Oleh
Muh. Hasan Suryawan
Masih
santer terdengar ditelinga kita tentang banyaknya permasalahan yang muncul di dunia
pendidikan kita dewasa ini. Mulai dari masalah yang paling sedarhana seperti
sistem pembelajaran sampai pada masalah yang lebih pelik yaitu sistem
perpolitikkan yang mengatur Pendidikan. Sebenarnya istilah “politik” itu tidak
selalu menggambarkan hiruk-pikuk dan dinamika yang terjadi di tataran legislatif
—pengambil kebijakan—yang terkadang diartikan negatif. Karena dalam arti luasnya,
politik berarti cara untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa arab, politik diambil
dari kata “falsafah” yang berarti cara, jalan untuk mencapai tujuan
tertentu. Politik pendidikan pun akan membuat segala aktifitas pendidikan
menjadi terarah serta dapat berjalan dengan efektif, mudah dan efesien. Namun
berbeda dengan perpolitikan dalam pendidikan. Hal itu mengindikasikan
terjadinya transaksi kepentingan dalam pengambil kebijakan atas pendidikan.
Miris, seharusnya pendidikan harus bebas, mardeka dan tidak terikat dengan
hal-hal semacam ini.
Banyak
kekarasan yang terjadi di lembaga pendidikan (sekolah) kita saat ini, mulai
dari tauran hingga pergaulan bebas. Kekerasan bukan hanya terjadi antar
sekolah, namun juga terjadi antar pelajar dalam satu sekolah. Misalnya antara
satu geng dengan geng yang lainnya maupun kekerasan yang terjadi antara Senior
terhadap Juniornya. Kekarasan itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi
juga kekerasan psikis, misalnya terjadi fenomena bullying. Selain itu,
seringkali terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum-oknum terkait
kepada siswi-siswinya. Kurangnya sosialisai atau pendidikan gender menyebabkan
siswi selalu menjadi objek-objek kekerasan semacam ini.
Sekolah
dambaan? Adakah sekolah dambaan itu?. Mungkin sekolah dambaan bukan lagi sebuah
impian di negeri ini. Sekolah dambaan biasanya dapat kita temukan di
daerah-daerah terpencil, terluar dan terisolir. Misalnya Yayasan Harapan
yang didirikan oleh Bapak Izar di daerah Bajulmati, Kabupaten Malang. Dengan
penuh keterbatasan, Yayasan Harapan yang juga dikelola oleh Bapak Izar sendiri,
mendirikan beberapa sekolah yakni mulai dari PAUD hingga Sekolah Dasar (SD).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait belum terlihat membantu, terutama
secara finansial demi kelancaran proses pendidikan di Yayasan Harapan.
Mirisnya, keberadaan sekolah-sekolah kerakyatan semacam ini hanya dipelopori
oleh beberapa orang saja, misalnya Yayasan Harapan tadi didirikan oleh Bapak
Izar sendiri. Ditengah keterbatasan lembaga sekolah kita di
pedalaman-pedalaman, para elit sibuk menghitung anggaran, bahkan mungkin saja
terjadi “pemaksaan” laporan pertanggung jawaban sana-sini agar dana yang begitu
banyaknya itu dapat digunakan seluruhnya terlepas apakah program yang
dilaksanakan penting, tidak terlalu penting bahkan tidak penting. Yang
terpenting ialah agar “tidak mubadzir”, daripada sisanya harus dikembalikan
lagi.
“Uang
bukan segalanya, namun segalanya butuh uang”, itulah yang
harus digaris bawahi. Misalnya jika negara kita miskin, anggaran pendidikan
terbatas, maka protes tentu tidak akan terlalu gencar dilakukan. Masalahnya
adalah terjadi ketimpangan yang sangat mengenasakan, disatu sisi lembaga
pendidikan sampai ‘bingung’ harus membeli apa dengan dana yang ada di kas
sekolah mereka, namun disisi lain, banyak lembaga pendidikan yang membutuhkan
dana bahkan banyak yang harus tutup karena keterbatasan dana.
Penting untuk kita fahami bahwa pendidikan itu
meliputi tiga aspek yaitu Formal,
Informal dan Nonformal. Namun selama ini pemerintah hanya sibuk mendandan
pendidikan formal kita, entah itu berupa kebijakan-kebijakan kurikulum dan
sebagainya. Anggaran ratusan triliun pun hanya mengukucur ke ranah pendidikan
formal saja. Sehingga muncul paradigma bahwa “pendidikan itu hanya di Sekolah,
jika ingin membuat anak menjadi pintar maka beri dia pendidikan dan pendidikan
hanya di Sekolah”. Padahal di Sekolah sendiri peserta didik bisanya hanya
menghabisakan waktunya antara 6-8 jam, selebihnya dihabisakan di ranah non
formal yaitu Keluarga dan Masyarakat. Di sisi lain, adanya paradigma ‘pendidikan
hanya di sekolah’ menyebabkan ketergantungan yang luar biasa Masyarakat
terhadap lembaga pendidikan seperti Sekolah dalam rangka untuk menyekolahkan
anak-anak mereka agar bisa menjadi anak yang pintar. Tantang terhadap lembaga
pendidikan tersebut haruslah disikapi dengan serius, namun sampai dengan saat
ini masih banyak hal yang harus dibenahi, mulai dari Sistem, Manajemen sampai
pada proses pembelajaran peserta didik di sebuah lembaga pendidikan atau
sekolah. Korelasinya adalah dengan banyaknya masalah serta dijadikannya sekolah
sebagai satu-satunya tempat menuntut ilmu, maka masih perlukan sekolah
dipertahankan?.
Pendidikan Nonformal semestinya mendapat
perhatian juga dalam kebijakan pendidikan kita. Bilaperlu dibuatkan sebuah
kurikulum yang dalam hal ini bisanya disebut kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) agar peran masyarakat dan keluarga di dalam pendidikan
mendukung peran sekolah. Hal itu terbukti dari realita bahwa pendidikan
nonformal sangat menentukan prestasi anak saat di Sekolah. Rata-rata yang
menjadi juara kelas dan anak berprestasi dalam sebuah kelas memiliki kondisi
keluarga yang kondusif. Mulai dari orang tua yang selalu memperhatikan jadwal
aktititas anak di rumah dari pagi hingga ia tidur dapa malam harinya. Aktifitas
belajar dimonitoring sedimikian rupa tentu tanpa harus mengorbankan kehidupan
sosial si anak.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK saat ini
bukan hanya menjalankan aktifitas-aktiitas yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi (tipikor) melainkan juga gencar melakukan program-program
pencegahan korupsi. Salah satu cara, seperti yang dikemukakan oleh Pimpinan
KPK, Abraham Samad di acara Kick Andy Metro TV bahwa KPK akan mengadakan
sosialisasi tentang Pendidikan Anti Korupasi Berbasis Keluarga. Karena menurut
Abraham Samad, keluarga menjadi lingkungan awal bagi seorang manusia. Jika
keluarga telah melakukan pembelajaran akan pentingnya sikap jujur kemudian
didukung oleh orang tua yang selalu memberikan tauladan dan akhlak mulia, maka
besar harapan budaya korupsi pada generasi berikutnya telah hilang. Untuk
itulah, pendidikan keluarga (nonformal) juga penting dan tidak boleh dipandang
sebelah mata.
Selain itu, hal positif juga diperlihatkan oleh
pemerintah DKI Jakarta, beberapa bulan yang lalu muncul kebijakan yang
mengharuskan anak untuk belajar pada malam hari. Diharapkan dengan adanya
kebijakan tersebut, masyarakat ikutserta dalam mengawasi aktifitas anak
khususnya pada malam hari. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa
kebijakan tersebut tidak keluar dari Kementrian pendidikan kita?. Seharusnya hidden
curriculum di rencanakan dan kebijakan pendidikan harus sampai pada tataran
non formal yaitu keluarga dan masyarakat.
Sekolah dalam artian kelembagaan tentu masih diperlukan
apalagi di era globalisasi saat ini. Tentu tujuan adanya sekolah adalah untuk
melakukan aktifitas kelembagaan. Sekolah bukanlah satu-satunya ranah yang harus
diperhatikan, melainkan aspek lain (non formal) yaitu Keluarga dan Masyarakat.
Kelembagaan sekolah juga perlu adanya perbaikan terhadap sekian banyak
kekurangan yang kini masih menganga terutama kaitannya dengan
industrilisasi pendidikan dan pengaruh-pengaruh kebijakan dari kaum Kapital
atau pemiliki modal. Sehingga, jika kelembagaan sekolah sudah tertata rapi,
serta didukung oleh pendidikan nonformal oleh keluarga dan masyarakat, maka
barulah kita boleh optimis dengan hasil yang akan dicapai nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar