Oleh M. Hasan Suryawan
Mahasiswa Pascasarjana di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Ringkasan
Mencuatnya
isu pendidikan Multikultural merupakan salah satu respond dari fenomena krisis
moral yang disebebkan oleh perbedaan dan keberagaman etnis, suku, budaya,
bahasa bahkan juga agama. Keberadaan pendidikan agama islam (PAI) yang dirasa
kurang respond terhadap fenomena diatas menyebabkan munculnya pendidikan khusus
yang membincang persoalan ini, yaitu pendidikan multikultural. Padahal jika
dilihat dari kontennya, PAI khususnya pendidikan Akidah-Akhlak juga memuat
konten tentang pendidikan multikultural. Dalam uraian selanjutnya, penulis akan
menjelaskan konsep pendidikan multikultural secara umum dan kemudian dijabarkan
pula konsep PAI khususnya pada ranah Akidah-Akhlak yang menjelaskan tentang
pendidikan multikultural. Kajian kolaboratif antara PAI dan konsep pendidikan
multikultural secara umum ini kemudian akan menghasilkan satu konsep yang
integratif dimana peserta didik akan memahami perbedaan dan keberagaman
kebudayaan mereka.
Pendahuluan
Membincang masalah pendidikan tidak akan pernah usai
selama manusia masih membangun peradaban di dunia ini. Istilah “tidak pernah
usai” diatas ialah satu penekanan penulis terhadap masalah pendidikan yang
memang fitrohnya tidak akan pernah selesai untuk diperbincangkan (karena
manusia pada hakekatnya tidak pernah puas), bahkan di negara yang sudah maju
sekalipun. Lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia
ini, tentu masalah pendidikan menjadi sorotan dan perbincangan. Banyak kalangan
yang menilai bahwa kemajuan bangsa (Indonesia) ini tergantung pada kesuksesan
sistem pendidikan yang ada di dalamnya. Jika sistem pendidikannya baik, maka
bangsa Indonesia akan cepat mengalami kemajuan. Sebaliknya jika sistem
pendidikannya buruk maka kemajuannya pun akan lamban dan tertinggal dengan
bangsa-bangsa lain, seperti yang terjadi saat ini.
Seperti apakah sistem pendidikan yang baik itu?.
Untuk menjawab pertanyaan ini akan ada banyak asumsi, tentunya sesuai dengan
pendekatan yang digunakan. Jika kita melihatnya dari hakekat penciptaan manusia
itu sendiri, maka sistem pendidikan yang baik itu ialah yang bertujuan sesuai
dengan tujuan manusia itu diciptakan. Dalam islam tujuan penciptaan Manusia
ialah untuk beribadah kepada Allah SWT atau menjadi seorang abid (Az Zumar: 3) dan juga menjadi khalifah (Al
Baqarah: 30) di muka bumi ini. Ibdah kepada Allah SWT juga disebut dengan
istilah habluminallah atau hubugan manusia dengan penciptaNya. Sedangkan
tujuan manusia sebagai khalifah di atas dunia ini disebut juga dengan istilah hablumminannas
atau boleh ditambah dengan habluminnalalam. Sehingga tujuan penciptaan
manusia menurut Allah SWT di dalam al Qur’an ialah untuk beribadah dan menjadi
pemimpin di muka bumi ini. Jadi tujuan pendidikan menurut islam ialah untuk
menjadikakn manusia sebagai abid dan khalifah.
Indonesia di huni oleh 80% lebih masyarakat yang
beragama islam dari jumlah total penduduknya. Sehingga orang-orang islam
(muslim/at) menjadi kaum mayoritas. Namun seringkali kita dengar permasalah
seperti kerusuhan atas nama agama, bullying, ketidakadilan dan
semacamnya, yang muncul akibat perbedaan suku, etnis, budaya, adat istiadat
bahkan agama. Konsep pendidikan Multikultural kemudian mencuat dan menjadi
topik kajian menarik (dengan harapan) agar dapat menjadi solusi bagi
permasalahan yang ada. Padahal sebelumnya sudah ada sistem pendidikan seperti
itu, misalnya pendidikan karakter. Kampanye tentang pendidikan karakter
sebelumnya pernah menjadi topik menarik dan lagi-lagi hanya sebatas wacana
belaka. Toh buktinya anak-anak di Indonesia tetap saja tidak memiliki
karakter “baik” yang kemudian melatarbelakangi munculnya wacana pendidikan multikultural
tadi. Bahkan dalam hal ini bukan saja pendidikan berbasis karakter yang
dikatakan gagal, tetapi juga pendidikan akidah-akhlak yang ada pada mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Benarkah pendidikan akidah-akhlak telah
gagal?.
Padahal
jika disadari secara jujur, pendidikan islam merupakan bentuk pendidikan paling
ideal dan terbaik. Karena pendidikan islam bersumber pada Al Qur’an dan As
Sunnah yang kebenarannya telah terjamin dan absolut (bukan relatif). Al
Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber utama bagi hukum ataupun pedoman hidup
manusia. Jika membahas terkait masalah pendidikan, maka Al Qur’an dan As
Sunnah telah menyediakan sumber-sumber dan rujukan yang komperhensif
mengenai sistem pendidikan islam yang baik. Termasuk juga membahas mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara yang erat kaitannya dengan multikultural,
semuanya ada di dalam pendidikan Islam.
Karakteristik Pendidikan Multikultural
Secara etimologi, multikultural terdiri dari dua
kata, yaitu multi yang berarti banyak dan kultur yang berarti
kebudayaan seperti suku, ras etnis, budaya, agama, bahasa dan lain sebagainya (Choirul Mahfud
2006: 75). Sehingga multikultural berararti keberagaman suku, etnis, agama,
bahasa dan lain sebagainya. Sedangkan istilah pendidikan secara sederhana dapat
diartikan sebagai proses memanusiakan manusia, atau memberikan sifat atau nilai
kemanusiaan di dalam diri manusia itu sendiri. Jika digabung, pendidikan
multukultural itu merupakan usaha untuk memberikan nilai kemanusiaan bagi
manusia dalam memahami perbedaannya dengan orang lain meliputi keberagaman
suku, etnis, budaya, agama, bahasa dan sebagainya.
Selain pengertian diatas, juga terdapat definisi
pendidikan multikultural yang mana diartikan sebagai satu ide, gerakan
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya untuk
mengubah struktur lembaga pendidikan siswa (pria maupun wanita), siswa
berkebutuhan khusus, siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis dan
kultur yang bermacam-macam akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapau
prestasi akademis di sekolah. Menurut pengertian diatas, pendidikan
multukulural diartikan melalui tujuannya yaitu menciptakan kesetaraan atau keadilan
hak satu dengan hak lainnya.
Beberapa hal yang mendasari pendidikan multikultural
ialah pertama, kesadaran nilai pentingnya keragaman budaya. Semua
manusia diciptakan berbeda, antara pria dan wanita, antara pemeluk agama satu
dengan pemeluk agama lainnya, antara orang kaya dan orang miskin, antara etnis
satu dengan etnis lainnya dan juga bahkan anak kembar pun memiliki karakter
yang berbeda. Atas dasar inilah siswa atau peserta didik sejak dini
diperkenalkan dengan keberagaman dan perbedaan diatas. Sehingga atas dasar itu
muncul kemudian prinsip semua siswa memiliki kesempatan yang sama dalam segala
hal. Jika nilai ini sudah tertatam dalam jiwa siswa maka mereka akan mulai
memahami nilai keragaman budaya diatas.
Kedua, Sebagai gerakan
pembaharuan pendidikan. Hal ini berkaitan dengan sikap pada lembaga-lembaga
pendidikan yang harus objektif dalam memperlakukan atau menerima siswa baru. Termasuk
kelas sosial dan kebudayaan, tentu sistem semacam ini harus segera dihapuskan
agar penyetaraan yang menjadi prinsip pendidikan multukultural dapat tercapai.
Dan ketiga, ialah proses pendidikan yang terus menerus atau
berkelanjutan. Pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang harus
dilakukan dalam jangka waktu yang panjang karena kaitannya dalam pembentukan
budaya baru ditengah-tengah mamsyarakat yaitu budaya yang menghargai perbedaan
budaya.
Selain
beberapa point yang mendasari pendidikan multikultural diatas juga
terdapat beberapa tujuannya, pertama ialah sebagai pengembangan literasi
etnis dan budaya; kedua sebagai pengemabngan keperibadian seperti
pemahaman konsep diri dan identitas pribadi; ketiga Sebagai klarifikasi
nilai-nilai dan sikap seperti mengangkat kembali nilai-nilai yang bersal dari
prinsip martabat manusia; dan keempat ialah kompetensi Multikultural
yang relevan dengan kerukunan seperti meredakan ketegangan dengan mengajarakan
komunikasi antar lintas budaya.
Karakteristik dan Problematika PAI
Pendidikan Islam merupakan bentuk sistem pendidikan
dalam islam yang telah lama dan sudah ada sejak pada masa Nabi Muhammad SAW.
Kemudian pada masa sekarang khususnya di Indonesia Pendidikan dioperasionalkan
menjadi Pendidikan Agama Islam berupa mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan. Ini berarti memahami islam sebagai Agama dimana agama memiliki
peran yang amat penting dalam kehidupan manusia. Agama menjadi pemandu dalam
upaya mewujudkan masyarakat yang damai dan madani seperti pada masa Rasulullah
SAW. Untuk mewujudkan cita-cita itu, islam melakukannya melalui ranah
pendidikan yang bercorak islam atau dikenal dengan istilah pendidikan islam. Pendidikan
islam tentunya bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah yang kebenaranya bersifat
absolut.
Secara terminologi, Pendidikan Agama Islam atau PAI
merupakan usaha sadar dan terencan untuk menyiapkan peserta didik (siswa) dalam
meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran dan atau latihan. Lebih luas lagi, pendidikan islam merupakan
usaha untuk mengantarkan manusia menuju tujuan hidupnya menurut presfektif
islam yaitu menjadi ahli ibadah (abid) dan juga khalifah atau pemimpin
di dunia ini.
Landasan fundasional atau sumber utama dari pendidikan agama islam ialah pada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadits). Karena sifatnya yang umum, maka sumber utama tersebut diturunkan ke dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu menegakkan aqidah atau tauhid (Al An’am: 162-163, Al Kautsar: 2, Fathir: 14). Ini merupakan core dari corak pendidikan islam, dimana nantinya setiap bagian akan terintegrasi dengan nilai-nilai Aqidah atau ketauhidan ini. Nilai-nilai Aqidah pun masih bersifat umum, belum bisa di operasonalkan. Maka nilai-nilai tadi diimpelementasikan ke dalam ibadah (mahdoh ataupun ghairu mahdoh) dan Akhlak. Di dalam akhlak ini kemudian diberikan indikator bahwa pendidikan agama islam harus bisa menjadikan peserta didik memahmi etika sosial dan keterpaduan antara personal religiousity dengan social religiousity. Selain itu, peserta didik juga harus dapat memadukan antara sikap keberagamanaan di masjid dengan tingkah laku di rumah, sekolah atau dimana saja dan dengan siapa saja. Dari sini data dilihat bahwa pendidikan islam sangat mengutamakan toleransi dan sikap saling menghargai antara satu budaya dengan budaya yang lainnya seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut;
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al Hujuraat
13).
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa perbedaan suku,
bangsa, etnis dan kebudayaan merupakan potensi dan ketetapan yang diberikan
Allah SWT kepada Manusia. Kemudian dengan perbedaan itu islam menghendaki
setiap muslim untuk saling memahami satu dengan yang lainnya. Memahami disini
berarti menusia hendaknya dapat hidup berdampingan dengan orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Dari sini saja sudah sangat jelas pendidikan islam
sangat mendukung dan menghargai adanya multikultural. Lebih luas lagi, sikap
saling menghargai ini juga ada di dalam pembahasan mengenai ihsan.
Berbagai persoalan kemudian muncul dan mencuat ke
permukaan sebagai kritikan terhadap pendidikan, khususnya pendidikan agama
islam. Label pendidikan agama islam disini sangat bertanggungn jawab misalnya
atas krisis moral dan sikap tidak saling menghargai antara satu golongan dengan
golongan yang lain. Karena banyak orang yang memahami pendidikan agama islam
sebagai pendidikan moral, dan memang begitu adanya. Semakin parahnya krisis
moral diatas kemudian mengasumsikan bahwa pendidikan agama islam telah gagal
mengemban tugasnya. Dari pakar pendidikan lain atau konvensional kemudian mendengung-dengungkan
konsep pendidikan karakter dan atau pendidikan multikultural. Pun nasib
pendidikan karakter pada akhirnya sama dengan pendidikan agama islam, tidak dapat
membendung krisis moral remaja.
Dalam tataran konsep baik pendidikan agama islam
ataupun pendidikan karakter dan multikultural telah sangat baik dalam
menjabarkan masing-masing ruang lingkupnya. Namun dalam tataran operasional,
jenis pendidikan ini kehilangan ruhnya. Pendidikan agama islam, atau pendidkan
secara umumnya sarat dengan materi tetapi tidak sarat akan nilai. Pelaksanaan
pendidikan islam juga belum berorientasi pada basic competences dan
kebutuhan. Dengan kata lain, terlalu menekankan aspek kognitif dan
menyampingkan aspek psikomotor dan afektif. Misalnya peserta didik telah
mengetahui bahwa menghargai perbedaan budaya itu harus dilakukan, namun dalam
tataran afektif peserta didik ternyata belum tentu bisa melaksanakan atau belum
bisa menjadi (to be) seseorang yang selalu menghargai perbedaan.
Setelah
memahami uraian diatas, dapa dijelaskan bahwa permasalahan pendidikan agama
islam selama ini terlatak pada tataran operasionalnya. Pendidikan islam belum
dapat dioperasionalkan secara benar dan tepat sesuai dengan ajaran islam. Dalam
hal isi atau konten materi memang sudah lengkap namun jika dilihat dari
impelementasi memang masih menyimpang dari tuntunan islam. Misalnya, guru
selama ini hanya mengajarkan arti saling menghargai dengan orang yang memiliki
budaya yang berbeda namun tidak membiasakan perilaku tersebut dalam keseharian
peserta didik di lingkungan sekolah.
Refleksi; Interaksi Pendidikan
Multikultural dalam PAI
Pendidikan multikultural dan PAI memang memiliki
karakteristik yang sama. Di dalam pendidkan agama islam telah ada pendidikan
tentang menghargai perbedaan dan keberagaman budaya atau multikultural. Namun
bukan berarti konsep pendidkikan multikultural dihapus, melainkan dapat
dikembangkan dan bekerjasama dengan pendidikan akidah-akhlak di dalam PAI untuk
mewujudkan manusia-manusia yang dalam memahami perbedaannya dengan orang lain
meliputi keberagaman suku, etnis, budaya, agama, bahasa dan sebagainya.
Di dalam ajaran islam, saling menghargai antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lain sangat diutamakan. Hal itu tercermin dari
kisah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Menyatunya kaum
muhajjirin dan anshor (penduduk asli madinah) merupakan satu momentum
keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi perbedaan kebudayaan. Kemudian
lahirlah piagam madinah dan masyarakat disana menjadi masyarakat yang madani.
Iniliah sebenarnya cita-cita PAI atupun pendidikan
Multikultural sendiri yaitu menciptakan masyarakat Madani. Menurut Ahmad
Tafsir, Istilah madani tersebut merupakan akar kata dari madinah. Dalam bahasa
Indonesaia, Madinah berarti kota. Jika disamakan maka masyarakat madani dapat
juga disebut sebagai masyarakat kota. Masyarakat kota tentu kontras dengan
masyarakat Rimba. Dimana dalam masyarakat rimba, berlaku hukum rimba. Sedangkan
dalam masyarakat kota, maka berlaku hukum kota. Disinilah letak pemahaman
mendasar tentang masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang berdiri
diatas hukum-hukum kota yang sudah beradab dan tentunya saling menghargai
antara satu dengan yang lainnya. Seingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan
multikultural dalam islam sudah ada bahkan sejak awal kemunculan agama islam
itu sendri.
Pendidiakan multikultural memang bercita-cita untuk
mengharmonikan satu etnik dengan etnik dengan lain. Terjadinya harmoni ini
tentunya harus didasarkan pada pemahaman satu etnik dengan etnik lainnya. Sehingga
pendidikan Multikultural mengingnkan pemahaman konsep diri yang matang di dalam
setiap individu. Setelah memahami konsep diri kemudian dikembangkan ke dalam pemahaman
atas kelompok, etnis dan budaya lainnya. Jika konsep ini telah
diimplementasikan dengan baik, bukan hanya harmoni tapi pencapain mufakat atau
kesepakatan akan mudah tercapai. Mengingat kemajmukan kebudayaan khususnya yang
ada di negara Indonesia.
Sedangkan di dalam Surat Al Imron
ayat 110 Allah SWT berfirman “Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. Istilah Ma’ruf
diatas ialah mengandung nilai humanisasi dan emansipasi yang berarti manusia
harus memperlakukan manusia lainnya menurut standar nurani dan kemanusiaan. Tidak
melihat apakah orang itu berbeda atau sama dengan golongan mayoritas. Sedangkan
Istilah nahi mungkar tersebut mengandung nilai Liberasi, yang berarti
bahwa membebaskan manusia dari penindasan, berlaku sewenang-wenang dan atau tidak
merusak nilai kemanusiaan. Nilai-nilai yang demikian sangat sesuai dengan ajaran
islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan konsep pendidikan
Multikultural.
Selanjutnya apa yang menjadi problem sehingga masih
ditemukannya penyimpangan-penyimpanan moral terkait masalah multikultural
diatas. Dalam konteks isi/konten, pendidikan islam secara komperhensif telah
menjabarkan konten yang ada di dalam pendidikan multikulutral secara jelas dan
gamblang. Sehingga yang menjadi problem ialah pada tataran operasionalnya. Muncullah
pertanyaan, bagaimana metode PAI yang baik itu?.
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya
bahwa sumber pendidikan islam ialah Al Qur’an dan As Sunnah. Jika melihat dari
As Sunnah sendiri, Nabi Muhammad telah terbukti berhasil dalam mendidik umat
dan para sahabat untuk memiliki karakter yang tinggi. Bahkan seringkali riwayat
sejarah menceritakan kegigihan para sahabat membela islam dan rela mati syahid
untuk islam. Dari sini kita dapat menirukan pendidikan islam ala Nabi Muhammad
untuk diimpelementasikan pada masa kini. Karena secara empirik, metode yang
digunakan oleh nabi Muhammad telah berhasil diterapkan.
Hubungan
antara pendidikan agama islam dengan kehidupan sosial masyarakat saling
mempengarui satu dengan yang lainnya. Perlunya internalisasi nilai-nilai agama
menjadi sangat urgen demi menciptakan kehidupan yang menjunjung nilai-nilai
multikultural. Internalisasi bukan hanya sebatas mengetahui (to know)
saja tetapi juga menjadi (to be) nilai-nilai multikultural tersebut
bagian dari karakter peserta didik atau manusia pada umumnya. Hal itu bisa
dimulai pada lingkungan-lingkungan pendidikan seperti sekolah, keluarga maupun
masyarakat. Agar nilai-nilai multikultural di dalam PAI dapat terinternalisasi
di dalam diri peserta didik maka guru bukan hanya mengajarkan, tetapi juga
menjadi teladan (Al Ahzab: 21, Ali Imran: 31, An Nur 63). Tentu sikap dan
karakter guru harus mencerminkan seseorang yang menghargai perbedaan. Selian
itu juga, perlu juga dilakukan motivasi-motivasi agar peserta didik senantiasa
melakukan sikap menghargai perbedaan. Sehingga, terciptalah suatu masyarakat
kecil (khususnya di sekolah) dimana guru dan murid belajar bersama-sama untuk menghargai
perbedaan budaya dan itu sesuai dengan ajaran agama islam.
Kesimpulan
Secara
definitif sesuai dengan urain sebelumnya, Pendidikan Multukultural merupakan
usaha untuk memberikan nilai kemanusiaan bagi manusia dalam memahami
perbedaannya dengan orang lain meliputi keberagaman suku, etnis, budaya, agama,
bahasa dan sebagainya. Sedangkan di dalam pendidikan islam, perbedaan suku,
bangsa, etnis dan kebudayaan merupakan potensi dan ketetapan yang diberikan
Allah SWT kepada Manusia. Kemudian dengan perbedaan itu islam menghendaki
setiap muslim untuk saling memahami satu dengan yang lainnya, tidak memandang
Etnis, suku, budaya, bahasa dan agama atau disebut juga dengan ihsan. Pendidikan
multikultural dan PAI memang memiliki karakteristik yang sama. Sehingga konsep
integrasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini, agar masalah krisis
moral yang disebebkan oleh kurangnya pemahaman tentang multikultural tersebut
dapat diatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar