Beberapa
hari yang lalu saya berangkat ke kota Tuban bersama teman-teman PAI G untuk
melaksanakan acara silaturrahmi ke dua Ponpes disana. Kami ditemani oleh bapak
Zainal M.Pd, selaku dosen pengampu mata kuliah Study Qur’an. Di Ponpes pertama,
kami bertemu langsung dengan bapak kyainya. Jujur dari hati yang terdalam, ini
pengalaman pertama saya duduk lesehan bersama dengan seorang kyai besar, apalagi
langsung berdiskusi dengan beliau mengenai hukum-hukum islam.
Sebelum
sambutannya, beliau dengan candaan memperkenalkan dirinya dengan sebutan UGD,
yaitu kepanjangan dari Ustad Gus Dayat. Setelah itu beliau langsung memberikan
vaksin ke dalam pikiran kami mengenai satu masalah yang menjadi problematika
dalam kehidupan anak muda zaman sekarang, apalagi kalau bukan masalah ‘pacaran.’
Dari awal pembukaan, beliau langsung menekankan kepada kami selaku calon
pendidik agama islam untuk tidak mendekati satu istilah berbahaya menurut
beliau, yaitu pacaran. Karena terang Gus Dayat, bahwa ilmu adalah Nur Illahi
atau cahaya Illahi yang tidak akan barokah jika kita barengi dengan maksiat.
Kemudian
ada satu teman saya yang bertanya, “Bagaimana
dengan pacaran yang di lakukkan bersama hal-hal positif, seperti saling
memotivasi untuk belajar, saling menyenangkan, bukankah menyenangkan orang
berarti mendapat pahala dan pahala itu bisa digunakan untuk menutup dosa dari
pacaran itu?.” Setelah itu Gus Dayat menjawab dengan tenang, “Jangan sekali-kali mencampur adukkan antara
kebaikan dengan keburukan. Sesuatu yang awalnya buruk pada akhirnya pasti akan
buruk juga, apapun alasannya, karena yang demikian itu ibarat mencuci baju
dengan air seni”. Beliau menambahkan bahwa “Hari
ini kita boleh pintar dan mendapat rangking kelas serta IP yang tinggi dengan
semangat dari pacaran, tapi hal itu akan berlangsung hari ini saja, dan ilmu
yang di dapat akan sampai disitu. Tidak akan ada barokah dan manfaat
kebergunaan dari ilmu yang di dapat itu.” Mendengar pernyataan itu, hati
kecil saya langsung menjustifikasi pendapat beliau. Ya, bagaiman bisa dengan
perbuatan pacaran yang buruk diniatkan dengan suatu kebaikan. ‘Itu adalah
alasan tanpa dasar’, tegas beliau.
Teman
saya yang lain pun angkat bicara. “Bagaiman
dengan pacaran yang Islami?”. Katanya. Gus Dayat kembali menjawab, bahawa pacaran
yang islami itu tidak ada. Minimal ada pacaran yang selamat. Di antara
syaratnya adalah jika hendak bertemu harus ditemani muhrim, waktunya pun harus
sebentar saja dan pertemuan itu dilakukan sejarang mungkin. Karena dengan
membawa muhrim, setan tidak akan menjadi yang ketiga; dengan jarang bertemu,
cinta dan sayang akan bertambah karena rindu. Kalau pacaran yang tidak ditemani
muhrim, tambah beliau, bagaikan berduaan di tepi jurang api neraka dan satu kata
yang dikeluarkan di ganjar 1000 dosa. Nauzubillah, berari kata ‘aku cinta kamu’,
itu diganjar 3000 dosa.
Namun
menurut saya, syarat pacaran selamat yang disebutkan Gus Dayat tadi sangat
sulit dijalani. Kalau memang ada siapa yang berani menjamin kalau syarat-syaratnya
itu tetap di jaga, sedangkan Allah sendiri meragukan manusia. Ingatkah kita
dengan firman Allah yang menyuruh manusia untuk tidak mendekati zina?. Inilah
bukti bahwa Allah meragukan manusia dengan cara memerintahkan agar tidak “mendekati”,
lebih-lebih melakukan zinanya. Jika manusia mendekati zina maka peluang untuk
melakukan zina sangatlah besar. Inilah dalil sebagian orang yang mengharamkan
pacaran, karena menurutnya pacaran termasuk dalam katagori mendekati zina.
Ketika
manusia terjerumus dalam maksiat, entah melakukan zina dan sebagainya, biasanya
seorang manusia akan menyalahkan pasangannya atau paling tidak menyalahkan
setan yang telah menggodanya. Hal ini merupakan anggapan yang sangat keliru.
Sebenarnya
maksiat yang telah dilakukan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri. Jika
menyalahi setan?, Setan hanya menghasut dan tidak ada daya serta upaya untuk
menjamnin manusia yang digodanya berhasil untuk sesat. Pilihan itu ada di tangan
manusia sendiri. Di dalam suatu riwayat, setan pernah memberikan pernyataan
bahwa dia tidak akan mampu menggoda manusia yang di dalam hatinya ada sifat
ikhlas kepada Allah SWT. Dari sini, teranglah bahwa keburukan yang dilakukan
itu akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Maka jangan salahkan siapapun jika
kita melakukan suatu keburukan, kecuali diri sendiri.
Akhirnya,
saya tidak akan memberikan kesimpulan apapun mengenai masalah pacaran di atas.
Karena saya tidak mau menjadi musuh dari orang yang masih melakukan hubungn itu
hanya gara-gara saya mengatakan pacaran itu bertentangan dengan agama. Cukuplah
ini menjadi bahan perenungan bagi Ulul Albab, yaitu orang-orang yang berakal.
Artikel By:
Muhammad Hasan Suryawan.
Mahasiawa
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Maliki Malang
nginguk mas..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus