Dampak dari kapitalisme rupanya telah menggerogoti seluruh
sendi-sendi kehidupan. Apa sih kapitalisme? Mungkin orang awam akan bertanya-tanya
apa itu kapitalisme. Kalau membahas secara teoritis ya pasti akan membutuhkan
konsentrasi yang lebih. Tapi secara sederhana, kapitalisme itu ialah merubah
pola pikir konsumen menjadi konsumtif, kira-kira begitu. Membeli barang bukan
atas dasar KEBUTUHAN akan tetapi atas dasar KEINGINAN. Ada lagi sih lain, yaitu
membeli barang atas dasar gengsian, pamer-pameran dan ingin dikatakan up to
date dan berduit. Itulah kapitalisme, sederhana toh.
Jadinya kapitalisme ingin membuat sebuah label, ini loh
orang kaya bisa beli-beli barang mewah. Ini loh yang orang modern yang bisa
beli barang-barang bisa up to date. Jadinya kita diajak ke dalam satu latar
kelas atas, namun ternyata semua itu hanya illusi belaka. Kok bisa?. Ya bisa,
karena kapitalisme mengukur kaya tidaknya orang bukan lagi atas dasar apa yang
mereka miliki secara essensi, tapi apa yang mereka punya secara eksistensi. Apa
itu eksistensi, ya sederhanya 3D, dapat dilihat, diraba dan ditrawang. Boleh-lah
secara eksistensi memiliki mobil, tapi kalau itu hasil utang dan harus diangsur
bertahun-tahun?. Secara essensi tidak kaya. Ketika ada orang yang gonta-ganti
kendaraan, tapi kalau membuat lubang hutang baru?. Begitupun membeli pakaian
yang selalu modelnya terbaru dan harganya mahal, untuk apa?. Pasti alasannya, ya
agar bisa dipamer ke orang-orang, Nah ini kapitalisme sukses. Intinya,
kapitalisme berusaha membuat orang agar terlihat seperti kaum-kaum elite dan up
to date tapi dalam bingkai illusi.
Dari pemahan diatas, baru-baru ini saya mengalami kejadian yang
tidak mengenakkan karena ya itu tadi, kapitalisme diatas. Saya pernah belanja
dibeberapa warung dan saya membayarnya dengan selembar seratus ribuan. Ada yang
mengeluh karana uangnya terlalu besar (nominalnya), dan kebanyakan diam dan memberikan
saya kembalian. Baru-baru ini saya kembali membayar transkasi di suatu warung
makan dengan uang pas. Waktu itu saya harus membayar tiga belas ribu. Maka saya
keluarkanlah uang PAS sebesar tiga belas ribu, yang terdiri atas uang kertas
dua ribuan dan seribuan. Eh…tiba-tiba pemilik warung celetuk, “kehabisan duit
ya…”. Antara bencanda dan serius, saya tersenyum dan sedikit merespon candaan
sang pemilik warung. Asal jangan tersinggung aja dianggap kaum fakir-miskin,
karana kan orang Indonesia cenderung sensitif dan gengsian ya, makanya waktu
itu saya enggan menjadi ‘orang Indonesia’ untuk sementara waktu. Kepada siapa
saya harus marah seharunya?. Wah… ini yang salah ternyata kapitalisme lagi,
pemilik warung cuma korban aja tuh, hahaha begitulah isi pikiran saya.
Saya kemudian mengingat, waktu masih tinggal di Ma’had kampus dulu,
uang receh biasanya berikan lak-ban, dibungkus-bungkus lima ribuan. Jadinya
kalau beli lauk kita memakai uang receh tersebut, pemilik warung ya memaklumi
karana mahasiswa identik dengan kekurangan uang. Disini ada asumsi bawah
berbelanja dengan uang receh ialah hanya dilakukan orang kere alias tak
berduit. Karena selama ini, saya belum pernah menemukan ada orang dari kalangan
elite membayar transaksi di suatu Rumah Makan misalnya memakai uang receh. Trus
mereka membayar dengan apa?. Dengan ini….
Temen saya pernah menceritakan pengalamannya membayar transaksi di sebuah
Warung Impor kelas elite (McD dkk.), Waktu itu dia hendak melakukan pembayaran.
Tepat dibelakangnya ada cewek-cewek yang ngobrol-ngalar-ngidul yang juga mengantri
hendak membayar. Setelah itu, pada saat teman saya mau bayar eh ada perasaan
gengsi jika ia harus membayar menggunakan uang pas, alias uang ribuan dan
puluhan. Karna gengsi, teman saya ini membayar transaksi dengan menggunakan kartu debit. Katanya cewek-cewek dibelakangya
mulai memperhatikan temen saya ini. Karna memang sampat tak dihiraukan karena
penampilan teman saya inu sederhana dan santai. Dalam hatinya teman saya ini
nyeletuk, “bagaimana jadinya kalau saya bayar pake kartu kredit, tambah
ngelirik ini cewek-cewek…”. Oke…cukup ceritanya, lagi-lagi kapitalisme won!.
Apa yang saya katakan sebelumnya, bahwa telah terjadi kapitalisasi
secara besar-besaran. Dalam hal ukuran membayar saja, kita harus mikir-mikir
dua atau tiga kali memakai pembayar apa, uang receh, uang pas, kartu debit atau
kredit. Uang Receh?, oh sepertinya ini kasta paling bawah, ibaratnya kalau di
agama hindu, kasta sudra. Padahal nih beberapa waktu yang lalu, Bank
Indoensia (BI) mengatakan bahwa pada tahun 2016 ada sekitar 6 Triliun uang
receh yang beredar di Indonesia. Dan yang kembali ke BI hanya 16 persen. Banyak
uang receh (koin) yang tidak digunakan dalam transaksi oleh masyarakat.
Akibatnya terjadi inflasi dan penurunan daya beli masyarakat Indonesia, salah
satu pernyataan deputi gubernur BI. Kalau dirata-ratakan, dari penduduk
Indonesia 250 juta jiwa maka ada sekitar 77 kepingan uang receh atau koin yang
di simpan tiap-tiap individu. Kalau dikumpulkan seluruh uang koin itu maka akan
berjumlah 15,5 milyar keping, wah ini setara dengan gunung dengan tinggi 2000
MDPL ya..
Kejadian diatas memang sebuah fenomena unik dan menarik, dan pada
akhirnya akan muncul satu gerakan pembayaran dengan sistem non tunai, seperti
apa?, ya tadi memakai kartu debit atau kredit. Tapi selama itu didasarkan atas
kebutuhan memudahkan, kenapa tidak?. Mengapa kita tidak meminta alasan pada
setiap keputusan dalam hidup ini?. Mengapa saya harus membeli tipe handphone
yang terbaru jika yang ada sekarang masih bisa berfungsi dengan baik?. Mengapa
kita tidak tanyakan hal-hal yang berkaitan dengan essensi?. Mengapa kita harus
malu menggunakan uang receh, uang pas dan lusuh untuk membayar suatu
transaksi?. Jika memang gengsi dan ingin dikatakan kaya, maka orang kaya belum
tentu mereka yang membayar dengan kartu debit atau kredit. Dan sebaliknya belum
tentu yang miskin ialah mereka yang membayar dengan uang receh. Ini baru
berfikir essensi, bukan hanya sekeder bereksistensi ilusi.
Oleh M. Hasan Suryawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar