Oleh Muh. Hasan Suryawan
Penyerangan jemaah aliran Ahmadiyah kembali terulang yang baru-baru ini
terjadi di sakra, lombok timur. Penyerangan ini dilakukan oleh umat islam
lainnnya yang merasa ajaran ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari
ajaran islam pada umumnya. Namun jika diruntut lagi, kejadian serupa juga
sering terjadi baik penyerangan terhadap jemaah aliran ahmadiyah sendiri atau
terhadap aliran di dalam islam lainnya, misalnya saja syi'ah. Bahkan lebih jauh
lagi penyerangan terhadap satu jemaah agama terhadap jemaah agama lain juga
sudah sangat sering terjadi.
Rentetan penyerangan ini dilakukan karena adanya perbedaan faham, pendapat
dan keyakinan. Bahkan kerusuhan yg terjadi di dalam satu manhaj atau organisasi
kesislaman saja terjadi, apalagi dalam hal ini konteksnya berbeda keyakinan.
Beberapa tahun lalu kerusuhan antar agama mungkin seringkali terjadi. Namun
kerusuhan semacam ini seiring dengan gencarnya sosialisasi ideologi kebangsaan
maka hal itu kemudian dapat di redam. Dengan ideologi kebangsaan bahwa indonesia
merupakan agama yang plural baik dari segi budaya, tradisi, ras dan agama. Pun
agama satu dengan yg lain di dalam ajaran mereka telah memberikan nilai yang
jelas bahwa sikap toleransi dan inkusifitas antar umat manusia harus dijunjung.
Permasalahan intoleransi yang terjadi antar umat beragama rupanya agak
berbeda dengan konflik yang terjadi yang dilatarbelakangi oleh bedanya faham di
dalam satu agama. Adanya aliran fundamentalisme, yang kemudian berbarengan
dengan faham radikalisme tertentu memiliki jenis konflik yang berbeda. Jika
nilai toleransi dibangun atas perbedaan secara mendasar atau dalam islam
disebut dengan istilah ushul-nya dan terjadi karena perbedaan sudut pandang,
misalnya perbedaan agama yang terjadi karena dari dasar, fondasi dan akarnya sudah
berbeda. Maka konflik semacam ini mudah untuk diredam, karna secara substansi
ajaran yang lain tidak ternodai, atau dicampur adukkan dengan faham berbeda.
Sedangkan kasus ahmadiyah ialah permasalahan yang timbul dari aspek
ushuliyahnya, ini yang sulit di carikan solusinya.
Kasus Ahamdiyah atau aliran syiah sulit diredam hari ini merupakan contoh
dari konflik yang terjadi karena adanya kesan menodai dan mencampur adukkan
ajaran agama pada tatanan mendasar. Misalnya saja ahmadiyah yang mengaku islam
namun mereka tak mengakui nabi muhammad sebagai nabi terakhir. Atau aliran
syiah yang dalam sekte tertentu sangat memuliakan sahabat Ali dibandingkan
dengan nabi Muhammad sendiri. Ini permaslahan yang sangat serius karena adanya
perbedaan pada tataran ushuliyah atau mendasar. Jangankan masalah ushuliyah,
atau perbedaan pada tataran furu'iyah saja sudah bisa menimbulkan konflik yang
luar biasa.
Permasalahan ahmadiyah ataupun syiah memang harus disikapi dengan bijak,
dan tentu tidak dibenarkan menggunakan cara-cara agresif yg terkesan militan.
Namun pemerintah rupanya abai terhadap kejadian ini dan menganggap bukan
sesuatu yang penting, tak sepenting menyekesaikan permasalahan ekonomi politik
dan semacamnya.
Pasca kerusuhan dan perusakan yang terjadi misalnya atas jemaah ahmadiyah
baru-baru ini aparat agaknya bingung dan salah kaprah di dalam melihat secara
mendalam permasalahan yang ada. Beberapa oknum peruskaan kemudian akan diancam
oleh hukuman pidana karena telah melakukan penghakiman sepihak terhadap jemaah
ahmadiyah. Alasannya bahwa Hukum harus ditegakkan dalam melindungki masyarakat
dalam kerangka demokrasi.
Negara dan pemerintah harusnya berkaca dan melakukan introspeksi diri.
Ketika negara diancam oleh beberapa gerakan radikal anti NKRI maka negara
begitu cepat membendung hal itu. Alsannya jelas, gerakan-gerakan tersebut
memiliki faham usuhuliayh atau faham dasar yg berbeda dengan ideologi negara
yakni Pancasila. Padahal indonesia adalah negara demokrasi, dimana kebebasan
berekspresi dan ebebasan mengutarakan pendapat harus dijujung tinggi. Namun
perbedaan yang bisa diterima tersebut ialah pada tataran furuiyahnya saja,
misalnya perbedaan gagasan, pendapat, ide dan sejenisnya. Namun ketika
perbedaan itu menyangkut dasar ideologi negara, maka pemerintah begitu tegas
dan dengan sigap melakukan upaya 'pembasmian'. lantas apa bedanya dengan
gerakan ‘pembasmian’ yang dilakukan masyarakat terhadap aliran yang terkesan
menancam eksistensi mendasar dari ajaran islam. Inilah perumpamaan sederhana
atas konflik yang terjadi antara jemaah ahmadiyah dengan umat islam pada
umumnya.
Untuk itulah sebagai pemegang kendali tertinggi dalam negara,
langkah-langkah solutif harus segara dilakukan agar tak menyuburkan
langkah-langkah anarki. Misalnya melalui dialog, sosialisasi dan musyawarah
sembari mencari jalan tengah yang baik bagi kedua belah pihak. Hal itu perlu
dilakukan untuk melindungi hak asasi manusia untuk dapat hidup dengan damai dan
tenang tanpa adanya persekusi atau ancaman dari golongan tertentu. Sosialisasi
tersebut juga dapat berupa eduksi masyarakat tentang penyelesaian konflik
dengan jalan yang baik (ma’ruf) tanpa mengintimidasi serta jalan-jalan anarki
lainnya. Karena menegakkan kebaikan tidak bisa dilakukan dengan cara yang
mungkar.
Wallahualam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar