Para pengikut wetu
telu
mengaku diri mereka beragama islam tapi pada kenyataannya mereka masih jauh
dari apa yang sudah di jalani oleh orang-orang muslim pada umumnya atau islam
waktu lima. Komunitas watu telu mencampur adukkan antara kegiatan ibadah
dengan adat istiadat. Mereka memiliki cara yang berbeda dalam menjalani
kegiatan ibadah dengan islam waktu lima. Dalam bahasa indonesia, Wetu berarti waktu dan telu yang berarti tiga. Dalam situs Wikipedia,
dijelaskan bahwa Wetu Telu (Bahasa
Indonesia=waktu tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku sasak
yang mendiami pulau lombok dalam menjalankan agama islam.
Sejalan
dengan artinya, komunitas watu telu
menjalani syari’at islam serba tiga kali. Misalnya mereka menjalankan rukun
islam hanya tiga; diantaranya Syahadat, Shalat dan Puasa. Merekapun membagi
waktu shalat menjadi tiga waktu saja, yakni subuh, magrib dan isya’. Demikian
juga halnya dengan ibadah puasa, mereka tidak menjalani puasa sebulan penuh
seperti yang dijalani islam waktu lima, melainkan hanya berpuasa di awal bulan
ramadhan, pertengahan dan akhir bulannya saja. Walaupun kepercayaan yang sudah
begitu menyimpangnya dari syari’at islam waktu lima dan perbedaan semacam ini
tidak boleh ada, namun islam waktu lima, khususnya yang berada di Lombok mengatakan
ajaran wetu telu tidak sesat. Hanya
saja mereka butuh dakwah yang lebih gencar, kemudian meluruskan pemahaman agama
mereka selama ini, karena kemunculan komunitas wetu telu yang membawa
sekian kebiasaan ibadah yang berbeda itu bukan lahir di era dakwah yang sudah
maju seperti saat sekarang ini, melainkan sebuah masalah yang timbul akibat
budaya yang dijalani turun temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Menurut
sejarahnya, kecamatan Bayan, tempat dimana komunitas ini bermukim merupakan tempat
yang dulunya dakwah islam pertama kali masuk ke pulau Lombok. Tak heran jika
timbul suatu kepercayaan seperti watu telu di daerah ini. Di daerah Bayan
ini juga, terdapat sebuah Masjid Kuno yang di jadikan sebagai cagar alam oleh Pemerintah
Pusat yang disebut-sebut sebagai masjid pertama kali di bangun di pulau Lombok.
Selain menjalani ibadah yang serba tiga, komunitas watu telu juga mempunyai ritual-ritual untuk memuja para roh
leluhur. Mereka masih meyakini adanya roh para leluhur yang akan menjadikan
perantara mereka dengan Tuhan, karena roh leluhur hidup di alam halus dan alam
halus sangat dekat dengan Tuhan. Menurut mitos komunitas wetu telu, jika
ritual-ritual tidak dilaksanakan, maka roh leluhur akan murka dan menurunkan
musibah untuk mereka.
Keberadaan Wetu Telu sebagai varian Islam di Lombok sudah
ada sejak lama. Hanya saja tidak ada suatu keterangan pasti yang
menunjukkan asal-usul Islam Wetu Telu. Juga tiada seorang pun yang dapat mendeskripsikan atau yang memberikaan penjelasan
secara persis kapan dan dimana istilah tersebut mulai dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat Islam pulau Lombok.
Pendapat
masyarakat Lombok pun berbeda-beda dalam memahami latar belakang dari kebiasaan
ibadah dari komunitas watu telu. Pendapat yang paling populer mengenai
masalah ini adalah karena dakwah yang tidak sempurna pada saat penyebaran islam
pada waktu itu, sehingga mereka hanya mendapatkan perintah syi’ar hanya tiga.
Namun masyarakat islam sasak secara umum berpendapat bahwa komunitas watu telu benar-benar telah terbenam
dalam praktek-praktek adat mereka. Demikianlah pendapat masyarakat islam waktu
lima yang berekembang selama ini. Namun lain halnya dengan kutipan dari Dr.
Erni Budiawanti, dalam bukunya yang bertajuk “Islam Sasak, Watu Telu Versus Waktu Lima”, menjelaskan bahwa
menurut pendapat pemimpin komunitas wetu
telu, yang di sebut juga dengan istilah Pemangku
Adat, menyatakan tidak setuju jika istilah wetu di kaitkan dengan istilah waktu. Pemangku adat
menjelaskan lebih dalam lagi bahwa asal kata wetu itu adalah metu,
yang berari muncul. Hal ini terkait dengan munculnya makhluk hidup dari tiga
reproduksi; Melahirkan (menganak), Bertelur
(menteluk), dan Benih/biji (mentiuk). Ketiga macam jalur reproduksi
tersebut merupakan makna harfiah wetu
atau metu telu. Tetapi fokus
kepercayaan wetu telu tidak terbatas
hanya pada sistem reproduksi. Kata tersebut memiliki makna yang lebih rumit
lagi. Pemangku kembali
menjelaskan “wetu telu tidak hanya menunjukkan pada tiga macam sistem
reproduksi, melainkan juga menunjukkan pada kemahkuasaan Tuhan yang
memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui
mekanisme reproduksi tersebut.”
Lebih
lanjut lagi Pemangku menjelaskan bahwa
wetu telu juga melambangkan
ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menerangkakn hal ini, ia
membagi wilayah kosmologis menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad besar
juga ia sebut sebagai mayapada atau alam raya, yang terdiri dari; dunia,
matahari, bulan, bintang dan pelanet lain. Sedangkan manusia dan makhluk lainya
merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketergantungan semacam itu menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu
keseimbangan dan karena itulah tatanana alam (kosmologis) bekerja. Pemangku adat juga mengatakan
bahwa leluhur manusia yang tertua adalah nabi Adam dan Siti Hawa. Sehingga
mereka sangat mengagungkan Adam dan Siti Hawa, dismping mereka mengagungkan
Allah SWT juga. Dari sinilah makna ‘tiga’ yang manjadi background
kegiatan ibadah komunitas wetu telu.
Terlepas
dari masalah latarbelakang kepercayaan di atas, wetu telu jelas telah
menyimpang dari ajaran agama islam yang sebenarnya. Kegiatan dakwahpun tak
pelak menjadi kenyataan yang harus di hadapi komunitas wetu telu.
Dimulai dari seorang kyai yang bernama TGH. Mutawali (TGH berarti ‘Tuan Guru
Haji’ yang merupakan sebutan untuk ulama yang berada di pulau lombok), yang
memulai dakwahnya pada tahun 1960-an. Stelah itu di tahun 1970-an, banyak
kyai-kyai lain yang mengambil bagian dari dakwah ini, seperti TGH. Zainuddin
Abdul Majid (pendiri organisasi Nahdatul Wathan), TGH. Ahmad, TGH. Hazmi
Azhar, dan TGH. Safwan Hakim.
Adapun
dakwah-dakwah yang dilakukkan terpusat di masjid-masjid yang terwujud dalam
kegiatan ceramah-ceramah, contohnya pada saat khotbah jum’at ataupun
pengajian-pengajian umum lainnya. Dakwah juga dilakukkan di tingkat
madrasah-madrasah, namun hal ini tidak begitu efektif, walaupun pendidikan yang
di janjikan gratis, tapi anak yang bersekolah disana kebanyakan anak-anak yang
berasal dari keluarga prasejahtera, dan tidak terlihat anak-anak asli dari
keluarga bayan penganut wetu telu. Karena pelajaran tuhid, akidah,
fiqih dan akhlak menurut komunitas wetu telu sangat
bertentangan dengan kepercayaan religius komunitas wetu telu. Mereka
yang konservatif dengan adat sangat takut jika kutukan dari roh leluhur menimpa
anak-anak mereka jika dibiarkan mengenyam pendidikan yang bertentangan dengan
kepercayaan mereka. Namun dalam islam, dakwah adalah upaya yang tiada akhir.
Segala aspekpun dilibatkan dalam misi dakwah ini, baik dalam aspek perekonomian
ataupun perpolitikan, dan itu berlangsung hingga sekarang.
Komunitas
wetu telu kini berada di dalam posisi yang sangat terjepit yang
dihadapkan pada agresi kultural kaum waktu lima. Dengan memperhitungkan
peningkatan penetrasi gerakan islam ortodoks, beriringan dengan ketatnya
kontrol pemerintah dan pembangunan perekonomian baru di Bayan, saya yakin lama
kelamaan integritas dan pandangan religius komunitas wetu telu akan
mengalami transformasi. Dengan kata lain, dibawah tekanan terus-menerus dari
kekuatan-kekuatan eksternal itu, lambat laun setidak-tidaknya akan memberikan
paradigma baru bagi komunitas wetu telu mengenai kepercayaan mereka
sendiri. Studi penelitian yang lebih up to date dan dilakukakn secara
komperhensif dengan rentan waktu yang lama akan memberiakan pemahaman yang
lebih jelas mengenai tarnsformasi sosio-kultural dan religius dalam masyarakat
indonesia kontemporer.
Artikel
By: Hasan Suryawan.
NIM:
11110052
NB:
Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir UAS mata kuliah Teologi Islam
dari Bapak Imam Syarqowi, M.Pd.
Semoga Bermanfaat,,
Malang,
23 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar