi sosial seorang anak. Ketika
teman-temannya berbondong-bondong pergi ke TPQ Rumahan, membuat aktivitas ini
menjadi tradisi seperti saat ia harus pergi ke sekolah. Bagi masyarakat Lombok,
bisa mengaji adalah harga mati. Tidak semua remajanya yang mengikuti pendidikan
di pondok pesentren, namun semua remajanya pasti bisa mengaji dengan baik dan
benar. Sehingga TPQ Rumahan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Lombok
telah berkontribusi besar dari genarasi ke generasi selama puluhan tahun
lamanya dalam membelajarkan anak-anak untuk mengenal Al Qur’an dan dasar-dasar
syar’i sejak dini.
Inilah sedikir refleksi saya di hari pendidikan nasional tanggal 2
Mei 2016 kali ini. Merupakan tugas dan tanggung jawab masing-masing masyarakat
dalam menjalankan sistem pendidikan, dan bukan hanya dibebankan kepada sekolah.
Seperti konsep TPQ Rumahan dalam masyarakat Lombok yang semakin hari tentu
semakin mengalami perubahan akibat dari globalisasi dan perubahan perilaku
masyarakat karena pesatnya perkembangan teknologi informasi. Merupakan kewajiban
kita bersama-sama untuk tetap mempertahankan kearifan lokal setempat, terlebih
lagi jika kearifan lokal atau local genius itu berkaitan dengan sistem
pendidikan islam.
Oleh: Muhammad Hasan Suryawan
Pemerhati Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar