Sore itu persiapan touring sudah hampir selesai aku kerjakan. Semua
pakian, mulai dari baju, celana dan tak lupa surat-surat berharga lainnya sudah
aku masukkan ke dalam ransel. Keperluan touring pun sudah ku persiapkan
jauh-jauh hari untuk kami gunakan nanti malam. Ya, touring kali ini aku akan
ditemani bapak seorang diri. Aku sengaja tak ikuti jadwal rombongan touring
lainnya karena aku tahu bapakku tak bisa lagi berada di atas kendaraan dengan
berkecepatan tinggi. Kami mungkin akan lebih menikmati pesisir laut selatan
pulau bali yang terbentang dari kecamatan Antap sampai kabupaten Negara sejauh
125 kilometer. Dimana kami akan melewati sedikit hutan di daerah Lalanginggah,
kemuadian melewati Djembrana, Banjar Tengah, Belimbing Sari, Melaya hingga
Gilimanuk. Bagiku ini touring yang kesekian kalinya namun bagi bapakku ini
adalah touring yang pertama kalinya sejak 24 tahun terakhir, karena memang dulu
beliau adalah seorang pecinta touring. Kini usia dan kesibukan setidaknya telah
memisahkan beliau dari hobinya tersebut. Namun dalam waktu beberapa jam lagi
beliau akan merasakan kembali saripati kenikmatan touring yang dulu pernah
beliau rasakan. Menaklukkan jalanan dari kota Mataram hingga kota Malang sejauh
535 kilometer setidaknya cukup untuk menyegarkan dahaga touring bapakku, amazing.
Pukul 05:30 sore dua orang temanku, Takwim dan Yedi menyempatkan
diri untuk datang berpamitan ke rumahku. Kami bercengkrama seru serambi
mengingat tempat-tempat indah yang telah kami taklukkan. Tanjakan paling terjal
dan jalanan paling menantang di pulau Lombok ini sudah semua kami jajali
bersama. Kami memiliki komunitas pecinta touring yang dulunya terbentuk di sebuah
tempat karauke di daerah Mataram Mall, tempat itu bernama NAV. Komunitas ini
beranggotakan inti Aku, Takwim, Yedi, Ika, Linda, Harianti Fatmala dan Honey. Setiap
kali kami touring biasanya ada anggota-anggota tambahan lain yang ikut bersama
kami. Inilah cara kami melewati liburan panjang di akhir masa perkuliahan dan
sekarang semua itu menjadi nostalgia yang kami balut di dalam perbincangan
hangat bertiga di dalam kamarku.
Selesai sahalat magrib aku mengajak mereka berdua untuk
menghabiskan waktu terakhir bersamaku di sebuah tempat yang berada di persimpangan
pasar di desaku. Sampai tiba kami harus bersalaman sebagai tanda perpisahan
sekaligus harapan semoga liburan semester depan kami masih bisa bertemu
kembali. Akupun kembali ke rumahku untuk melaksanakan shalat isya’.
Setelah shalat Isya’ dan sahalat sunnah musafir, tepatnya pukul
08;30 Aku dan bapakku harus memulai touring ini. Segera aku mencari ummi di
dapur untuk bersalaman pamit, harupun tak bisa di hindari. Beliau kemudian
memelukku dengan erat seolah tak mau melepaskan anak ketiga satu-satunya ini. Akupun
harus melepaskan pelukan itu dengan sedikit paksaan.
Kami segera meluncur ke arah pelabuhan lembar dengan joki pertama
yang di ambil alih oleh bapakku. Kecepatan yang beliau gunakanpun sangat rendah
dibandingkan dengan kecepatan yang biasa aku gunakan. Sesampai di pelabuhan
kami langsung mendapatkan kapal yang akan kami gunakakn untuk menyebrang ke
pelabuhan Padangbai. Kami akan menghabiskan waktu sekitar 4 jam di atas lautan,
karena aku tahu cuaca pada saat itu sangat tenang dan bersahabat.
Di dalam kapal aku menyarankan bapak untuk beristirahat karena perjalanan
masih sangat jauh yang akan kami tempuh. Di dalam kapal aku mencari tempat
untuk menyendiri. Dan pilihanku jatuh di bagian pinggir dek kapal serambi
melihat riuhnya air laut dan kedap-kedip bintang yang aku lihat seperti
linangan air mata ummiku saat aku berpamitan tadi. Seorang pria paruh baya
berjalan menuju ke arah tempat aku berada. Ia terlihat seorang diri dalam
perjalanannya. Mungkin aku akan menjadi teman bicara yang baik untuk 3 jam ke
depan. Setelah berkenalan kami kemudian berbincang-bincang kecil. Aku
memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan kecilku. Dan itu membuat ia larut
menceritakan semua tentang kehidupannya, bahkan menceritakan bahwa dirinya kini
seorang pemakai obat-obatan terlarang. Ia seorang lelaki yang malang, berasal
dari kota Surabaya dan merantau ke Kota Mataram sebagai tukang bangunan. Ia
sendiri pergi ke Surabaya hanya gara-gara ibunda tercintanya meninggal dunia.
Aku terharu mendengar ceritanya dan hanya mendengar dengan sedikit anggukkan
dari kepalaku sebagai bentuk empati terhadap semua masalah yang di hadapinya.
Aku seketika itu mengingat ummi, doa langsung kupanjatkan dalam hati agar Tuhan
memberikan umur kepada ummi sehingga kelak beliau dapat melihat kesuksesaan
anak yang ia sedihkan kepergiannya malam ini.
Tak terasa 3 jam berlalu, kapal yang aku tumpangi akan segera
merapat ke dermaga Padangbai. Alaram kapal berbunyi sangat keras seperti alaram
di asramaku dulu saat membangunkan semua mahasiswa untuk melaksanakan shalat
subuh berjama’ah. Bapakpun kembali menjadi joki untuk menaklukkan rute hingga
kota Denpasar. Start pada pukul 01:30, kami menempuh perjalanan itu salama
kurang lebih satu jam. Melewati pesisir selatan pulau Bali yang mana jalur ini
adalah jalur bay pass. Angin pantai malam tak henti-hentinya mencoba
untuk melumpuhkan badan bapak. Begitupun aku di belakang, terasa sangat dingin
sekali. Aku berkali-kali menawarkan agar aku yang menjadi joki, tapi bapak
selalu mengatakan bahwa ia masih kuat. Namun tetap saja aku merasa bersalah
karena hanya duduk manis di belakang.
Tak terasa akhirnya kami tiba di kota Denpasar. Kali ini kami akan
melewati Denpasar dari arah selatan, dari persimpangan menuju ke sanur kami mengambil
arah kanan hingga ke Peguyangan. Dari sana kami akan langsung ke arah Tabanan.
Setelah 3 jam di perjalanan akhirnya kami istirahat di daerah Tabanan. Suasana
jalanan sangat sepi, hanya di lewati beberapa truk kontener besar dan para
pecandu touring seperti kami. Di pinggiran jalan itulah kami beristirahat
sambil membuka bekal yang kami bawa. Aku melihat wajah bapak terlihat agak
keleahan tapi terlihat sedikit terobati dengan rasa kepuasan karena kota Denpasar
telah kami lewati. Usai beristirahat, giliran aku akan menjadi joki kali ini.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 malam dimana suhu terasa sangat dingin.
Baru saja aku memulai perjalanan, badanku sontak mengigil karena dingin yang
begitu menusuk. Bapakpun mendekap kedua tangnnya ke arah dadaku dan hal itu
setidaknya membuat badanku menjadi lebih hangat.
Dari Tabanan kami melucur ke arah Antosari, kemudian Antap,
Lalanginggah, hingga Pekutatan. Di daerah pekutatan inilah kami kembali
memutuskan untuk beristirahat di sebuah masjid sambil menunggu adzan subuh yang
akan tiba beberapa menit lagi. Selesai jama’ah subuh dan sarapan pagi, kami
berdua harus kembali melanjutkan tourung ini. Kali ini bapak kembali manjadi
joki untukku. Terasa sedikit lebih dingin dibandingkan dengan suhu pada tengah
malam tadi, namun kami tetap menembus jalanan untuk menuju ke pelabuhan Gilimanuk.
Satu persatu kecamatan di pesisir selatan pulau Bali kami lewati,
mulai dari Djembrana, Banjar tengah, Banjoebiroe, Banyubiru, Tuwed,
Belimbingsari, Pangineoman, dan akhirnya kami tiba di pelabuhan Gilimanuk pada
pukul 8 pagi. Semalaman suntuk kami menghabiskan waktu menaklukkan pulau Bali
dan ini merupakan pengalaman pertama bapakku. Aku melihat beliau sudah sangat
kelelahan. Jika ada pintu kemana saja milik Doraemon, ingin rasanya menyuruh
beliau kembali ke rumah dan biarlah aku sendiri yang akan menyelesaikan touring
ini.
Sesuai MoU ku dengan Bapak, kali ini dari Kota Banyuangi akulah
yang akan menjadi joki sampai ke kota Malang. Menempuh jarak sekitar 8 jam
hingga pukul 5 sore membuat touring ini akan terasa beda karena aku akan
menjalaninya dengan kecepatan rendah, hanya 60 kilometer per jam saja.
Setelah kapal yang kami tumpangi menyandar aku sudah tidak sabar
ingin menaklukkan Banyuangi-Malang untuk Bapakku. Tanpa membuang banyak waktu,
kami langsung memulai touring ini. Melewati Ketapang, Bangsiring, Wongserejo, Sidodadi,
Bajulmati, Sumberanyar, sampai ke Banyuputih. Di tempat inilah kemudian kami
memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung kopi milik seorang nenek yang
berdagang seorang diri. Tak ada yang satupun yang masuk ke dalam warung ini kecuali
hanya kami berdua. Aku dan bapak segera meneguk minuman hangat yang baru saja
di antarkan oleh nenek itu karena kami sangat haus. Kubuka aplikasi Latitude
dalam ponselku, ternyata posisi kami masih di bagian ujung timur pulau jawa.
Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Aku sedikit tak ragu
jika kami akan sampai di Kota Malang sebelum matahari terbenam.
Setelah badan kami terasa sedikkit bugar, kami langsung bergegas
melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan hawa dingin yang akan kami tembus,
melainkan hawa panas pesisir utara (pantura) pulau jawa. Jarum jam perlahan
mendekati posisi vertikal, panaspun perlahan terasa begitu menyengat dan
melelehkan setiap butiran keringat yang ada di kulit kami yang baru tadi malam
beku oleh suhu dingin. Lain halnya dengan perjalanan malam tadi, dimana aku
melihat bibir bapakku agak biru karena hawa dingin, naman sekarang wajahnya agak
berminyak karena hawa panas yang begitu menyengat. Aku sangat kasian melihat
beliau, kekuatan touring di masa mudanya kini sudah pudar. Ditengah terik matahari
di siang bolong yang sangat menyengat, kami mengeksekusi kilometer demi
kilometer dengan sabar. Melewati Arjasa, Kapongan hingga kota Situbondo.
Bapakku seringkali bertanya tentang berapa kilometer lagi kita akan sampai ke
kota Malang. Aku selalu menjawabnya dengan sabar “tinggal sebentar pak”.
Inilah trik seorang pelancong bilamana salah satu anggota baru yang tak tahu
jarak yang harus di lewatinya kemudian merasa resah karena tak kunjung di
lewatinya. Aku tahu dulu beliau mempunya cerita touring yang sangat
menakjubkan, menaklukkan jalanan hingga ke Ibu Kota Jakarta. Waluapun saat itu
beliau sempat menggunakan kereta, seperti yang pernah beliau ceritakan. Namun
lagi sekali kukatakan itu dulu, 30 tahun silam. Sekarang pengalaman-pengalaman itu sudah pudar di dalam
hidupnya, seperti sebuah mimpi yang hanya di ingat samar-samar saja.
Setelah Kota Situbondo kami lewati kamipun harus melewati
kabupatennya yang sangat panjang. Menembus Panarukkan dengan hawa yang sangat
panas, Bungatan, Melandingan, hingga Besuki. Kemudian kami memutuskan untuk
transit di sebuah Mushalla yang berada di area sebuah pom bensin.
Tak butuh waktu lama, setelah kami merasa sedikit segar dan bugar
kami melanjutkan perjalanan menembus kabupaten Situbondo yang sangat panjang
ini. Satu jam di perjalanan kami tiba di Bhinar dan setengah jam lagi kami akan
melewati Paiton, perbatasan antara kabupaten Situbondo dan Probolinggo. Di
daerah paiton ini juga kami melewati pebangkit listrik tenaga uap yang begitu besar
dan tinggi. Bapakku tercengang melihatnya, karena pembangkit ini adalah
pembangkit yang baru di bangun beberapa tahun lalu dan dulu tidak ada, jelas
beliau. Kamipun beristirahat di rindangnya pepohonan di pinggiran megahnya
pembangkit listrik itu. Kulihat kembali wajah bapakku yang sekarang menjadi
kusam. Aku sangat kasian melihat beliau. Aku seketika itu berdoa kepada Tuhan
agar senantiasa memberikan kekuatan kepadanya. Haru melanda perasaanku di bawah
rimbunan sejuk pepohonan itu. Namun aku merasa bangga mempunyai bapak seperti
beliau yang mana setiap tetesan keriangatnya tersimpan ketulusan kasih sayang
untuk anak-anaknya. Dan aku yakin keringat-keringat itu akan menjadi saksi
ketulusannya nanti di hadapan Tuhan.
Dengan antusias kami melanjutkan perjalanan melewati Tongas,
Nguling, Alas Tingo, Lekok, Rejoso, Kepel hingga pada akhirnya kami tiba di
kota Pasuruan. Jarum jam sudah hampir memasuki waktu ashar namun aku memutuskan
untuk tetap melanjutkan perjanan dan berjanji kepada bapak untuk membawanya ke
kabupaten Malang sebelum waktu ashar habis. Dari pasuruan kami langsung menuju
ke arah selatan dari Sambisirah, Wonorejo hingga pertigaan Purwosari.
Setengah jam ke arah selatan akhirnya kami tiba di Kabupaten Malang
dan menyempatkan untuk shalat ashar di sebuah masjid di pinggiran kecamatan Purwodadi.
Hingga kami tiba di kota Malang pukul 5 sore. Kami langsung transit di tempat
penginapan di dekat kampusku. Malamnya kami beristirahat setelah sehari semalam
mengeksekusi jalan sejauh 535 kilometer. Besoknya aku mengajak beliau untuk berkeliling
di sekitaran kampus UIN Maliki Malang. Dan hari berikutnya beliau sudah harus check
in ke Kota Mataram.
Inilah touring terindah dalam sejarah trip perjalananku menampaki
setiap sudut eksotika yang di tawarkan alam. Sebuah kepuasan yang tak bisa di
gambarkan karena trip kali ini ditemani seorang superhero, ia adalah Bapakku.
Story By: Hasan Suryawan
Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama IslamUIN Maliki Malang
mantepppppp
BalasHapus