Oleh M. Hasan Suryawan
(Penulis adalah Mahasiswa PAI di UIN Maliki Malang)
Aku tak paham sedikitpun mengenai semua takdir dari-Nya. Pikiranku,
bahkan tak kuasa melihat jauh kesana, persis seperti ketidakkuasaan pikiran ini
memikirkan dzat-Nya. Ketika manusia sudah tak mampu lagi berbuat, berkata
apalagi merubah sesuatu yang telah ditakdirkan, mereka biasanya akan mengatakan
satu kalimat yang ia ucapkan untuk membuat dirinya sendiri merasa tegar. Adalah
sebuah kalimat yang juga berarti sebuah harapan di masa depan; Tuhan Tahu Tapi
Menunggu.
Pernahkah kita disuatu waktu merasakan cinta yang begitu mendalam
kepada seseorang. Cinta yang katanya alam semesta sebagai cinta sejati miliki
kita. Seluruh jiwa dan raga pun diserahkan kepada sang pemilik cinta. Siang dan
malam tak lagi terasa berbeda, karena kebahagiaan telah menyatukan keduanya. Yang
ada di dalam hatinya hanyalah keceriaan, bagai sebuah siang di bawah pepohonan
rindang. Kicauan burung gereja itu, angin sepoi itu, kedamaian itu, trik
matahari yang terhalang dedaunan itu, alunan musik merdu itu, seperti itulah
gambaran hati orang yang memiliki cinta sejati. Yang ada di dalam hatinya
hanyalah kehangatan, bagai seseorang yang ada ditengah hutan yang sangat dingin
kemudian di depannya berkobar api unggun. Bintang-gemintang itu, kedinginan
itu, api unggun itu, kehangatan itu, suara bintang malam itu, kesunyian itu,
seperti itulah kedamian dan kehangatan di hati mereka yang sedang memiliki
cinta sejati.
Tapi itu cinta yang belum teruji. Jika kita mampu mengatasi ujian
yang datang, maka keindahan yang akan kita raih bukan hanya sebatas seperti
siang dan malam, melainkan kebahagiaan seperti di surga. Maka Tuhan kemudian
mengutus setetes air mata yang tumpah di atas kobaran cinta itu. Tak bergeming.
Tuhan pun menurunkan kembali dua tetes air mata. Juga tak bergeming. Tuhan
kemudian menurunkan tiga tetes air mata. Pun juga tak bergeming api cinta yang
sedang menyala itu. Tuhan pun menurunkan hujan air mata. Dan meluluhlantahkan
kobaran api cinta itu. Padam, tak berkobar lagi. Yang tersisa hanyalah abu yang
tergerus terbawa air ke dalam sungai. Kemudian berlayar ke lautan dalam.
Disana, abu-abu cinta itu tenggelam ke dasar lautan. Ya, seperti itulah cara
Tuhan mengubur cinta yang ada di dalam hati seorang manusia.
Sekejam itu?. Tidak. Ingatkah kita dengan sifat kasih sayang Tuhan
untuk umat manusia. Tuhan Tahu Tapi Menunggu.
Seperti Kugi dan Kinan di dalam balada Perahu Kertas. Seperti nabi
Adam dan Sitti Hawa. Lihatlah cara Tuhan menenggelamkan kapal cinta mereka. Bahkan
ke dalam samudera yang paling dalam, sungguh dalam. Namun pada akhirnya mereka
kembali bersama dan berlayar. Tentu kisah jilid dua itu akan lebih bermakna.
Kenapa? Karena kebahagiaan yang mereka rasakan hari ini lebih bermakna.
Kebahagiaan mereka kini tak hanya seperti siang hari yang cerah dengan
burung-burung gereja di atas dedaunan pepohonan yang ridang. Atau tak hanya
seperti dinginnya malam yang terhalang api unggun. Kebahgiaan itu kini lebih
berarti karena mereka telah menemukan hakikat kebahgiaan yang sesungguhnya.
Yaitu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan mereka kesempatan untuk
bersama. Kini Tuhan pun telah berhasil membuat manusia mengerti akan satu
kosakata agung yaitu syukur, yang semestinya sudah ada sejak pertama kali cinta
itu ada.
Tuhan Tahu Kalu Cinta Yang tulus itu akan berjodoh, tapi Tuhan
menunggu datangnya hari dimana dua cinta yang telah lama berpisah itu bersatu
kembali dalam balutan rasa syukur kepada Tuhan, yang menghangatkan mereka
berdua di dalamnya, selamanya. Namun tak jarang, Tuhan sering mengirimkan cinta
baru di dalam hidup mereka. Kemudian mereka syukuri semua nikmat-nikmat itu.
Dan hidup bahagia di dunia sekaligus perantara kebahagiaan di surga, itulah
kebahagiaan sejati yang dibawa oleh seorang jodoh terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar