Hidup ini, sebagaimana penjelasan Prof. Ahmad Sanusi, merupakan
pilihan. Manusia diberikan kekuasaan untuk memilih dan menentukan jalan
hidupnya sendiri. Setiap pilihan yang dipilih oleh manusia sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang ada pada dirinya. Dan tentunya setiap pilihan memiliki
konsekuensinya masing-masing. Sehingga yang utama bagi manusia ialah kemampuan
bagaimana ia memilih sesuatu, bukan pada apa yang ia pilih.
Di zaman dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat ini, semua hal
seolah terlihat benar dan nyata. Seperti fenomena antar umat islam yang
memiliki banyak pendapat terhadap satu permasalahan. Misalnya permsalahan
tentang penistaan agama, sikap umat terhadap suatu fatwa, cara umat islam dalam
merespon suatu kebatilan, bahkan berbeda pemahaman saat memahami satu paham
yang dikatakan radikal dalam islam. Semua pendapat memang memiliki dasar dan
fondasi rasionalisasi yang sama-sama kuat. Bagi mereka yang belum memiliki
sikap pasti akan merasakan satu kebimbangan tentang satu pertanyaan, siapakah
yang paling benar?.
Untuk bisa menjawab pertanyaan diatas sangat tergantung pada pandangan
kita terhadap islam. Dari sisi mana orang melihat dan memahami islam. Prof
Ahmad Sanusi telah mengklasifikasikan beberapa nilai yang akan saya jadikan
pisau analisi dalam memandang, melihat dan memahami islam. Diantaranya ialah nilai
kepercayaan, Pengetahuan, Kesenangan, Kehendak dan Praktik. Semua komponen ini
sebenarnya ialah satu sistem (integrasi-interkoneksi), bukan hal yang terpisah
dan tidak berhubungan. Namun banyak dari kita yang memahami dan menjadikannya
sebagai komponen yang berpisah.
Jika kita memandang islam hanya sebuah kepercayaan, maka hal yang
kita lakukan selanjutnya ialah berharap. Kepercayaan ini umumnya dibangun dari
hal-hal yang sifatnya dogmatis dan doktriner. Sejak kecil kita lahir dari orang
tua yang beragama islam, maka sewajarnya kita mengikuti agama yang dipercaya
oleh orang tua kita. Setelah kita meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah
maka kita kemudian akan banyak berharap dan tergantung pada-Nya. Hal itu
dilakukan dengan cara memperbanyak doa dan mendekatkan diri pada yang Ilahi. Hingga
sampai pada pemahaman bahwa ia benar-benar Yakin terhadap Islam. Sehingga tak
heran jika umat islam memahami islam itu sendiri hanya sebatas keyakinan,
karena Keyakinan semacam ini menurut Prof Ahmad Sanusi kemudian akan bermuara
pada gaya atau hanya sebatas identitas. Tak heran jika umat islam hari ini
kebanyakan membela islam hanya sebatas ingin diakui bahwa mereka seorang muslim
yang ta’at, bahkan paling benar.
Islam tidak berhenti pada Keyakinan. Tentu selanjutnya yang
dibutuhkan ialah Pengetahuan. Anugerah akal yang begitu mulai hendaknya
digunakan sebagaimana mestinya. Bukan berarti meninggalkan keyakinan hati dan
mengutamakan pemahaman akal sepanjang selama hidup. Tentu peran akal untuk
mengerti dan memahami sesuatu perlu dibina dan ditajamkan. Agar Islam tidak
hanya di Yakini, namun juga difahami. Beberapa banyak perintah Allah SWT di
dalam Al Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir salah satunya di
dalam surat ali Imron ayat 190.
Setelah seorang muslim Memahmi ajarannya, maka nilai selanjutnya
ialah akan timbul rasa senang. Orang yang
beribdah dengan rasa yakin dan memahami ajaran agamanya, maka ia akan merasa
senang dan bahagia menjalaninya. Misalnya kewajiban shalat yang didasakan atas Keyakinan
dan Pemahaman atas shalat itu lama kelamaan akan menjadi Karakter. Orang akan
meraskan tidak bahagia dan tidak senang alias akan gelisah manakala
meninggalkan kewajiban shalat. Namun jika shalat hanya dilakukan atas dasar
Keyakinan semata, maka rasa senang tidak mungkin timbul. Yang ada hanyalah rasa
terbebani, rasa keterpakasaan. Jelas banyak faham dalam islam yang
menjustifikasi keterpaksaan dalam beribadah, namun tentu Allah SWT tidak ingin
hamba-Nya merasa terpaksa. Oleh karena itu pemahaman perlu dibina untuk
melengkapi keyakinan agar menumbuhkan karakter yang kuat dalam menjalankan
ajaran Islam.
Sikap karkter tersebut kemudian akan tercermin dalam justifikasi
akal dan hatinya terhadap ajaran islam. Tentu umat islam bukan hanya beragama
islam, namun juga memiliki kepribadian sebagai seorang muslim. Apakah memiliki
kepribadian sebagai seorang muslim saja sudah cukup, maka ada satu nilai yang
terpenting dalam sistem nilai yang dibangun oleh Prof Ahmad Sanusi diatas yang
dibangun dari konsep Taksonomi Bloom ialah menjadikan islam sebagai jati diri.
Bagaiman mana menajdikan islam sebagai jati diri?.
Sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa islam tidak cukup hanya
dipandang sebagai sebuah keyakinan, maka ia perlu difahami yang kemudian akan
menimbulkan rasa senang sehingga menjadi kepribadian. Semua poin diatas memang
belum cukup dalam melihat islam. Jika kita hanya terhenti pada kepribadian,
maka sifatnya sangat antroposentris, yaitu mementingkan urusan pribadi.
Indikator atau nilai terakhir yang disebutkan oleh Prof Ahmad
Sanusi ialah nilai praktik atau praktis. Apa yang dimaksud dengan praktik ini?.
Dalam hal ini ajaran islam jika dilihat dari aspek praktis maka sama dengan
menjadikan islam sebagai hidayah, konsep hidup, atau way of life. Seperti
yang pernah disampaikan oleh Dr. Zainul Majdi, dalam kajian tafsirnya
menjelaskan bahwa fungsi utama al Qur’an ialah sebagai Hidayah (konsep dan
jalan hidup), dan Bukti Kebenaran. Sehingga islam tidak hanya cukup difahami
hanya pada ranah keyakinan, harapan dan cita-cita, namun ia perlu diperlihatkan
melalui kegiatan praktis pada kehidupan sehari-hari.
Ada pepatah suku sasak yang mengatakan “pelisak bawon batu,
lamun ku ndek gitak ndek kunyadu” yang artinya bahwa kalau masyakarat tidak
melihat contoh nyata dan praktis maka terhadap apa yag disampaikan maka maka
mereka tidak akan percaya. Sehingga sebenarnya percuma hanya memberikan kepada
umat tentang konsep islam seperti apa namun dia sendiri tidak menjalani konsep
itu. Seperti dalam firman Allah SWT di dalam surat Al Baqarah ayat 44 yang
artinya “mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir?. Sehingga
metode dakwah paling utama yang sering di contohkan Nabi Muhamamd SAW ialah dengan
teladan yang baik (bil uswah hasanah).
Sehingga melihat islam bukan hanya
sebatas satu komponen saja, melainkan harus dilihat dari satu rangka sistem
nilai yang utuh. Tentu untuk membangun pola hidup yang islami harus dilakukan
dengan dakwah. Namun memahami islam hanya dengan dakwah tentu belum cukup. Betapa
banyak orang yang mengaku dirinya islam, menebarkan ajaran islam, dan memahami
ajaran islam, namun terjerat kasus korupsi. Saya bukan orang yang berfaham
skuler, namun saya ingin sikap islami benar-benar menjadi jatidiri muslim
dimanapun ia berada, bahkan di dunia politik. Seperti yang sudah saya jelaskan
diatas bahwa islam bukan hanya sebatas kepercayaan, atau keyakinan, tapi Islam
adalah cara hidup (way of life), yang membutuhakan impelemntasi sehingga
umat akan merasakan implikasinya secara langsung. Wallahualam..
Oleh: M. Hasan Suryawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar