Andrea Hirata beru-baru ini merilis novel terbarunya
yang berjudul Ayah. Bagi saya, istilah Ayah merupakan istilah yang akan
mengingatkan kita pada segudang cerita kehidupan, segudang makna hikmah dan
segudang pelajaran serta nasehat hidup yang pernah ia ajarkan. Terkadang Ayah
memberikan pelajarannya melalui kata-kata, namun yang paling banyak tentu
dengan teladan. Saya pribadi memiliki segudang pelajaran dan cerita bersama
seorang Ayah, bahkan diri saya hari ini tidak lebih merupakan cerminan beliau
(Ayah).
Ayah atau dalam bahasa sasak Mamik (panggilan bagi
seorang Ayah yang sudah melaksanakan ibdah haji) pernah mengatakan kepada saya
bahwa hidup ini adalah permainan, tapi jangan mempermainkan permainan. Kalau
kamu mempermainkan permainan, maka hidupmu akan main-main. Pernyataan ini
saya dengar pada saat saya masih berusia kira-kira 10 tahun. Dan itu bukan
nasehat atau pernyataan beliau yang pertama kalinya, bahkan sebelum itu banyak
sekali pernyataan-pernyataan serupa yang beliau ucapkan kepada anak-anaknya.
Bagi anak laki-laki, kehadiran sosok Ayah atau Bapak
sangat dibutuhkan. Karena pada usia 9 tahun dan seterusnya, anak laki-laki akan
benyak meniru kebiasaan dari jenis kelaminnya yang sama tentu dalam hal ini
seorang Ayah. Bahkan jika sudah bercerai, seorang Ibu harus mencarikan anak
laki-laki panutan, entah itu paman, kakek, kyai dan sebagainya untuk anak
laki-lakinya. Agar si anak ini memiliki teladan yang harus ditiru.
Dari kecil saya sering sekali diceritakan persoalan-persoalan
masyarakat oleh Mamik saya. Maklum, Mamik saya kebetulan bekerja di kantor
kelurahan di Desa saya. Sudah puluhan tahun beliau mengabdi disana. Banyak
cerita tentang persoalan masyarakat, entah itu soal beras raskin misalnya,
persoalan kesehatan juga selalu beliau ceritakan. Doktrin itu bertahun-tahun
lamanya saya dengar, sehingga saat ini saya memiliki kecintaan yang amat besar
terhadap hal-hal yang berbau dengan masyarakat. Saya senang mempelajari
pengabdian ke masyarakat, bahkan sampai pemberdayaan. Jujur, dalam praktisnya
saya belum memiliki kontribusi banyak mengenai problem-problem kemasyarakatan
namun hal yang paling berharga saat ini ialah ide-ide dan gagasan mengenai
pemberdayaan masyarakat yang kelak akan saya lakukan.
Ada satu hal yang sangat menarik ketika melihat
beberapa keputusan-keputusan penting yang dibuat oleh Mamik saya. Beliau
merupakan pegawai negeri sipil tertua atau paling lama yang mengabdi di desa.
Sehingga beliau memiliki banyak pengalaman mengenai persoalan-persoalan masyarakat.
Beliau pernah bahkan berkali-kali di calonkan sebagai Lurah, namun dengan
alasan yang sama ia menolaknya. Satu alasan yang sangat sederhana yang sampai
dengan saat ini saya masih mengingatkanya, “saya tidak bisa memegang
(mengelola) uang (amanah) masyarakat”. Beliau sangat takut jika sudah terpilih
tidak bisa menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat.
Bertahun-tahun kejadian itu tidak akan pernah hilang
dari pikiran saya. Saya sering bertanya-tanya apakah keputusan Mamik saya tepat
atau malah sebaliknya. Sampai disuatu hari saya menemukan tulisan di bagian
Opini Kompas. Opini hari itu ditulis oleh Anies Baswedan, yang pada saat itu
masih menjadi rektor di Universitas Paramadina. Ia kurang lebihnya mengatakan
bahwa saatnya orang-orang baik dan bersih di negeri ini mengambil peran dalam
pemerintahan. Lanjut pak anis, jika orang-orang bersih tidak ingin mencalonkan
diri menjadi pejabat-pejabat, DPR, dan sebagainya walaupun ia sendiri tidak
optimis untuk menang tapi setidaknya mereka semua memiliki usaha dan bukan
duduk manis menjadi kritikus dan pengamat politik. Setelah membaca pernyataan
diatas, pikiran saya tertuju pada keputusan Mamik yang selalu enggan untuk
menjadi seorang Lurah. Pikiran saya tentu akan menyalahi beliau karena menolak
untuk dijadikan Lurah. Saya akan menepis pikiran sombong dan teman-temannya
bahwa saya akan mengatakan Mamik saya adalah pejabat yang baik. Terlepas
bagaimana anggapan Masyarakat tentang hal itu. Alasan saya mengatakan Mamik
saya seorang pejabat yang baik, tentu karena beliau tidak haus jabatan. Dan
masih banyak alasan-alsan lain yang tidak biasa saya sebutkan disini.
Sekian lama pemahaman itu saya yakini (bahwa Mamik
saya salah menolak jabatan Lurah itu) sampai pada beberapa hari yang lalu saya
tidak sengaja mendengarkan penafsiran al Qur’an dari Bapak Qurais Shihab
tentang amanah. Beliau mengatakan bahwa Amanah itu berakar dari kata (iman)
percaya dan aman. Amanat itu harus dijunjung tinggi karena amanat itu lebih
berharga dari diri sendiri. Kemudian salah seorang peserta bertanya, bagaiaman
jika seseorang tidak yakin atau ragu terhadap suatu amanah?. Jawaban dari Bapak
Qurais Shihab ialah jangan menerima suatu amanah jika kita takut tidak bisa
mengembannya. Setelah mendengarkannya, pikiran saya kembali goyah oleh
pemahaman sebelumnya. Keputusan Mamik saya menolak jabatan-jabatan strategis
tersebut hari ini akhirnya saya terima dengan suka cita. Saya akhirnya
membenarkan beliau bahwa memang Mamik saya takut untuk mengemban amanah itu,
beliau takut jika dana yang begitu besar tersebut tidak bisa ia kelola dengan
baik. Akhirnya saya merasa semakin mencintai Mamik saya, lebih tepatnya
mencintai perbuatannya, sikapnya dan keputusan-keputusan beliau.
Oleh M. Hasan Suryawan
Mamik In Memorial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar