Memang sulit memberikan
alasan rasional tentang mengapa seseorang harus mendaki sebuah gunung. Apakah
mendaki gunung harus memiliki alasan?. Jawabnnya pun sangat relatif. Ada yang
mengatakan bahwa seseorang mendaki gunung karena rindu terhadap suasana alam.
Ada lagi alasan lain bahwa mendaki untuk mencari beberapa jepretan selfie.
Namun saya beranggapan bahwa alasan seseorang mendaki gunung bukanlah hal-hal
sebatas beberapa pernyataan yang melatarbelakanginya. Ada resiko yang banyak
ketika berada di alam, termasuk membuang jauh-jauh kenyamanan saat berada di
rumah. Resiko lain ialah tentang dampak bagi kesehatan tubuh yang bahkan dapat
menyebabkan kematian. Sehingga ada alasan mendalam seseorang ketika mendaki
gunung, bukan hanya untuk mencari beberapa selfie dan kemudian untuk di unggah
ke media sosial. Orang yang seperti ini pasti dikemudian hari akan kapok dan
tidak ingin lagi mendaki.
Salah seorang sahabat
saya mengatakan bahwa ia mendaki dikarenakan adanya panggilan alam di dalam hatinya.
Hmm...panggilan alam?. Mungkin inilah yang dinamakan sebagai kerinduan terhadap
alam. Merindukan alam berarti merindukan dirinya sendiri untuk bercumbu dengan
Tuhan. Benarkah hanya sebuah panggilan hati?. Atau hanya untuk berkampanye
menjaga kelestarian alam?. Toh banyak
pendaki yang membawa sampah-sampah ke alam yang justru merusak lingkungan. Saya
pun sangat sulit mendefinisikan alasan seseorang mendaki. Hanya saja, yang
pasti ialah seorang pendaki ialah mereka yang meninggalkan kenyamanan dan
kehangatan rumah mereka untuk mencari sesuatu yang tidak terdefinisikan yang
sesuatu itu hanya ada di alam.
Apa sebenernya mendaki
gunung itu?. Apakah ia hanya sekedar uforia bersama sahabat di alam?. Ataukah
sebuah hobi?. Atau juga sebuah profesi?. Namun semuanya dapat dan identik
dengan mendaki gunung. Saya sendiri tidak menggap mendaki gunung itu hanya sebuah
hobi, namun lebih dari itu. Ada semacam bisikan alam, semcam candu yang menuntun
kita untuk pergi ke gunung.
Mendaki gunung bukan
untuk gagah-gagahan, walaupun terkadang sulit untuk menahan diri ketika sudah
berada di rumah untuk tidak meng-unduh foto-foto ke media sosial. Sebagai
manusia biasa, ya tidak masalah, namun saya akan tegaskan lagi bahwa bukan itu
tujuan seseorang mendaki gunung. Meng-unduh foto dan semacamnya itu hanya pelengkap
saja.
Pertama kali saya
mengenal kenikmatan gunung ialah ketika melakukan pendakian ke gunung Rinjani
dengan ketinggian mencapai 3.726 mdpl. Rinjani merupakan gunung tertinggi ketiga
setelah puncak jaya di papua dan Kerinci di Sumatera. Rinjani meruapakan
replika gunung yang berada di Indonesia, semua track gunung se indonesia sudah terwakili di Rinjani. Adapau kesan
mendaki gunung ini tidak akan saya jelaskan panjang lebar, namun hanya satu
untuk menikmati sensasinya, dakilah!
Seiringnya waktu
berlalu, saya kemudian mencoba mencicipi beberapa gunung lain dengan harapan
mendapatkan sensasi yang berbeda. Salah satu gunung yang layak untuk di daki
ialah gunung Panderman dengan ketinggian 2.045 M.dpl yang berada di Kota Batu,
Jawa Timur. Gunung ini di daki selama satu malam saja, jika hati sangat
merindukan alam maka perjalanan ini cocok sebagai pelipuir lara. Gunung lain yang
lebih tinggi mungkin akan menghabiskan waktu 2-5 hari jika ingin di daki.
Gunung lain yang pernah
saya coba dinataranya ialah G. Penanggungan (1.653 M.dpl) di Mojokerto, G.
Welirang (3.156 M.dpl), G. Arjuno (3.339 M.dpl) di Pasuruan, G. Kembar I (3.051
M.dpl) di Kota Batu, G. Lemongan (1.671 M.dpl) di Kabupaten Lumajang, G. Lawu
(3.265 M.dpl) di Kabupaten Magetan. Ternyata, setiap gunung memiliki karakter
alam yang berbeda. Misalnya mendaki Arjuno via kota batu, jalur ini tidak
memiliki sumber mata air sama sekali. Oleh karena itu, persediaan air selama
kira-kira 3 hari harus dibawa dari pos pendakian. Bisa dibayangkan bagaimana
seseorang yang mendaki gunung ini akan dilatih kedisiplinannya, terutama dalam
menggunakan air.
Gunung lain juga pernah
saya coba bersama teman-teman, yaitu misalnya mendaki G. Bromo (2.329 M.dpl)
dan Penanjakan I G. Bromo 2.770 M.dpl. Namun jalur ini sangat mudah untuk
ditempuh, karena dapat menggunakan transportasi seperti sepeda motor, jeep,
atau mobil-mobil sekelas SUV misalnya Pajero, Fortuner atau KIA Sorento.
Dari sekian gunung yang
pernah saya daki, hingga sampai sekarang belum ada alasan pasti mengapa saya
melakukan ini. Bahkan alasan ini mungkin akan sama dengan pendaki yang lainnya.
Banyak pendaki lainnya yang telah mendaki puluhan gunung dengan track atau jalur yang berbeda. Namun ada
satu pernyataan yang menarik saat tim Kompas tv mendaki gunung Krinci, bahwa mendaki
bukan dalam rangka untuk menaklukkan alam, tapi untuk memahami alam. Bahwa
manusia bersama alam bukanlah satu hal yang terpisah, melainkan merupakan satu
bagian yang integral (menyatu) karena ketika salah satunya tidak seimbang maka
terjadilah kerusakan. Ketika longsor dan banjir terjadi, maka hal itu akan
mempengaruhi kelangsungan kehidupan manusia.
Masih banyak
alasan-alasan lain mengapa seorang pendaki seolah tidak ada kata selesai dalam
mendaki gunung atau menjajal alam. Bahkan saya pernah menjumpai pendaki yang
tidak memiliki kaki sebelah, dan ketika mendaki memanfaatkan bantuan tongkat
bantu. Ini sekali lagi menegaskan bahwa setiap orang memiliki alasan tersendiri
untuk mendaki gunung, dan alasan itu tersimpan di dalam lubuk hati yang paling
dalam. Yuk mendaki..!
Wallahualam
Oleh Muh. Hasan
Suryawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar