Oleh: Gus Hasan Suryawan
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Kabiro Penerbitan di
Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa LKP2M Priode 2013
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Seperti biasa, setelah melaksankan shalat magrib, biasanya saya dan
beberapa teman yang bertempat tinggal di basecamp LKP2M melungkan waktu
untuk sekedar mencari makanan di angkringan, tempat berjejer beberapa
warung sederhana yang berlokasi dipinggiran taman Sangha yang berada di
Merjosari, Malang. Tiba-tiba, salah seorang teman saya yang bernama War’i
mengeluarkan satu statmen yang membuka diskusi kecil-kecilan kami sembari
menunggu pesanan tempe penyet yang sedang diproses oleh ibu pemiliki
warung. Apakah mungkin agama universal itu ada?
Agama universal yang dimaksud adalah agama yang mana didalamnya
berkumpul orang-orang yang merindukan kehidupan yang madani. Karena relaita
yang terjadi ditengah-tengah kehidupan sekarang adalah banyak diantara umat
beragama, khususnya mereka yang beragama islam tidak lagi menjalankan agama
sebagaimana mestinya. Agama hanya menjadi sebuah warisan yang diturunkan dari
orang tua mereka dan bukan beragama atas kehendak sendiri yang didasari atas
rasionalitas yang telah dibuktikan. Sehingga muncullah perilaku-perilaku
manusia yang sangat jauh dari apa yang telah disayri’atkan oleh agama islam
sendiri. Dan inilah yang membuat paradigma agama universal itu muncul.
Perlu diketahui bahwa, konsep agama universal diatas bukan berarti
golongan ini menjadikan konsep ketauhidan atau peribadatan yang berbeda-beda
kemudian disatukan menjadi satu. Namun dalam arti luasnya, agama universal
menjadi sebuah himpunan yang di dalamnya terdapat manusia-manusia (dari
berbagai agama, golongan dan ras) yang rindu akan kedamain di dunia ini. Karena
di era modern seperti saat sekarang ini, seseorang yang beragama bukan menjadi
tolak ukur baik atau buruknya prilaku yang dijalaninya. Bisa jadi, misalnya
seorang muslim dalam perilakunya tak sedikitpun menggambarkan dirinya sendiri
seseorang yang muslim. Bahkan justru, perilaku mereka yang tidak memiliki agama
(kaum atheis) lebih baik daripada mereka yang memiliki Agama. Sehingga dengan
demikian, siapakah yang lebih baik dalam hal ini. Apakah mereka yang beragama
namun tidak memiliki perilaku yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
agamanya ataukah mereka yang tak beragama namun memiliki perilaku sebagaimana
yang telah diperintahkan dalam agama?.
Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah dakwah kini hanya
menjelaskan kulit luar dari agama islam itu sendiri, tidak membahas tentang
substansi yang ada di dalamnya. Yang lebih parahnya lagi, di era perkembangan
teknologi yang sangat pesaat saat sekarang ini, agama bahkan dijadikan sebagai
komoditas. Agama islam dijadikan sebagai lahan yang menjanjikan bagi para
penanam modal (kaum kapitalis) untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Agama
islam bahkan dijadikan sebagai terapi, bukan lagi untuk penempaan dan penyucian
jiwa. Ketika manusia sudah merasa bosan dengan kehidupan modernnya, maka
menghadiri dakwah di acara-acara televisi menjadi sebuah solusi untuk sekedar
kembali ke jalan yang benar, katanya. Mereka kemudian sadar atas dakwah yang
telah disampaikan, yang sebenarnya dakwah itu hanya membahas kulit dari agama
islam itu saja. Atau kejadian-kejadian yang lain, misalnya ketika manusia yang
sudah memiliki segudang dosa, segudang kesalahan karena perbuatan masa lalunya,
kemudian diadakanlah acara-acara seperti Majlis Dzikir, tarining ESQ, atau
bahkan teraining ma’rifat. Dakwah-dakwah semacam ini hanya merubah pikiran
manusia hanya sebentar saja. Lihatlah betapa banyak orang yang menangis
tersedu-sedu saat suatu training itu mulai mengingatkan kesalahan yang telah
dilakukkan oleh peserta kepada orang tua mereka. Namun tak lama setelah itu,
kita akan lupa dengan tangisan kita tempo hari pada training tersebut. Kemudian
kembalilah kita pada wujud seperti semula, membuat kesalahan-kesalahan pada
orang tua. Ini membukatikan bahwa penyadaran yang ditimbulkan dari dakwah di
era modern sekarang ini hanya bersifat sementara dan penyadaran itu hanya
berlangsung sesaat. Itulah kiranya salah satu faktor yang membuat orang yang
beragama tidak mencerminkan seperti orang yang beragama seutuhnya.
Untuk itu, salah satu cara untuk merekonstruksi perilaku manusia
secara utuh adalah dengan jalan mengenal dan memahami substansi dari agama
islam itu sendiri. Tentu, sebelum merubah sesuatu alangkah pentingnya kita
memahami objek sasaran yang ingin kita rubah, dalam hal ini tidak lain adalah
manusia itu sendiri.
Jika kita mau mencari, ada banyak pemahaman dan definisi tentang
diri manusia. Ia adalah makhluk yang unik. Tentu hal inilah yang membuat
pembahasan mengenai diri manusia itu sendiri tak akan pernah habis-habisnya
untuk di kupas. Manusia disusun oleh berbagai macam komponen, mulai dari
potensi atau bakat, kekurangan, kelebihan, kekuatan dan lain sebagainya. Dan
untuk merubah sikap manusia menjadi lebih baik, agama islam tentu menjadi
sebuah solusi tunggal dan terpenting. Karena secara tidak langsung, substansi
dari ajaran agama islam itu sendiri lebih menjurus pada bagaimana untuk
memperbaiki dan mendidik perilaku manusia agar menjadi manusia yang berperilaku
terpuji. Bahakan seluruh bagian dan komponen ajaran islam memiliki nilai
filosofis demikian. Mislannya saja dalam bagian Ilmu Fiqih.
Tak ada yang paling tahu tentang sesuatu kecuali yang
menciptakannya. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah SWT. Tentu Allah-lah
yang pailng faham dengan karakteristik, hakekat dan kebutuhan manusia itu
sendiri. Untuk itu Allah menurunkan potensi agama kepada manusia denga tujuan
agar dapat mengendalikan dan mengatur tata cara kehidupan yang beradap di
tengah-tengah pergaulan manusia. Melalui Al-Qur’an dan As sunnah, manusia telah
diberikan lima point penting untuk menjalani kehidupan. Pertama, manusia
diperintahkan untuk bertauhid, baik dalam ruang lingkup uluhiyah ataupun
rububiyah. Kedua, manusia diperintahkan untuk beribadah. Ketiga,
manusia tawarkan janji dan ancaman. Keempat, manusia ditununjukkan ke
jalan kebahagiaan. Dan yang terakhir, kelima, manusia diberiakan
cerita-cerita terdahulu agar bisa mengambil pelajaran di dalamnya. Inilah lima
intisari yang dibahas dalam Al Qur’an, termasuk juga As sunnah. Dari beberapa
potensi agama ini, kemudian lahir beberapa ilmu. Termasuk salah satunya adalah
ilmu Fiqih.
Fiqih dalam epistemologi berarti faham. Sedangkan menurut
terminologi, fiqih adalah pengetahuan yang mempelajari tentang hukum syara’ dan
berkaitan dengan perbuatan manusia. Menurut Kitab Sabilal Muhtadin Jilid I,
bahwa syara’ itu terdiri dari empat macam, yaitu Ibadah, Muamalah (perdata),
Munakahat (perkawinan), dan Jinayat (pidana). Pembagian ini disesuaikan dengan
kekuatan yang ada di dalam diri setiap manusia. Adapun kekuatan-kekuatan itu;
Pertama, Quwatun Natiqah, yaitu kekuatan tanggap dan akal. Kedua, Quwatun
Syahwiyah Bathiniyah, yaitu kekuatan perut untuk makan dan minum. Ketiga, Quwatun
Syahwiyah Fajriyah, yaitu kekuatan keinginan untuk bersegma. Dan keempat, Quwotun
Gadhabiyah, yaitu kekuatan marah. Keempat kekuatan ini sesuai dengan
komponen syara’ tadi. Dimana Ibadah diprintahkan untuk mengendalikan Quwatun
Natiqah, Muamalah untuk mengndalikan Quwatun Syahwiyah Bathiniyah, Munakahat
untuk mengendalikan Quwatun Syahwiyah Fajriyah, dan Jinayat untuk
mengendalikan Quwotun Gadhabiyah. Maka sudah patut sekiranya kita
menyadari pemahaman akan Allah SWT. dalam menurunkan potensi agama yang mana
selalu sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia. Jika kita
benar-benar menjalani perintah dalam syara’, maka sudah jelas, kebaikan diri
sendiri akan kita dapatkan.
Fiqih selam ini dipandang hanyalah sebuah pengetahuan yang monoton.
Hanya dianggap sebagai pengetahuan untuk beribahah, menetapkan hukum dan
penyelesaian suatu perkara. Pendapat ini tentu dikemukakan oleh mereka yang
mengetahuai agama hanya sebatas kulitnnya saja. Namun dibalik itu semua,
substansi ilmu fiqih secara tidak langsung mengatur tatanan kehidupan yang
fundamental, beradab dan damai. Melalui ilmu fiqih, manusia dituntut untuk bisa
mengendalikan keempat kekutan yang ada di dalam dirinya melalui Ibadah,
Muamalah, Munakahat, dan Jinayat. Jika keemapt elemen ini sudah berhasil
dikuasai maka manusia akan menuju ke dalam kehidupan yang beradab, sesuai
cita-cita agama dan harapan manusia.
Inilah salah satu contoh rekonstruksi yang ada pada ajaran agama
islam. Jika kita benar-benar menyadari substansi dari agama itu sendiri dan
menjadikannya sebagai dasar sekaligus pondasi dakwah maka bukan tidak mungkin
kita tidak perlu adanya agama universal, karena di dalam islam sendiri telah
ada orang-orang yang berperilaku baik, agung dan terpuji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar