Seperti yang telah kita ketahui
bersama, manusia kini hidup tak bisa lagi mengawasi dirinya sendiri. Padahal
setiap jum’at, khatib selalu mengingatkan agar kaum muslimin senantiasa
meningkatkan kualitas ketakwaannya. Banyak definisi dari ketakwaan. Salah satu
yang di jelaskan dalam al Qur’an adalah takwa berarti menyadari setiap apa yang
telah kita kerjakan. Manusia yang bertakwa adalah manusia yang senantiasa
setiap harinya bermuhasabah, dalam artian bahwa ia selalu menyediakakn waktu
untuk merenungi apa yang telah ia kerjakan selama satu hari, baik itu perbuatan
baik ataupun perbuatan buruk. Saat malam hari, manusia yang bertakwa akan
selalu bermuhasabah, mengingat apa yang telah ia kerjakakn. Apakah
perbuatan-perbuaan itu sudah sesuai dengan syari’at islam atau malah sebaliknya
bertentangan dengan syari’at islam. Di saat pagi haripun, ia akan senantiasa
meluangkan waktunya untuk mengevaluasi diri dan bermuhasabah tentang apakah
yang harus dikerjakan agar hari ini lebih baik dibandingkan dengan hari
kemarin.
Bermuhasabah juga berarti menghitung.
Menghitung segala perbuatan kita sangat penting. Karena jika kita sudah
melakukkan hal tersebut maka kita secara tidak langsung akan menemukan kesalahan
yang telah kita kerjakan, setelah itu ditindak lanjuti dengan penyadaran dari
lubuk hati yang terdalam dan selanjutnya dibarengi dengan permohonan ampunan
kepada Allah SWT. Inilah yang kemudian sesuatu yang harus kita biasakan. Umar
bin Khattab pernah berkata, “hitunglah segala perbuatanmu selama kamu di dunia
sebelum semua perbuatanmu di hitung di hari perhitungan nanti.” Jika itu bisa
kita lakukkan, beban dosa dan kesalahan kita di akhirat nanti akan berkurang
karena kita sudah menghitung kesalahan-kesalahn itu sewaktu masih berada di
dunia dan meleburkannya dengan permohonan ampun kepada Allah SWT.
Dalam surat al Zalzalah ayat 7 dan 8
Allah telah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” Menurut sebuah tafsir, dalam ayat
ke tujuh ini, dijelaskan bahwa jika orang kafir melakukkan kebaikan maka ia
akan langsung dibalas oleh Allah SWT, walaupun kebaikan itu hanya sebesar
dzzarahh. Allah tidak mau balasan dari kebaikan itu tersisa sampai ke hari
perhitungan atau yaumul hisab. Sehingga orang yang kafir akan menerima semua
balasan atas kebaikan yang ia perbuat di dunia ini. Justru dalam ayat
selanjunya di jelaskan bahwa jika kaum muslimin mengarjakan suatu kejelekan,
maka ia seharusnya menyadarinya dan bergegas untuk memohon ampun kepada Allah,
walupun keburukan itu hanya sebesar dzzarah. Hal itu di maksudkan agar ia tidak
membawa dosa atas keburukan-keburukannya yang telah ia kerjakan ke hari perhitungan.
Subhannallah, inilah solusi yang
di tawarkan agama agar kita setidaknya terbebas dari pengawasan eksternal di luar diri kita. Bermuhasabah membawa segudang manfaat
dan menyadarkan diri akan tujuan hidup kita ini di dunia. Jika setiap hari kita
bisa bermuhasabah, kita tentu akan tahu apa saja kesalahan yang pernah kita perbuat
lalu kemudian memohon ampun kepada Allah SWT. Atau mungkin juga kita akan
menyadari hal-hal bermanfaat apa yang telah kita perbuat yang kemudian
melakukkan hal yang lebih baik dari itu, atau minimal mempertahankannya.
Wallahua’lam Bissawab..
Artikel by: Hasan
Suryawan
Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam UIN Maliki Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar