Sekarang muncul silogisme-silogisme logis
yang digunakan untuk menyerang antar kelompok. Ini sangat bahaya, apalagi
mereka yang menggunakan kaidah logis tidak mengikuti aturan mainnya. Karena
dampak terburuknya adalah justru dapat menyerang akidahnya sendiri.
Misalnya munculnya premis-premis seperti
ini;
“Pembakaran bendera tidak akan terjadi
jika Uus tidak hahdir dalam acara hari santri”
“Kami tidak akan memperingati hari santri
jika tidak ditetapkan oleh presiden”
Kesimpulannya: “Pembakaran bendera
tidak akan terjadi bila presiden tidak menetapkan hari santri”
Logika diatas sangat sesat secara kaidah
logis, karena tidak memenuhi prasyarat dan ketentuannya. Misalnya diatas ada
dua premis negasi, ditandai dengan kata Tidak yang terdapat pada
dua kalimat diatas. Misalnya saya akan buat silogisme dengan kaidah yang sama.
“Bom bunuh diri tidak akan terjadi
jika tidak ada terosisme”
“Terosisme tidak akan melakukan bom bunuh
diri jika tidak ada perintah dari ajaran islam”
“Bom bunuh diri tidak akan ada jika tidak
ada perintah di dalam ajaran islam”
Apakah semua (atau ada) ajaran islam yang
memerintahkan untuk melakukan bom bunuh diri?. Jika jawbannya tidak maka
kesimpulannya yang dibangun dari premis itu salah. Jika memang terdapat ajaran
islam yang mengajarkan terorisme maka kesimpulan diatas hampir benar. Maka
untuk menghilangkan terorisme maka Islam juga harus lenyapkan. Kaidah yang sama
yang hendak dibangun dalam silogisme pertama, yang menggeneralisasi hari santri
dengan pembakaran bendera.
Ada lagi silogisme lain yang tak kalah
sesat (menurut kaidah logis);
“Islam tanpa NU tetap islam”
“Islam tanpa Muhamamdiyah tetap islam”
“Islam tanpa HTI tetap islam”
Kesimpulannya 1: “Islam tanpa tauhid itu kafir”
Kesimpulan seharusnya 2: “NU, Muhamamdiyah, HTI adalah islam.” Yang menjurus kepada kesimpulan bahwa
semua golongan (dalam islam) SAMA termasuk sisipan golongan HTI dalam
mencari pengakuan, padahal boleh NU dan Muhamamdiyah memiliki perbedaan namun
mereka sehati dalam pemahaman NKRI untuk Indonesia. Sedangkan HTI justru
berbeda dengan NU dan Muhamamdiyah apalagi ditinjau dari pemahamannya mengenai
Negara dan Bangsa.
Tapi tetap, mengambil kesimpulan melalui
kaidah diatas tidak benar, walaupun dalam tata kebahasaannya benar. Karena kesimpulan
1 terdapat kata Tauhid dan Kafir tidak ditemukan di premis
sebelumnya. Ini logika yang tidak nyambung. Bagaimana jika saya membuat
silogisme semacam itu;
“Islam tanpa Tuhan Atheis”
“Keristen tanpa Tuhan Atheis”
“Budha tanpa Tuhan Atheis”
Kesimpulan 1 (mengikut kaidah ‘ngawur’
sebelumnya) maka “Agama
tanpa Pengikut itu Dongeng”
Kesimpulan 2 (menurut kaidah logis), “Islam, Kristen, Budha bukan Atheis” yang menjurus pada kesimpulan “semua
agama sama”.
Baik kesimpulan pertama dan kedua dalam
silogisme diatas tidak bisa digunakan. Karena tidak memenuhi prsyarat, misalnya
semua premis adalah minor dan semua premis bersifat negasi.
Akhirnya, kuliah silogisme bisa sampe 4-5
pertemuan dengan durasi 2 jam. Pun yang memahaminya belum tentu bisa langsung
menggunakannya dengan benar, melainkan harus diasah melalui latihan-latihan dan
bimbingan oleh para guru atau dosen yangn sudah ahli dalam filsafat. Jangan
ngasal jadi filsuf. Niat mau mencerahkan orang lain, tapi ujung-ujungnya
menyesatkan diri sendiri.
Oleh: Muhammad Hasan Suryawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar