Setelah saya pulang dan menginjakkan kaki di rumah tercinta, saya
tentu seperti orang asing. Mata saya melirik kesana kemari, melihat segala
sesuatu yang sudah berubah. Entah bangunan-bangunan baru, warna rumah tetangga
yang berubah, bahkan manusia-manusia baru yang ada, alias anak-anak balita
hasil perkawinan teman-teman saya. Padahal saya hanya meninggalkan desa selama
beberapa bulan saja. Namun peradaban manusia sungguh sangat cepat berkembang.
Hal ini sejalan dengan dengan teori tentang manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, dimana pada zaman dahulu manusia hidup secara nomaden di gua-gua,
dilanjutkan dengan hidup menetap, setelah itu mengenal kehidupan sosial di
tengah-tengah lingkungan masyarakat, termasuk perkembangann dari kehidupan
tradisional hingga kehidupan modern seperti saat sekarang ini merupakan satu
bukti bahawa manusia adalah mahluk yang berbudaya. Perubahan akan terus di
lakukkan oleh manusia menuju yang lebih baik. Namun ada yang mengganjal di hati
kecil saya ketika teori tentang perubahan yang dilakukkan manusia sangat lambat,
bahkan bisa dikatakan sebagai sebuah kemunduran saat kita melihat peradaban itu
pada sisi keagamaan. Arus globalisasi tentu telah membunuh peradaban manusia
dalam hal keagamaan ini.
Rumah saya kebetulan berada tepat di depan sebuah Mushalla. Suatu
hari ketika waktu shalat telah tiba, saya menyempatkan diri untuk shalat
berjamaah disana. Dan hal menarik yang saya lihat sebelum memulai shalat adalah
ketika saya melihat jama’ah yang hadir persis seperti yang dulu, tidak lebih
dan tidak kurang seperti yang saya lihat beberapa bulan yang lalu sebelum saya
berangkat ke kota Malang. Jama’ah itu terdiri dari seorang imam, dan lima
makmum serta satu jamaah baru. Dan rata-rata umur merekapun sudah mencapai 50
tahun keatas. Itupun satu jama’ah baru yang ada disana, seperti yang
diceritakan orang-orang, beberapa minggu lalu ia terkena diabetes dan
penyakit-penyakit lainnya, sehingga mungkin karena faktor itu dia rajin ke Mushalla
untuk shalat berjamaah. Apa itu sebuah bentuk persiapan jika sekiranya malaikat
datang untuk menjemputnya, atau mungkin sebuah pendekatan kepada Tuhan agar
penyakit-penyakitnya disembuhkan. Wallahhua’lam, hanya Tuhan yang tahu hal itu.
Namun ada satu pertanyaan mendasar ketika saya melihat jumlah jama’ah yang ada
disana bahwa, sebenarnya apa yang menyebabkan teori peradaban manusia tidak
berlaku di dalam kancah keagamaan. Mungkin salah satu sebab yang melatarbelakangi
semua itu adalah pemahaman mereka tentang pembagian prioritas antara
kepentingan dunia dan kepentingan di akhirat.
Orang-orang cenderung memiliki paradigma yang negatif dalam
mengkolaborasikan antara kehidupannya di dunia dengan persiapan di kehidupan di
akhiratnya nanti. Di masa muda mereka lebih suka bersenang-senang dan
foya-foya. Mereka sering menyampaikan perkataan, “sekarang di masa muda ini
waktunya senang-senang dan buat dosa, besok setelah tua baru tobat.” Padahal jika
mereka sadari tak ada satu manusia pun yang bisa menjamin nyawa seseorang satu
jam yang akan datang. Jika toh setelah mereka tua baru bertobat pemahaman
mereka akan sangat salah. Beribadah, beramal, dan melakukkan hal-hal baik
lainnya dengan tujuan surga. Mereka sering lupa dengan tujuan ibadah yang
sesungguhnya yaitu mencari keridohan Allah SWT. Namun jelas mereka akan
merasakan kesulitan yang sangat berat dalam segala bentuk ibadah mereka karena
memang mereka tidak dibiasakan dari masa mudanya. Kita mungkin sepakat dengan
pribahasa “perubahan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.” Ya.. tak
semudah membalikkan telapak tangan, mungkin kata-kata ini harus di garis
bawahi. Ketika ibadah dan kebaikan-kebaikan itu di mulai dari masa tua tentu
membutuhkan perjuangan yang extra untuk merealisasikannya. Itupun kalau niat
dan tujuan dari ibadah itu benar pada hakekatnya. Jika tujuannya hanya mencari
ampunan atas dosa-dosa mereka, hanya melakukkan kebaikan untuk menutupi
kesalahan-kesalahannya di masa lalu, atau paling umumnya mereka melakukkan
ibadah-ibadah itu agar mereka di jauhkan dari api neraka dan masuk kedalam surga,
maka ibadah mereka akan sia-sia. Inilah sekiranya pemahaman yang harus mereka
tahu agar di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushalla tak hanya di
dominasi oleh orang-orang tua yang sudah mengkoleksi beranekaragam jenis
penyakit, tapi juga di dominasi oleh kaum-kaum muda yang sadar bahwa dirinya
adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk mencari keridohan Tuhannya, sebagai
bentuk rasa sukur atas semua kenikmatan dan rahmat hidup yang telah diberikan.
Akhirnya saya mengambil topik diatas bukan karena saya merasa
pemuda yang sempurna dalam mencari ridho Tuhan, melainkan sebuah pesan yang
akan mengikat saya terus menerus karena memang sangat riskan sekali jika apa
yang saya katakan tidak saya jalani. Dan inilah cara saya memaksa diri saya untuk
terus dekat dengan Tuhan hingga pada akhirnya saya akan terbiasa. Wallahua’lam
bissawab..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar