Ungkapan
‘cinta tak harus memiliki’ sebenarnya ungkapan yang bertujuan untuk melepas
seorang yang kita cintai tapi tak kunjung untuk di miliki. Namun pada
kenyataannya ungkapan ini kadang di taruh pada tempat yang kurang tepat. Bagi sebagian
orang, mereka menggunakan ungkapan di atas untuk menguatkan hati untuk terus
bertahan mencintai seseorang yang sudah jelas menepukkan cintanya di sebelah
tangannya sendiri atau tak kunjung ia dapatkan namun terus mencintai sang
pujaan hatinya dari belakang. Bukankah itu artinya menyakiti diri sendiri.
Mungkin dengan ungkapan ‘cinta tak harus miliki’ ini juga mereka beranggapan
bahwa cinta itu tak harus memiliki, cukup kita mencintai dia, melihat dia
bahagia walaupun dengan orang lain maka hati kita akan bahagia dan tenang.
Bagaimana hal itu itu terjadi?. Apakah ini sekedar retorika belaka untuk
menguatkan hati yang sedang di tepuk sebelah tangan dengan cinta?. Jika niat
selanjutnya memang ingin melupakan sang pujaan hati, maka penggunaan ungkapan
di atas tepat. Tapi kurang tepat jika penguatan hati dari ungkapan ‘cinta tak
harus miliki’ di gunakan untuk tetap tegar di belakang sang pujaan secara
kontinu, walaupaun sang pujaan hati sudah mencintai orang lain.
Sebelum
lebih lanjut menerangkan antara mencintai dan kehilangan itu seprti apa, maka timbul
satu pertanyaan sederhana. Apakah cinta kepada sesama makhluk itu sama dengan
rasa cinta kita kepada Allah?. Mungkin bagi sebagian orang mengatakan beda. Tapi
mengapa cinta kita kepada Allah bisa di filosofikan dengan cinta yang terjadi di
antara sesama manusia. Jadi sebenarnya cinta itu sama. Kesamaan ini di dukung
pula oleh Intentitas kecintaan kita kepada Allah yang bisa di ukur oleh
filosofi kecintaan kita pada manusia. Seberapa cinta anda dengan Allah. Maka jawablah
setelah membaca pernyataan di bawah ini.
Ketika
orang yang anda cintai, misalnya pacar anda mencubit anda, maka jelas akan
terasa sakit. Tapi pada hakekatnya anda mau di cubit lagi bukan?. Begitu pula
dengan cubitan dari Allah. Cobaan/cubitan dari Allah yang di turunkan itu memang akan
tersa sakit, tapi jika kita benar-benar mencintai Allah pasti kita mau di cubit
lagi. Inilah cinta yang sesungguhnya, yang akan melahirkan sebuah keikhlasan
atau keridhoan bagi siapa saja yang memilikinya. Banyak cobaan tidak menjadi masalah
jika kita mencintai Allah dengan setulus hati, bahkan yang lebih extrim lagi
ketika kita meminta cobaan/cubitan lagi dari Allah. Namun jika yang kita rasakkan hanya keluh kesah dan putus asa, berarti cinta kita pada Allah SWT nihil, only in the mouth.
Maka
kaitannya dengan paragraf pertama di atas bahwa, jika kita benar-benar
mencintai seseorang maka akan ada keikhlasan atas apa yang ia perbuat, termasuk
menolak kita. Selanjutnya hati kita akan merasa ikhlas atas keputusannya
secara lahir maupun batin. Ketika kita merasa ikhlas, bukankah itu artinya kita
harus melupakannya. Karena kehadiran kita terkadang membebani dia. Kalau kita
tidak bisa melupakan orang yang kita cintai, maka cinta kita perlu di
pertanyakan ketulusannya. Mungkin kita punya niat lain, yang tidak hanya
sekedar berniat untuk mencintai dia.
Lepas
dari segala gambaran di atas, mari kita kembalikan segala sesuatu pada Allah
SWT sebagai pemilik yang menghendaki dengan siapa makhlukNya berjodoh. Tetap husnudzhan
dengan takdirnya, karena keputusan Allah SWT selalu yang terbaik. Rencana kita
boleh indah, tapi jangan lupakan bahwa rencana Allah lah yang terindah.
Artikel by: M. Hasan Suryawan
NB: tema terinspirasi dari orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar