Oleh Muhammad Hasan Suryawan
Mhs. Jurusan PAI di UIN Maliki Malang
Perkembangan teknologi yang sudah sangat pesat saat ini, telah
banyak menorehkan perubahan hidup bagi kehidupan manusia. Perubahan itu terjadi
dengan begitu cepat. Menghusir nilai-nilai lokal setempat, memudarkan budaya
yang memiliki nilai etika dan estetika tinggi, yang kesemuanya itu merupakan
warisan dari para pendahulu kita. Bahkan semua lini kehidupan tak bisa
menghindari fenomena yang ditimbulkan oleh monster yang bernama globalisasi ini.
Mulai dari bidang perekonomian, dimana globalisasi telah merubah pola
kesederhanaan dan kebersahajaan masyarakat indonesia menjadi sosok-sosok
manusia yang konsumtif, kemudian menjadi pemuja kaum kapitalis. Gengsi adalah
bendera yang dikibarkan para kaum kapitalis agar masyarakat terus memuja
produk-produk mereka. Pola belanja masyarakat kini tak lagi berlandaskan atas
dasar kebutuhan, namun kini telah berubah menjadi pola yang berlandaskan
“gengsi-gengsian”. Masyarakat “diharuskan” memiliki sifat gengsi karena tak
memiliki handphone yang bagus, gengsi makan di warung sederhana, gengsi
tak memiliki barang-barang ber-merk dan lain sebagainya. Kita tak bisa lagi
merubah pola yang sudah sedemikian parahnya menjadi yang seperti dulu, karena
globalisasi seperti sebuah tiket satu arah. Jika sudah masuk, maka tak bisa
lagi untuk keluar.
Dalam bidang teknologi informasi pun demikian. Sifat “Gengsi” itu
tetap saja ada. Beberapa hari yang lalu saya tak sengaja mendengar percakapan
seseorang. Orang itu menanyakan nama twiiter temannya. Namun karena temannya
ini tak memiliki twiiter, sontak orang ini mengucapkan kata-kata yang kurang
lebih menjustifikasi bahwa orang yang tak memiliki twiiter adalah orang yang
ketinggalan zaman. Saya pun tersenyum, bukan karena sok pintar dan sok bijak,
atau pun dia belum faham atau saya sudah faham, tapi senyum saya itu
menggambarkan bahwa saya sendiri berarti orang yang katrok. Karena saya
kebetulan tidak memiliki akun twiiter. Budaya barat memang telah menjadi kiblat
dan standar kehidupan, bukan lagi budaya dan adat istiadat lokal kita sendiri.
Ah.. membahas mengenai dampak globalisasi secara umum memang tak
akan pernah khatam. Karena memang sangat banyak yang harus dan kudu di
jelaskan. Saya akan menyederhanakan penjelasan mengenai dampak negatif dari
arus globalisasi yang sangat kuat ini. Yakni budaya anak seusia sekolah dasar
masa kini sudah sangat berbeda jauh dengan budaya di masa anak-anak sekolah
dasar seusia saya dulu.
Masih teringat betul kepolosan-kepolosan kami waktu itu. Misalnya
dengan kebiasaan-kebiasaan bolang kami sepulang sekolah. Bak kewajiban
para anggota TNI untuk melaksanakan apel setiap paginya, sepulang sekolah kami
biasanya pergi mbolang ke sawah, kebun, dan biasanya kami mentutup
kegiatan itu dengan mandi bareng di sungai. Hampir setiap tingkah laku
kami bisa disebut sebagai sifat alami anak-anak seusia sekolah dasar. Saat
pergi ke sawah, ada-ada saja yang kami lakukkan. Jika hari itu adalah musim
layang-layang, maka sawah para petani menjadi bulan-bulanan kenakalan kami.
Berlari dengan kencang, ke timur, kemudian ke barat, mengejar layang-layang
yang putus. Tak peduli apa yang ada di depan kami. Tak peduli dengan kondisi
sawah, entah waktu itu sedang pembibitan benih, ataupun akan segera penen padi,
kami tak peduli dengan hal-hal semacam itu. Karena bagi kami mendapatkan
layang-layang adalah hal utama, meski harus merusak padi para petani. Namun
biasanya petani tidak tinggal diam. Mereka terus mengawasi sawah-sawah mereka,
jika ada anak yang berani berlari di atasnya, maka siap-siap petani tersebut
akan mengejar kami semua. Kami biasanya berlari ke arah kebun untuk mencari
aman. Bersembunyi, merayap, apapun akan kami lakukkan asalkan petani itu tidak
menemukan kami.
Masuknya kami ke kebun malah akan merugikan pemilik kebun. Jika tak
ada penjaganya, kami pasti mencuri buah-buahan yang sedang berbuah pada waktu
itu. Mangga adalah buah faforit kami. Kalau tidak mangga, maka jambu air adalah
pilihan alternatif kami. Namun ada salah satu kebiasaan yang baru-baru ini saya
sadari sebagai kebiasaan yang sangat buruk, lebih buruk daripada merusak sawah
petani atau mencuri buah-buahan. Apalagi kalau bukan memetik “bunga” atau calon
bakal buah dari jambu air yang selanjutnya kami gunakan sebagai amunisi Beledok
(sebuah senjata mainan tardisional dari bambu yang berukuran sangat kecil).
Bukan hanya petani yang merugi, tapi warga desa pun ikut terkena imbasnya.
Setiap malam kami biasanya berkeliling desa untuk mencari cicak yang melekat di
dinding rumah-rumah warga. Kalau kami berjumpa dengan cicak maka kami akan
menembakinya dengan bersamaan. Hari jum’at adalah hari faforit kami untuk
memburu cicak. Karena menurut guru ngaji, membunuh cicak pada malam jum’at akan
mendapat pahala yang besar. Betapa semangat untuk memburu cicak akan menjadi
lebih besar beberapa kali lipat jika hari jum’at sudah datang. Tapi lagi-lagi,
kami akan diusir atau disiram air oleh pemilik rumah. Bayangkan, suara satu beledok
saja ketika sudah dibunyikan akan menimbulkan suara yang sangat keras. Belum
lagi noda yang timbul di tembok rumah-rumah warga akibat amunisi yang kami
gunakan. Ini masih ringan sebenarnya, jika dibandingkan ketika kami sedang
berperang. Anak-anak dari RT sebelah biasanya menantang kami untuk berperang.
Tak ada pilihan lain kecuali menerima tantangan itu. Jadilah satu desa sebagai
medan peperangan. Setiap sudut rumah warga kami jadikan sebagai bentang
pertahanan. Kami berlari, menembak, bersembunyi, gaduh pun tercipta.
Jika sudah sepert itu, para ibu-ibu biasanya keluar dan mengomel di
depan rumah masing-masing. Namun para bapak-bapaklah yang akan membela kami.
“Biarkan saja, namanya juga anak-anak”. Begitulah para bapak-bapak meredam
emosi para ibu-ibu. Namun lain halnya jika hari itu misalkan bulan ramadhan.
Kalau kami membuat gaduh, para bapak-bapak akan berlaku tegas untuk melarang
kami, kalau sudah begitu kami akan mengganti permainan menjadi permainan peta
kumpet. Konyol, lugu, nakal, bandel, pembuat gaduh, pembuat masalah, itulah
mozaik hari-hari kami. Namun bukan berarti kami melupakan percintaan.
Dunia percintaan kami pun sangat polos. Jika kami naksir dengan
seorang wanita di kelas, kami pasti akan mendam perasaan itu. Jika ada salah
seorang teman yang peka dan mengetahui tentang perasaan ini, maka siap-siap ia
akan menjadi bulan-bulanan teman-teman di kelas. Biasanya, mereka akan
menuliskan nama orang yang menaksir dan orang yang ditaksir di papan tulis dan
di tempat-tempat lain, kemudian ditengah-tengah nama itu ada lambang love, atau
kata “VS”. Anak yang naksir kemudian memiliki kesibukan baru, yaitu menghapus
tulisan-tulisan itu. Parah, jika anak yang menjadi korban ini misalnya memiliki
postur tubuh yang pendek. Karena hal ini akan menyulitkannya untuk menghapus
jika ada salah satu tulisan yang ditulis di bagian paling atas dari papan
tulis. Ia biasanya akan membiarkannya dengan gelagak tak mampu, walaupun
sebenarnya di hatinya mengharapkan setiap sisi kelas di tulisi oleh
tulisan-tulisan itu.
Anak yang paling gantel biasanya akan mengirimi surat sang gadis
pujaan. Jika surat itu dibalas, maka bahagianya bukan main. Tak ada di dalam
kamus kami untuk pergi berdua-duaan, atapun pergi ngapel ke rumah sang gadis.
Paling berani, kami biasanya sengaja pergi bermain-main di dekat rumah sang
gadis pujaan hati. Melihat jendela kamar gadis itu saja sudah cukup
membahagiakan. Apalagi sampai gadis itu biasanya terlihat menyapu-nyapu diteras
rumahnya, kami biasanya salah tingkah. Kemudian melakukan sedkit sensasi,
berharap sang gadis melihat kami. Dasar masa kanak-kanak, penuh dengan
keluguan, kepolosan, bahkan sifat itu tetap muncul di suasana percintaan
sekalipun.
Momen yang tak kalah asiknya, adalah mandi di sungai. Berapa kali
sudah ibu melarang saya untuk mandi ditempat itu, tapi tetap saja saya mangkir
dari petuah-petuah itu. Kami biasanya bermain “jadi-tidak”. Anak yang jadi
biasanya seperti orang gila. Ia di olok, di bongkar semua keburuakannya, bahkan
tak boleh marah jika nama orang tuanya dibawa-bawa. Anak yang jadi biasanya
akan berusaha menyentuh anak lainnya, jika salah seorang anak terkena sentuhan
dari yang jadi ini, maka ia kan berhenti di olok. Anak yang tersentuh tadilah
yang kemudian akan berstatus sebagai orang yang jadi dan berhak menerima olokan
dari teman-teman yang lainnya. Ia kemudian berlari dan berusaha mengajar
taman-teman yang lain. Jika bisa menyentuh yang lain, maka status jadi tadi
akan berpindah ke anak yang terkena setuhan. Begitulah seterusnya. Kami
biasanya menyelam dan bersembunyi di semak-semak pinggiran sungai. Bahkan jika
merasan perlu, kami tak segan-segan berlari ke jalan raya dengan kondisi
telanjang bulat. Tak ada perasaan malu memang pada waktu itu. Kami melakukannya
dengan penuh keluguan dan kepolosan.
Hari kemudian berganti, globalisasi telah merubah segalanya. Ia
merubah kebiasaan anak-anak seusia kami dulu menjadi manusia-manusia yang tak
selugu kami dulu. Suatu hari saya tak sengaja berjalan-jalan di tepian sawah,
dimana tempat ini dulunya menjadi lokasi penyaluran segala macam bentuk
keonaran saya dan teman-teman. Suasananya terlihat sangat sepi, sunyi, dan itu
terjadi karena sudah tidak ada lagi kenakalan-kenakalan yang kami buat disana.
Terlihat seperti ada sesuatu yang kurang. Saya kemudian melanjutkan perjalanan
ke arah kebun. Pemandangan serupa pun tersaji. Nyaris terlihat tak bernyawa. Kebun-kebun
itu terlihat tak berwarna lagi tanpa kenakalan-kenakalan dari kami. Hanya
terlihat seorang penjaga kebun yang dulu sering mengejar-mengejar kami. Ia kini
terlihat sudah agak tua dan renta.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah sungai. Kondisi sungai
terlihat sudah tak terawat lagi. Tak ada lagi gembel-gembel macam kami yang
setiap harinya mandi disana. Dengan aktifitas mandi yang hampir setiap hari
kami lakukkan disana, secara tidak langsung akan membuat kondisi sungai itu
menjadi bersih dari lumpur-lumpur yang ada di dasarnya. Kini tak ada lagi
anak-anak sekolah dasar yang mau mandi di atas sungai yang penuh dengan
kenangan itu. Saya sangat miris melihatnya.
Ketika malam sudah tiba, suasana desa pun kini terlihat kondusif.
Tak ada lagi berandal-berandalam macam kami yang membuat kegaduhan setiap
malamnya. Apakah yang sedang terjadi, saya pun bertanya-tanya. Saya baru sadar
satu hal ketika saya sudah melihat fakta yang sedang terjadi. Arus
globalisasilah dalang dari semuanya. Ia telah merenggut masa kenakalan yang
seharusnya di rasakan oleh anak-anak di zaman sekarang. Setiap malam anak-anak
seusia sekolah dasar kini telah memiliki kesibukan baru dengan handphone
yang mereka miliki. Jejaring sosial telah menjelma menjadi sawah dan
layang-layang mereka, chatingan telah menjadi sungai-sungai yang mereka
gunakan untuk bermain, dan facebook telah menjadi kebun dan buah mangga yang
hendak mereka curi.
Anak-anak di zaman sekarang, sudah enggan dan tidak mau lagi
bermain di tengah sawah, diatas trik sinar matahari. Kulit harus dijaga agar
tetap putih dan bersih alasan mereka. Karena jika mereka tetap bermain di sawah
maka itu berarti akan membuat perjuangan pemutihan kulit oleh “handbody”
yang mereka gunakan akan menjadi sia-sia. Sangat berbeda dengan kami dulu,
bahkan kulit kami nyaris tak ada bedanya dengan hitamnya bagian bawah panci.
Apakah yang menyebabkannya?. Tak ada lain karena dunia percintaan.
Cara mereka mencintai seseorang kini pun sudah berbeda jika
dibandingkan dengan zaman kami dulu. Bahkan pernah seorang anak yang
menceritakan pengalaman “dosa terindah” dengan pacarnya. Saya sangat sedih
mendengar cerita-cerita itu. Prilaku abmoral seolah menjadi sebuah kebanggaan
yang harus diketahuai oleh orang lain. Mereka sudah mengenal pelukan, ciuman,
bahkan selebihnya. Saya terdiam. Inikah tugas berat seorang guru kelak. Sebuah
tantangan yang tak ringan menurut saya, dalam rangka menegakkan kembali
keluguan-keluguan mereka, kepolosan-kepolosan sikap mereka, kenakalan apa
adanya, bahkan tugas berat para guru untuk mengambalikan kegaduhan tiap malam
seperti apa yang telah saya dan teman-teman saya lakukan dahulu.
Globalisasi telah menginfeksi,
Menjalar ke hampir setiap bagian dan lini,
Jika ada niat seseorang untuk membasmi,
Percuma, itu hanya mimpi,
Yang mungkin bisa kita lakukan hari ini hanyalah membekali diri,
Dan membekali generasi selanjutnya agar mereka kuat menghadapi arus
globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar