Oleh
Muh. Hasan Suryawan
Apakah
sebenarnya tujuan sebuah agama bagi Manusia?. Dalam pandangan islam, turunnya
agama bertujuan menjadi penyeimbang bagi potensi-potensi yang sebelumnya sudah
diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia, yaitu potensi indera dan akal. Lanjut
menurut presfektif islam, agama kemudian menjadi satu tatanan aturan yang
universal dan komperhensif yang mengatur setiap tingkah laku dan pribadi
manusia serta bertujuan untuk menghindari timbulnya keburukan yang berpotensi
diciptakan oleh akal manusia. Namun secara umum, lahirnya atau keberadaan
agama-agama sangat erat kaitannya misi moralitas seperti dalam pengalaman
sejarah yang berkaitan dengan lahirnya agama Konghucu. Terkadang sistem
Ketuhanan bukanlah hal yang utama, dimana misalnya baik agama Budha ataupun
Hindu dan juga Konghucu sangat minim membahas tentang persoalan ketuhanan ini.
Sehingga jawaban pertanyaan tentang tujuan lahirnya sebuah agama tergantung pendekatan
mana yang ingin dipakai.
Pada
umumnya, kita akan menyepakati satu trem bahwa semua agama pasti
mengajarkan kebaikan dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Tidak ada
satupun ideologi satu agama yang mengajarkan kebencian dan saling memusnahkan. Immanul
Kant, seorang filsuf barat mengatakan “inti kebaragamaan seseorang ialah
bertindak secara moral”. Lebih lanjut lagi Kant mengatakan bahwa agama
melangkah melampaui moralitas swasembada dengan mendatangi Tuhan demi bantuan
perihal sesuatu yang diakui sebagai Tugas mustahil lainnya. Inti dari
keberagamaan memang terletak pada bagaimana kita saling menghargai terhadap sesama
manusia. Islam mengajarkan “orang yang paling baik diantara kamu ialah mereka
yang bermanfaat bagi orang lain”. Lebih luas lagi bahwa Tuhan tidak akan
mengampuni dosa seorang hamba sampai dia mendapatkan ampunan atau dimaafkan
oleh sesama manusia. Disini kita melihat bahwa agama sangat memperhatikan
perihal moralitas.
Konsepsi
tujuan keberagamaan yang begitu luhur seperti yang telah disebutkan atas
terkadang sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi saat ini (realita).
Banyak terjadi kekerasan, pembunuhan dan peperangan yang justru disebabkan oleh
(atas nama) agama. Akan tetapi banyak pihak yang mengatakan bahwa itu
disebabkan oleh okum-oknum tertentu saja. Namun bagaimanapun alasan tersebut
tidak serta merta dapat diterima, mengingat pengaruh agama mulai dari doktrin
juga memiliki andil yang cukup besar terhadap kekrasan yang terjadi. Sigmund
Freud bahkan mengatakan bahwa agama itu sebagai racun. Disatu sisi agama
menginginkan terciptanya moralitas yang tinggi, namun pada kenyataannya justru
banyak kekerasan dan perilaku negatif tercipta dari agama itu sendiri. Apakah
memang demikian?
Untuk
menyimpulkan apakah kekerasan yang terjadi benar-benar dikarenakan adanya
oknum-oknum tertentu atau memang kekerasan dan penyimpangan moral itu terjadi
karena agam itu sendiri?. Hal ini lantas tidak serta merat kita putuskan secara
cepat. Kasus kerusuhan yang terjadi akibat isu-isu agama ini seringkali terjadi
mulai dari tragedi Ambon, kasus Tolikara Papua, dan terjadi banyak kerusuhan
antar umat beragama di pulau Lombok sedikit memberikan gambaran kepada kita
bahwa hal itu terjadi karna doktrinasi-subjektifism ajaran agama khususnya
islam sehingga mereka mengetahui ajaran agama islam namun tidak memahami dari
sisi aksiologinya. Mereka memang melaksanakan shalat, namun meraka tidak
mengetahui untuk apa mereka shalat. Dari hal tersebut kita mendapatkan asumsi
bahwa pendekatan dalam melakukan studi islam akan menentukan seperti apa agama
itu dijalani.
Richard
C. Martin mengemukakan dua pendekatan di dalam Studi Agama, yaitu fidestic-subjektifism
dan scientific-objektifism. Fidestic-subjektifism merupakan pendekatan
yang dilakukan dengan doktrinasi-teologis. Dimana agama hanya dipahami sebagai
agama ritual semata. Sehingga ajaran yang diajarkan hanya sebatas seputar
ibadah, Surga, Neraka, Malaikat dan hal-hal yang berbau irrasional. Sehingga
seringkali muncul kesan “hanya agama saya yang benar dan agama lain salah”. Setelah
persepsi semacam ini muncul maka toleransi dan pluralisme keberagamaan menjadi
lemah sehingga terjadilah kekerasan-kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Padahal agama sendiri lagi sekali tidak pernah mengajarkan kebencian dan perpecahan.
Sehingga
kita memerlukan pengkajian agama (studi agama) melalui pendekatan lain agar
permasalahan minus moral umat beragama diatas dapat teratasi. Seperti pada
pendekatan jenis kedua Richard C. Martin mengatakan bahwa Scientific-Objektifism
merupakan pendekatan yang mempelajari islam melalui disiplin-disiplin ilmu yang
telah matang, seperti psikologi, sosiologi, antropologi melalui
pendekatan-pendekatan konstruksi sosial, fenomenologis, etnografi, demografi
dan lain sebagainya. Di dalam pendekatan ini, aspek sosialis sangat dijunjung,
dimana umat beragama tidak hanya mengatahui golongannya sendiri namun juga
disadarkan dengan adanya golongan-golongan lain yang berbeda darinya. Dari sini
sikap moralitas tercipta dan menjadi penggerak rasa toleransi antar umat
beragama. Di dalam islam sendiri, konsep moralitas ini tercermin dalam istilah
ihsan. Seseorang yang telah ihsan menurut islam ialah mereka yang telah berbuat
baik bagi setiap orang dan apa yang ada di alam ini (tidak membeda-bedakan
agama, suku, ras dan golongan).
Dalam
pelaksanaannya, kedua pendekatan di atas baik itu fidestic-subjektifism
dan scientific-objektifism haruslah saling melengkapi satu dengan yang
lainnya. Menggunakan Fidestic-subjektifism berarti menguatkan ajaran
islam sendiri secara internal yaitu berupa doktrin, ajaran, aturan, hukum dan
lainnya menurut dalil al Qur’an dan al Hadits. Sedangkan mempelajari islam
melalui pendekatan Scientific-objektifism berarti mempelajari islam
secara ekstrenal, yaitu mengkaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan
metode ilmiah yaitu dimana kita bisa mengidentifikasi agama islam melaui
tingkah, perbuatan dan kreasi manusia yang dapat diukur secara pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar