Sudah
menjadi pemandangan biasa ketika toko-toko pakaian ramai oleh pengunjung
beberapa hari sebelum Lebaran tiba. Bagaikan sebuah kewajiban yang harus
ditunaikan, rasanya kurang lengkap jika Lebaran tanpa pakaian baru. Bagaimana
jika beberapa orang atau keluarga yang memiliki perekonomian rendah dihadapkan
dengan budaya seperti ini?. Terlebih lagi jika julmah anggota keluarganya
berjumlah lebih dari empat orang, ini tentu akan sangat menyusahkan bagi orang
tua dimana ia harus membelikan pakaian lebaran untuk semua anak-anaknya.
Sebenarnya,
Nabi Muhammad SAW telah mencotohkan budaya yang benar-benar islami. Bukan berarti
saya mengatakan membeli baju baru sebelum lebaran tiba merupakan budaya yang
tidak islami. Nabi Muhamamd SAW mencontohkan bahwa pakaian yang baik hendaklah
sederhana, berwarna putih, tidak menyerupai jenis kelamin yang berbeda dari
pemakainya, yang intinya ialah tidak mewajibkan seorang muslim untuk membeli
baju lebaran.
Mengapa
budaya seperti ini lahir dan seolah-olah menjadi bagian dari Lebaran, atau
lebih luas menjadi bagian dari Islam itu sendiri?. Inilah yang disebut oleh
Michel Foucault dengan istilah Episteme. Dalam arti sederhana bahwa ada
penggerak yang dahsyat di dalam satu budaya atau perilaku manusia. Inilah
kemudian yang menjadi budaya permukaan yang terlihat dan dari titik ini pula
masyarakat menjadikannya tolak ukur dari budaya lain.
Misalnya
ketika ada keluarga yang sedang mengalami kemerosotan secara ekonomi dan
akhirnya tidak mampu membelikan pakaian baru untuk anak-anak mereka, maka
keluarga ini dikatakan “tidak lengkap” di hari Lebarannya. Karena anggota
keluarganya tidak memiliki pakaian baru. Hal ini dipengaruhi oleh Episteme yang
sudah ada sebelumnya bahwa lebaran identik dengan hal-hal yang serba baru. Atau
bahkan untuk menjadikan lebaran benar-benar lengkap menjadi hari kemenangan
maka harus ada pakaian baru.
Dampak
dari budaya diatas maka tidak jarang anak-anak kecil banyak yang menangis
lantaran orang tua mereka tidak mampu membelikan pakaian baru (pakian lebaran).
Untuk itulah orang tua kemudian banting tulang mencari hutangan demi untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Bukan hanya anak kecil, orang dewasa pun
yang tidak mampu membeli pakaian baru untuk lebaran akan merasakan sesuatu yang
tak lengkap di hari lebarannya. Disamping itu, orang lain yang sudah mampu
membeli pakaian baru akan memiliki perasaan yang sedikit meremehkan orang yang
tidak mampu membeli pakaian lebaran.
Orang
yang tidak mampu secara ekonomi akan menjadi “korban” episteme atau budaya yang
sudah ada. Apalagi jika di kaji secara mendalam, pasti ada kepentingan pasar
untuk mengatur perilaku konsumtif masyarakat muslim saat menjelang lebaran
tiba. Atas iming-iming diskon besar-besaran masyarakat tentu akan merasa
“belanja baju baru” adalah tuntutan wajib sebelum lebaran. Bahkan tak hanya
pakaian, barang-barang elektronik seperti motor, mobil dan lainnya pun menjadi pusat
perhatian karena diskon dan kemudahannya yang hanya datang menjelang lebaran. Itulah
yang membuat perilaku konsumtif masyarakat kian menjadi-jadi.
Inilah
alasan mengapa hari ini diskursus pemahaman tentang budaya Nabi Muhammad SAW
(Sunnah) harus digalakkan kembali. Agar kaum muslimin memahami bahwa yang
benar-benar menjadi kewajiban umat islam di hari Lebaran ialah menjadikan hati
dan perlakunya kembali suci dan baru, seperti seorang bayi yang baru lahir yang
suci dari dosa dan kesalahan. Esensi hari Lebaran tentu bukan terletak pada apa
yang terlihat seperti pakaian yang serba baru, namun lebih pada kualitas
perubahan hati setelah menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Wallahualam.
Oleh:
M. Hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar