Pada suatu kesempatan, saya meluangkan waktu untuk shalat dzuhur
berjama’ah di masjid at tarbiyah UIN Maliki Malang. Shalat itu diimami oleh
bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo. Setelah selesai shalat dan membaca wirid,
biasanya ada salah satu dari dosen memberikan kultum. Namun setelah takmir masjid
memanggil dosen yang bersangkutan dari depan mimbar, ternyata dosen tersebut tidak
hadir. Sehingga bapak imam dengan senang hati bersedia untuk menggantikan dosen
tersebut. Saya sangat bersyukur karena pada akhirnya beliau yang memberikan kultum
atau khazanah pada siang itu. Semua jama’ah
terlihat sangat antusias untuk mendengarkan khazanah dari beliau.
Beliau pun memulai ceramahnya dengan pembukaan yang luar biasa.
Sebagai prolog, beliau menceritakan bahwa beliau kini sudah menulis artikel
selama 4 tahun tanpa jeda, dan artikel-artikel itu kini sudah mencapai 1456
buah. Dalam hati saya, ini sebuah keistiqomahan tingkat tinggi. Mungkin saja
tahun depan beliau akan memperbarui rekor MURInya yang mana tahun lalu beliau
mendapatkan rekor MURI menulis artikel selama 3 tahun berturut-turut tanpa jeda.
Semua orang pasti sepakat bahwa ini sesuatu yang sangat luar biasa, seperti
keluarbiasaan beliau dalam memimpin UIN Maliki Malang, yang dulunya persis
seperti SD impres namun sekarang UIN Maliki Malang menjadi sebuah perguruan
terbaik di kelas PTAI se indonesia. Dan itu beliau lakukkan hanya dalam satu
dekade.
Kemudian beliau sedikit menyindir para civitas kampus agar
senantiasa menulis juga, karena menulis merupakan suatu hal yang sangat baik. Menulis,
jelas beliau, bisa mengukur kecerdasan seseorang dalam prespektif sendiri. Saya
sependapat dengan beliau, karena ada sebuah perbedaan yang signifikan antara
tulisan yang sudah kita tulis dulu dengan tulis yang kita tulis sekarang, dan
itu bisa kita jadikan sebagai titik acuan untuk mengukur kecerdasan kita. Banyak
hal yang membuat kita di katakan sebagai orang cerdas. Saya akan memfilosofikan
penjelasan beliau dengan prespektif sendiri. Misalnya ketika dulu saya
menanyakan sebuah konsep fisika pada guru fisika saya, kemudian beliau bisa
menjelaskan. Maka beliau tentu akan di katakan sebagai orang cerdas. Ketika
saya menanyakan rumus turunan di guru matematika saya, dan beliau bisa
memaparkan turunan itu, maka jelas beliau juga termasuk orang yang cerdas.
Begitu juga ketika saya menanyakan masalah tentang bahasa indonesia pada guru
bahasa indonesia saya, atau bahasa inggris kepada guru bahasa inggris saya, dan
mereka semua bisa menejelaskannya, maka merupakan sebuah kesepakatan yang umum
jika mereka dikatakan orang-orang yang cerdas. Inilah paradigma yang berkembang
ditengah-tengah kita saat ini bahwa, cerdas itu terkonsep hanya dalam bidang
ilmu pengetahuan alam, sosial, dan bahasa. Ini merupakan kesepakatan bersama.
“Namun nabi Muhammd SAW tidak sepakat dengan pendapat kita.
Pendapat mengenai syarat-syarat orang cerdas tadi.” Jelas pak imam. Saya dan semua jama’ah hanyut dalam demonstarai
dari runtunan kata-kata indah nan penuh makna dari beliau. Kemudian beliau
menjelaskan sebuah hadits. Dulu ada seorang sahabat nabi bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang bagaiman kriteria orang cerdas. Dan Nabi SAW menjawab, ‘orang
yang cerdas adalah orang yangs selalu mengingat mati.’ Dimana orang yang
cerdas akan selalu menyisihakan waktunya dan mempergunakan waktu yang ada untuk
senantiasa mencari bekal setelah dia mati besok. Orang yang cerdas, terang
beliau, bukan orang yang selalu mengganti mobilnya, memperbanyak rumahnya,
bukan juga orang yang menumpukkan hartanya setiap harinya walaupun semua itu di
dapat dari pengetahuan yang dia miliki.
Saya termenung dengan klimaks beliau. Berarti menurut presepsi
saya, banyak di antara para penguasa pemerintahan di negeri ini adalah
orang-orang yang tidak cerdas. Mereka selalu identik dengan hal-hal yang mewah,
walaupun setiap kali tampil di depan umum mereka terlihat begitu terpelajar.
Mereka biasa berbicara di atas podium gedung-gedung pemerintahan yang sangat
megah dan mewah dengan aksesoris jas rapi nan harum, namun ternyata selama ini
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tidak cerdas. Mereka memiliki rumah
megah. Coba kita bayangkan, dalam satu rumah bisa saja ada lima buah mobil. Masing-masing
untuk dia sendiri, untuk istrinya dan sisanya untuk anak-anak mereka. Dia lupa
dengan mati, dia juga lupa mempersiapkan segala sesuatu untuk dijadikannya
sebagai bekal setelah mati kelak. Yang ada dalam fikiran mereka hanyalah
bagaimana mereka mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan selanjutnya akan
digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, entah untuk berlibur, bertamasya,
bahkan berkeliling dunia setiap akhir pekan. Mereka lupa dengan sedekah sebagai
bekal mereka nanti setelah mati. Pantas saja, Indonesia tidak penah menjadi
negara maju hampir selama 65 tahun setelah mardeka. Dan hari ini apa yang
dikatakan oleh nabi Muhammad ternyata terbukti. Bagimana sesuatu biasa maju,
sedangkan orang-orang yang mengurusnya tidak cerdas.
Dan pertanyaannya sekarang, sepakatkah kita dengan kecerdasan ala
nabi Muhammad SAW?. Jika ia, maka kehidupan ini akan berjalan dengan seimbang.
Dimana para pengemban amanah rakyat disana akan melakukkan pekerjaannya dengan
niatan sebagai ibadah untuk di jadikan sebagai bekal kelak setelah mati. Mereka
tidak akan korupsi, mereka juga tidak akan tamak dengan harta. Mereka akan
senantiasa mengunakan pengetahuan luas dan kecerdasannya untuk kepentingan
hidup orang banyak. Jika mereka mempunyai harta yang lebih, maka mereka pasti
akan menyisihkannya sebagai bekal mereka di akhirat nanti, dengan kata lain
mereka akan rajin bersedekah. Namun jika pengetahuan yang dimilikinya hanya
untuk kepentingan pribadi, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bahkan mereka
mau semua kekayaan negeri ini untuk keluarganya saja, walaupn mereka pintar,
namun sesungguhnya mereka tidak pintar dan tidak cerdas kalau kita mengacu
kembali atas apa yang dikatakan baginda Nabi SAW di atas tadi bahwa orang yang
cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati, dengan makna dia akan senatasa
berbuat sesuatu untuk mencari ridho Allah SAW.
Apakah kita termasuk orang-orang yang cerdas? Selamat berfikir!!
Artikel By: Muh. Hasan Suryawan
Mhs. Jurusan Pendidikan Agama Islam di UIN Maliki Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar