Apa sebenarnya tujuan belajar anda di Sekolah atau Kampus?. Jawaban
dari pertanyaan ini umumnya ialah untuk meraih kesuksesan, kesejahteraan dan
ilmu yang bermanfaat. Jawaban-jawaban diatas kiranya merupakan jawaban yang mulia
dan orang tua akan senang mendengarnya. Lalu, apakah orang pintar selalu
sukses, sejahtera dan bermanfaat?, tentunya jawabannya tidak semua.
Jika kita memperhatikan antara psikis, mental, pikiran dan tingkat
kecerdasan, manakah yang potensi yang menjamin kesuksesan, sejahtera dan dapat
membuat kita berguna di tengah-tengah masyarakat?. Ini merupakan realitas
masyarakat, ketika banyak orang pintar namun kehidupannya toh seperti
itu-itu terus, dalam arti kesuksesan dan kesejahteraannya. Banyak orang pintar,
namun tidak bermanfaat dan tidak memiliki nilai guna ditengah-tengah
masyarakat.
Di dalam ilmu psikologi, ada istilah-istilah IQ, EQ dan SQ. Dan
menurut hasil studi, pengaruh EQ (emotional quotient) ternyata memiliki
dampak paling besar terhadap kesuksesan hidup. EQ sangat berhubungan dengan
kondisi emosinal. Sedangkan kita tahu bahwa kehidupan ini penuh dengan cobaan,
ujian, kesedihan, kesengsaraan dan lain-lain. Sehingga butuh kondisi emosi yang
stabil, karena emosi ternyata mempengaruhi mental. Seperti kata Al-Quuys bahwa
mental adalah panduan secara menyeluruh
antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi
krisis-krisis psikologi yang dapat berpengaruh pada emosi dan emosi ini akan
mempengaruhi pada kondisi mental. Oleh karena itu, sebenarnya kebutuhan
penguatan mental sangat penting agar cita-cita hidup dapat tercapai dan
penguatan mental dimulai dari mengolah emosi.
Banyak analogi-analogi mengenai asumsi terbatas saya diatas.
Misalnya jika kita mengamati antara mahasiswa yang mengikuti organisasi dan
yang tidak mengikuti organisasi, maka kecerdasan sosial dan emosionalnya
berbeda. Di dalam dunia organisasi, kerap kali ada benturan-benturan, masalah-masalah
yang menuntut penyelesaian internal dari anggota organisasi sendiri. Sehingga
mahasiswa diajarkan bagaimana memecahkan permasalahan (problem solving)
di dalam organisasinya sendiri. Sedangkan dibangku kuliah tidak pernah
diajarkan hal semacam ini. Lagi sekali, saya tidak pro terhadap
mahasiswa yang mengikuti organisasi, hanya memberikan gambaran fakta
dilapangan.
Masalah mental sebenarnya memiliki indikator lemah atau kuat bukan
baik atau buruk. Kita tidak bisa mengatakan mental buruk, karena istilah buruk
cocok dengan istilah karakter atau sikap. Jika mentalitas disandingkan dengan
kecerdasan, yang mana kedua hal ini dapat menjamin kesuksesan hidup maka akan
timbul premis-premis seperti berikut; Ada, orang bodoh dan memiliki mental
yang lemah, orang bodoh namun memiliki mental yang kuat, orang pintar
memiliki mental yang lemah dan orang pintar memiliki mental yang kuat. Nah…pertanyaannya
dimanakah posisi kita?.
Banyaknya mahasiswa yang telat lulus, juga merupakan permsalahan
mental. Saya tau persis bagaiamana rasanya jika suatu tugas ditolak oleh
seorang dosen. Sedangkan kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menyelesaikannya. Ini kondisi yang mengecewakan dan berat. Bayangkan, setelah
perjalanan panjang mencari pencerahan tugas akhir misalnya, harus berakhir pada
penolakan dosen pembimbing alias tidak setuju hasil tugas akhir kita. Maka
mahasiswa yang bersangkutan akan kecewa, dan tak jarang kemudian menghilang dan
acuh tak acuh (tidak mau tau) terhadap kewajibannya. Sehingga ini
sebenarnya persoalan mental dan pendidikan seharusnya tertuju pada penguatan
mental, bukan hanya koognitif. Apa susahnya bersabar, kemudian melihat ulang
permsalahan yang ada, dikonsultasikan dan menyatukan pendapat dengan dosen
pembimbing, ini sesungguhnya hal yang sederhana dan mudah.
Oleh karena itu, permsalahan mental menjadi penting karna darisana
kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional akan bersinergi bersama-sama dalam
memecahkan setiap permsalahan kehidupan. Bukankah kehidupan penuh dengan ujian,
sehingga untuk menghadapi ujian harus dengan mental yang kuat bukan kecerdasan
yang hebat. Disatu sisi, kecerdasan penting dalam memberikan bekal koognisi
pada manusia, sehingga dengannya (pengetahuan kognitif) kita dapat menimbang
dan mendukung kondisi mental.
Oleh M. Hasan Suryawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar