Sebuah
tema diskusi yang tak henti-hentinya diperbincangkan manakala melihat sikap
kegamaan seseorang. Disatu sisi, ada orang yang sangat taat dalam beribadah.
Pertanyaannya, apakah ibadahnya sudah mampu membuat dia lebih baik secara
psikis dan mental?. Alhasil, kenyataan di masyarakat kita justru banyak yang
menjadikan balasan ibadah adalah pahala, sedangkan pahala bisa dilihat kelak di
akhirat. Secara tidak langsung disini muncul dikotomi antara kehidupan di dunia
dan di akhirat.
Kita
mungkin sepakat, bahwa menjalani sesuatu tidaklah segampang memahaminya. Banyak
orang yang memahami fiqih, memahami hukum-hukum islam namun dalam
pelaksanaannya seringkali tidak 100% seperti apa yang tertulis dalam ajaran.
Orang memahami korupsi itu perbuatan jahat, merugikan banyak pihak, toh yang
memahami itu tetep korupsi. Ini membuktikan bahwa menjalani sesuatu tidaklah
segampang memahaminya.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, ibadah hanya sekadar ritual keagamaan yang tidak perlu
dimaknai. Pernahkah mereka bertanya mengapa shalat berjamaah lebih besar
pahalanya daripada shalat sendiri?. Secara sederhana, islam menghendaki
kehidupan yang kolektif (gotong royong)
dan bekerja sama, baik antara si miskin dengan si kaya, ataupun kalangan kaum
elit dengan kaum bawah. Namun rupanya, semangat tempat ibadah (masjid atau
mushalla) tidak dibawa ke tengah-tengah masyakarat. Banyak orang kaya yang
rajin beribadah, sering haji bahkan umroh namun memiliki tetangga yang
kelaparang dan tidak memiliki hidup yang layak. Apakah ini disebabkan oleh
keengganan mereka hidup bersosial walaupun mereka memahami makan ibdahanya atau
memang tidak memahami konsep ini?.
Oleh
karena itu, menanggapi disorientasi tujuan keberagamaan kita maka perlu
renungan lebih dalam lagi mengenai tujuan islam itu diturunkan. Apakah hanya
untuk akhirat saja ataupun juga untuk duniawi?. Bagaimana peran kehidupan dunia
terhadap kehidupan di akhirat, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan salah satu
pendapat Robert Merton seorang sosiolog abad 20, bahwa perubahan sosial itu
memiliki penekanan pada proses (cara) dan tujuan. Apabila penekanan tujuan
sangat tinggi dan penekanan cara agak rendah maka hasilnya ialah inovasi.
Dengan menekankan pada tujuan tentunya proses atau cara tidak mengikat (baku).
Sedangkan apabila penekanan kepada cara agak tinggi maka hasilnya ialah
ritualisme. Yang penting melaksanakan sesuatu sesuai dengan ketentuan dan
cara-caranya yang sudah baku, tidak peduli tujuannya tercapai atau tidak.
Memahami
pendapat Merton diatas, setidaknya cukup relevan jika dikaitkan dengan kehidupan
masyarkat islam saat ini. Penekanan terhadap ritual keagamaan menjelaskan bahwa
kita memiliki masyarakat dengan prototype yang menekankan pada cara. Alhasil
tidak ada tujuan duniawi yang hendak dicapai dari ibadah-ibadah mereka
melainkan hanya berfokus pada pencarian tujuan akhirat yang itu sangat intim
hubungannaya antara hamba dengan Tuhan. Sedangkan ruh untuk membawa kehidupan
masyarakat islam menjadi lebih baik menjadi statis. Padahal dari apa yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat di Madinah, memberikan gambaran
bahwa kehidupan sosial sangatlah penting, bagaimana keseimbangan dunia akhirat
diperlihatkan dan dijelaskan dengan detail.
Progress
kedepan tentunya umat islam dihaparkan mampu memberikan penekanan bukan hanya
pada titik cara (proses) melainkan juga pada titik tujuan. Jika keduanya
diberikan tekanan yang tinggi, maka tentu akan melahirkan ibadah yang bukan
hanya melahirkan kebaikan di akhirat tetapi juga bagi kemajuan dan kesejahteraan
umat islam, baik secara mental spiritual mapun secara peradaban.
Oleh:
M. Hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar