Enam bulan sudah kenangan ‘touring’ ke tempat yang bernama Sembalun itu berlalu. Tapi entah kenapa, cerita dari perjalanan itu masih kuingat kuat dan detail di dalam pikiranku, terutama tawa-tawa yang berhamburan lepas setelah kami berhasil menaklukkan jalanan maut lembah Rinjani. Sungguah eksotik desain dari arsitektur Sembalun sebagai salah satu mahakarya Tuhan di atas bumi ini. Menawan, Sembalun adalah satu pemukiman yang berada tepat di lembah pegunungan Rinjani. Di segala sisi; barat, timur, selatan dan utara, sembalun dikelilingi pegunungan-pegunungan kecil, bagai kerang yang kokoh melindungi mutiaranya. Bagiku, ini lebih indah dari tempat yang diceritakan oleh Andera Hirata didalam novelnya yang bertajuk Edensor, yang diceritakan sebagai tempat yang sungguh indah dan eksotik. Karena Sembalun tak kalah indah dengan Edensor, ia bagai mutiara yang ada di dalam kerangnya, sangat terisolasi. Butuh sekian pengeorbanan jika ingin melihat sawah-sawah sembalun yang berwarna-warni karena berbagai macam buah, syuran dan rempah-rempah ditanam disana.
Waktu yang kami butuhkan dari pusat Kota Mataram hingga sampai di Sembalun kira-kira selama 3 jam. Belum lagi waktu yang lumayan lama itu harus kami kalkulasikan, sepertiganya kami tempuh di jalan berhotmik tulen, sepertiganya lagi harus kami lewati dijalanan semihotmik yang menanjak ke arah badan pegunungan Rinjani dan sepertiga yang terakhir harus kami habiskan dijalanan berhotmik fiksi, dengan kondisi luka parah, berlubang sana-sini, licin dan terjal. Seperti sebuah kehidupan, jika seseorang telah berhasil melewati cobaan dalam hidupnya, maka bersiaplah untuk menyambut indahnya hasil perjuangan itu. Dan seperti itulah ibarat Sembalun. Jika kami telah berhasil melewati jalanan dibawah lembah rinjani yang begitu berbahaya dan penuh dengan resiko, maka bersiaplah selanjutnya panorama indah nan mengagumkan akan tersugukan di depan mata. Sembalun memiliki suhun dibawah 10 derajat celsius, sangat dingin. Dengan kebun-kebun strowbery-nya yang melambai-lambai pada semua orang yang datang, dengan kabut-kabutnya yang terkadang turun ingin bermain bersama, menempel-nempel sejuk dipipi kami, hingga membuat semua kaca menjadi buram, mulai dari kaca matanya Hanny, kaca spion motor-motor kami, atau bahkan cermin yang dibawa oleh Ika di dalam tas modisnya. Juga sentuhan air murni nan segar dari mata air pegunungan Rinjani yang seketika itu menggetarkan setiap pori-pori wajah begitu kami membasuhnya. Selama satu tahun, kami biasanya pergi ke Sembalun sebanyak dua kali. Begitu banyak kisah menarik kami disana. Dan sekarang aku akan menceritakan salah satunya.
Cerita itu berawal dari niat kami untuk yang kesekian kalinya ingin melakukkan touring ke daerah Sembalun. Hari ‘h’ itupun tiba. Takwim yang kali ini menjadi kordinator perjalanan, telah memberikan pesan singkat pagi-pagi sekali kepada kami semua. Initinya adalah untuk memastikan kalau pagi ini kami akan eksekusi rencana sesuai kesepakatan sebelumnya. Mengatahui hal itu, aku bergegas menghubungi Ika. Aku juga ingin memastikan apakah pacarnya ikut untuk menemaninya dalam touring ini? Atau malah sebaliknya, mengutus aku untuk menggantikan sang pacar. Akupun mencoba netral dalam dua pilihan tersebut. Well, dia akhirnya mengabarkan kalau pacarnya tak jadi ikut dan memutuskan untuk pergi bersamaku. Namun seperti yang sudah kami ketahui bahwa Ika adalah sosok wanita yang super sibuk, seperti seorang wanita karier yang sibuk mengatur tiga butiknya. Karena bertepatan dengan hari eksekusi sekitar pukul 10 pagi dia harus mengantarkan adiknya yang akan pindahan dan masuk menjadi santri baru di pondok pesantren al Aziziah. Sedangkan Takwim yang pada waktu itu telah menetukan touring akan start pukul 8 pagi. Dengan terpaksa Aku dan Ika harus mengambil kebijakan agar touring tetap di mulai pukul 8 pagi dan kami akan menyusul mereka pukul 10 pagi nanti.
Takwimpun memimpin jalannya touring. Anggota kami waktu itu berjumlah 12 orang, jumlah yang wajar setiap tahunnya. Karena sejumlah itulah anggota tetap kami, walaupun ada sedikit penambahan. Pukul delapan lebih beberapa menit, merekapun berangkat tanpa aku dan Ika. Kalau boleh aku absen, para anggota yang berangkat waktu itu terdiri dari nama-nama seperti Linda, Yedi, Yanti I, Yanti II, Lefi, Hanny, Takwim, dan beberapa teman dari mereka yang kulupa namanya. Kami berjanji akan bertemu di Lombok Timur, rumah kerabat Yedi.
Waktupun sudah menunjukkan pukul 09:45 pagi, saatnya aku menuju ke ponpes al Aziziah untuk menjemput Ika yang sudah menunggu disana. Namun ternyata apa yang sudah direncanakan tak bisa berjalan dengan semestinya. Karena pacar ika, yang baru-baru kutahu namanya itu adalah Ivan, ternyata memutuskan untuk ikut touring bersama kami. Kamipun bertiga akhirnya menyusul anggota touring lainnya yang sudah menunggu kami di rumah kerabatnya Yedi. Sengkat penulisan, kamipun bertemu mereka. Tanpa membuang banyak waktu, kami langusng melanjutkan perjalanan untuk trek selanjutnya; Sembalun.
Mungkin karena Tuhan ingin menghiburku gara-gara tak punya teman boncengan, maka diutuslah seorang teman boncengan untukku. Ya, siapa lagi kalau bukan Linda Winarsih. Trek selanjutnya adalah ke arah utara, melewati makam selaparang dan terus ke arah utara, dengan suguhan jalanan menanjak perlahan seperti apa yang aku sampaikan tadi. Dan pasanganku sangat tepat, Linda. Ia memang wanita yang sangat haus dengan acara-acara touring seperi ini. Disepanjang jalan, kami berdua sangat seru membahas seputar dunia petualangan, dunia penjelajahan dan dunia touring. Hanya dia wanita satu-satunya di anggota kami yang hampir seluruh hidup dan hobinya ia curahkan untuk menikmati alam. Obrolan kami sangat seru karena memang kami berdua memiliki dunia yang sama, yaitu dunia pecinta alam. Kami semua, dengan pasangan masing-masing sangat menikmati perjalanan itu. Aku dengan Linda misalkan atau Ika dengan Ivan, Takwim dengan Yanti II, Yedi dengan Yeyen bahkan touring ini mempertemukan mantan sepasang kekasih yang dulu pernah bersama, siapa lagi kalau bukan Lefi dan Yanti I. Dan juga beberapa pasangan lain yang tak bisa kusebutkan namanya.
Dengan perlahan kami melewati jalanan yang juga perlahan semakin menanjak. Semakin ke arah utara, berarti semkin kami memasuki lembah pergunungan Rinjani yang memiliki puncak tertinggi ketiga se-Indonesia itu. Semakin kedalam, jalanan semakin kejam. Beberapa lubang terlihat ditengah dan pinggir jalanan. Tapi kami semua sangat bersyukur karena cuaca tetap cerah. Kami tak bisa membayangkan jika hari itu hujan, mungkin kami akan menembus jalanan yang berlapis lumpur, yang licinnya minta ampun. Hmmdasar orang Indonesia, masih bisa bersyukur ditengah-tengah kondisi jalan yang sangat genting sekaipun. Dan itulah yang membuatku selalu bersyukur serta bangga telah menjadi orang asli Indonesia.
Pukul 01:17 siang, kami tiba di puncak jalan raya menuju ke Sembalun. Tempat itu digunakan sebagai tempat singgah oleh para pecinta touring, baik yang menuju ke arah Sembalun atau sebaliknya. Disana kami menikmati sengatan matahari yang begitu nikmat. Jarang sekali tempat peristirahatan ini ditembus oleh sinar Matarhari. Ini adalah penglaman pertamaku menikmati trik matahari disana, karena memang sangat langka, seperti gerhana bulan yang terjadi sekali dalam beberapa priode tertentu.
Tiba-tiba muncul ide untuk mendaki bukit yang berada di pinggir jalanan, tepat di depan tempat peristirahatan. Yedi dan salah satu temannya kemudian menjadi orang yang pertama kali memanjat bukit itu. Raut wajahnya terpukau dan berseri-seri saat memandangi sesuatu yang ada di depannya. Rasa penasaran menyelimuti kami dibawah sana. Dengan modal nekat yang didorong rasa penasaran yang kuat, aku dan Lefi kemudian menyusul mereka berdua yang sedang asik mangkring di salah satu batu. Dengan sedikit kesabaran, pelahan aku daki bukit itu hingga ke tempat Yedi dan temannya berada. Waw.. amazingpemandangan Sembalun dari atas sana. Terlihat seperti sebuah pemukiman yang cukup luas dan dikelilingi perbukitan-perbukitan curam nan indah. Baru kali ini aku melihat eksotika Sembalun dari sisi yang berbeda. Awan-awan berterbangan pelan dilangit-langitnya. Bukit-bukit yang mengelilingi Sembalun tadi menjalar ke arah induk pegunungan Rinjani. Semakin dekat ke arah induk, semakin tinggi ketinggiannya. Sungguh arsitektur tingkat maha yang diciptakan Tuhan, tak mungkin manusia bisa meniru semua ini. Kamipun kemudian ternganga oleh sembalun yang ada didepan mata. Hal itu akhirnya membuat kawan-kawan kami yang ada dibawah semakin penasaran dengan sesuatu yang dilihat diatas sana. Misalnya Ika, Linda dan Yanti II hanya menunjuk-nujuk kami diatas, tak tau apa artinya, mungkin gara-gara rasa penasaran juga hingga tangan mereka menjadi salah tingkah seperti itu.
Lagi-lagi masalah waktu. Inilah yang selalu mengejar kami sebagai pelancong, kemanapun kami pergi. Ia adalah penghalang terbesar bagi seorang pecinta alam yang sedang bercumbu nikmat dengan alam. Termasuk dengan kami yang harus turun dari atas bukit sana dan berpisah dari panorama alam didepan mata kami. Perpisahan yang sangat menyedihkan, karena bagi pelancong seperti kami, alam yang indah tak ada bedanya dengan wanita paling cantik di dunia ini. Melihat dan mengagumi alam yang indah, tak ubahnya seperti playboy yang kagum saat ia melihat wanita-wanita cantik.
Dengan perlahan kamipun turun. Tak kusangka, ternyata mendaki bukit itu lebih mudah dibandingkan saat turun dari atasnya. Setelah dibawah, kami langsung tancap gas melewati jalanan yang terjal menuju ke arah bawah, sangat berbahaya. Perahan tapi pasti, kami akhirnya tiba di kecamatan Sembalun. Sebuah tempat yang baru saja kulihat dari atas bukit sana.
Beberapa waktu yang lalu, saat kami melakukkan acara serupa, kami menyempatkan diri untuk singgah di rumahnya Dinta, teman kami saat masih di MAN dulu. Dan taukah kawan, Dinta sekarang menjadi seorang mahasiswi pada jurusan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Malang. Siapa sangka, seorang anak yang terlahir dilokasi yang sangat jauh dari perkotaan namun pemikiran orang tua mereka sudah begitu maju, rela berkorban demi untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Kota Malang. Seingatku, saat kami dulu beristirahat disana, kami menyempatkan diri untuk menelpon Ika yang kebetulan tak bisa ikut karena harus pulang ke Sumbawa. Itulah kenapa touring kali ini ia sangat antusias, karena kapok hanya mendengarkan cerita tentang keindahan Sembalun.
Beda dengan touring sebelumnya, kali ini kami memutuskan untuk beristirahat di rumah keluarganya Yedi. Selama waktu persinggahan, kami banyak disuguhkan makanan, mulai dari pelecing, rujak, cemilan-cemilan dan lain sebagainya. Usai makan-makan, Lefi dan Yedi memutuskan untuk ikut bersama tuan rumah membeli strowbery dengan memetik buahnya langsung dari atas pohonnya. Karena menurut aturan, yang boleh masuk ke dalam kebun hanyalah dua sampai tiga orang saja -itu sekali beli-. Tak mungkin kami yang sebanyak 12 orang masuk semua ke dalam kebun strowbery untuk membeli seharga 25 ribu rupiah saja. Sehingga dengan aklamasi, kami memilih Lefi dan Yedi untuk pergi membeli strowbery tersebut. Untuk mengisi waktu luang, aku, linda, Yanti I, Yeyen dan Takwim berniat untuk pergi ke sawah dan berfoto ria disana. Dengan latar dekorasi ala perbukitan maha karya Tuhan, kami kemudian berpose bebas di depannya. Bahkan 10 gaya cara berfoto ala remaja alay kami praktikkan semua, mulai dari menaruh telunjuk dipipi dengan mulut monyong ke samping atau dengan menyatukan kedua pergelangan tangan dibawah dagu dan membukanya ke kiri dan ke kanan (ala Cherrybelle), atau juga dengan menaruh telunjuk secara vertikal tepat di depan mulut yang monyong ke depan, dan masih banyak lagi pose-pose yang tak bisa kutuliskan disini.
Waktupun terus beranjak, menggonggong kami agar cepat-cepat beranjak dari kecamatan Sembalun ini, karena waktu sudah hampir sore. Seusai shalat ashar kamipun beranjak untuk meninggalkan Sembalun, tapi kali ini dengan jalur berbeda. Akulah yang mengusulkakn agar trek pulang dirubah dan melewati jalur samping. Artinya kita tidak akan melewati tanjakan terjal sedikitpun seperti saat kita melewati lembah pegunungan Rinjani tadi. Namun kali ini aku mengajak mereka semua untuk pulang dengan mengitari kaki pegunungan Rinjani. Jalurnya pun agak jauh dibandingkan jika kita memotong jalur melewati lembah Rinjani. Dengan alasan menambah pengetahuan tentang trek, maka mereka semua setuju dengan usulku.
Aku yang dulu pernah melewati jalur ini kemudian memimpin konfoi. Dengan kecepatan tinggi, kami terus beranjak melewati kaki pegunungan Rinjani, meleawati panorama pinggiran pantai pulau Lombok yang jarang dijamah oleh para wisatawan. Jalanan sangat sepi padahal kondisi hotmik sangat baik. Namun terkadang ada lubang-lubang nakal di tengah jalan yang siap mengagetkan para pengguna jalan. Gubrakkk,, tiba-tiba Gubrakk,, sangat mengganggu sekali. Beberapa kali aku minta maaf kepada Linda, karena beberapa kali juga ia kaget saat aku tak sengaja melewati lubang yang ada di tengah-tengah jalanan berhotmik mulus.
Tak terasa waktu magribpun sudah tiba, namun kami belum juga sampai dirumah keluarga Yedi, tempat mereka kumpul tadi pagi. Tepat beberapa saat sebelum waktu isya’ tiba, akhirnya kami sampai di rumah itu. Namun karena ada salah satu anggota kami yang tak biasa keluar seharian, apalagi sampai agak malam, tiba-tiba ia menangis sendu. Kami semua mencoba untuk menguatkannya, bahwa ini adalah maslah kecil, masalah yang seharusnya disikapi dengan tenang. Walaupun orang tua terkadang tak mengerti hal itu. Syukur-syukur anaknya pergi bersama teman-temannya, walaupun mungkin pulangnya agak malam, daripada ia pergi bersama pacarnya ke suatu tempat dan melakukkan hal-hal yang ‘astagfirullah’, walaupun nanatinya mereka ia pulang cepat. Tentu lebih baik ia pergi bersama teman-temannya kan?. Makanya kalau jadi orang tua besok, jangan permaslahakan kapan sang anak pulang ke rumah, tapi permasalahkan dengan siapa ia pergi.
Trek selanjutnya adalah menuju ke Kota Mataram, kira-kira satu setengah jam lagi. Perjalanan ke Kota Matarampun kami lewati dengan baik, mulus dan aman. Hingga kami pulang ke rumah masing-masing sekitaran pukul sembilan lebih seperempat menit. Kenangan ini merupakan cerita akhir pada liburan semester genap (II) di masa perkuliahan kami. Aku akan menutup tulisan ini dengan satu quote, “Kami sesungguhnya adalah kumpulan air dan api. Kami berjanji dibawah dinginnya suhu pegunungan dan kencangnya angin pantai di siang hari. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan mahluk-mahluk halus penunggu rinjani. Kami adalah persahabatan terindah yang pernah diciptakan Tuhan.”
By: Hasan Suryawan.
Tulisan ini kupersembahkan untuk kawan-kawanku, "NAV COMUNITY TOURING"
NB: untuk teman-teman yang belum menjadi tokoh dalam cerita diatas, mari tahun ini kita akan mengadakan acara lagi, yukk ikutan, kita eratkan tali slaturrahmi kita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar