Ujian
Akhir Nasional (UAN) yang selama ini menjadi sistem evaluasi nasional akan
dihapus pelaksanaannya. Keberadaan UAN selama hampir 10 tahun lamanya
sebenarnya hanya menimbulkan perasaan was-was, baik bagi guru, anak,
bahkan orang tua. Sekolah bukan lagi berfokus pada pengembangan pembelajaran
yang kreatif dan inovatif bagi peserta didik, namun lebih pada persiapan agar
dapat lulus UAN. Tak cukup disekolah, para orang tua pun sibuk memasukkan
anak-anak mereka di lembaga-lembaga kursus atau bimbingan belajar. Sehingga
muncul kesan terjadinya persaingan antara sekolah dengan lembaga kursus.
Sekelumit
permasalahan pelaksanaan UAN pun dari tahun ke tahun terus dibenahi. Adapaun
permasalahan yang paling utama ialah bocornya kunci jawaban. Menyikapi hal ini,
jumlah paket soal dari setiap tahun terus bertambah. Lantas itu tidak serta
merta menjadikan hasil UAN benar-benar murni dari peserta didik. Indikatornya
sudah jelas bahwa perguruan tinggi masih enggan memakai nilai kelulusan UAN sebagai prasyarat masuk ke perguruan
tinggi. Walhasil, peserta didik harus kembali berjibaku mengikuti tes, kursus
dan semacamnya agar dapat diterima di perguruan tinggi yang diinginkan.
Wacana
penghapusan UAN pun dari tahun ke tahaun terus menjadi bahan diskusi. Banyak
kalangan yang takut jika UAN dihapuskan maka tingkat daya saing Indonesia
secara global menurun. Secara eksistensi memang pelaksanaan UAN dapat
menimbulkan asumsi positif dari kalangan global tentang sistem peningkatan SDM
di Indonesia, namun secara esensi kemampuan peserta didik di Indonesia masih
sangat kurang dibandingkan dengan Negara lain. Misalnya dalam hal budaya
literasi, anak-anak di Indonesia tidak pernah membaca buku lain diluar buku
mata pelajaran.
Dalam
beberapa survey menjelaskan bahwa tingkat membaca anak-anak Indonesia 0,03
lembar per pekan. Sedangkan Negara lain seperti Finlandia, sebagai role model
sistem pendidikan terbaik di dunia, memiliki peserta didik dengan tingkat
membaca 300 lembar per pekan. Hal ini menggambarkan bahwa budaya literasi
sebagai salah satu syarat mutlak untuk memajukan kuatitas pendidikan masih
sangat kurang. Asumsi yang keliru tentu pada UAN yang dianggap mampu meningkatkan
kualitas pendidikan bahkan SDM di Indonesia, nyatanya tidak demikian. UAN hanya
sebuah proses penilaian hasil belajar (assessment of learning) peserta
didik, namun mengapa semua orang mengabiskan banyak energi disana?. Dampak dari
prioritas UAN yang berlebihan tentu akan terlihat dari minimnya perhatian guru
bahkan kurikulum sekolah yang terkesan mendiskriminasi proses penguatan bakat
dan potensi peserta didik. Padahal itulah tujuan utama orang tua menyekolahkan
anaknya.
Hari
ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, prof. Muhadjir Effendy, rupanya membat
gebrakan untuk mengembangkan sistem evaluasi yaitu UAN menjadi bentuk lain. Istilah
‘penghapusan UAN’ disini dapat diganti menjadi istilah ‘pengembangan UAN’. Karena
proses pendidikan adalah sebuah proses dinamis. Oleh karena itu, apapun
kebijakan tentang pendidikan pastinya merupakan pengembangan dari model
kebijakan sebelumnya. Tak terkecuali pengalihan bentuk dari UAN dengan segala
ketentuannya menjadi bentuk baru yang lebih progress dan membangun SDM di
Indonesia.
Dalam
beberapa opini di media masa, tentu banyak yang telah membahas tentang ‘penghapusan
UAN’ ini. Namun tentunya, langkah-langkah dan regulasi mengenai sistem evaluasi
baru masih menjadi pembahasan lanjut oleh kementrian pendidikan. Namun setikdanya,
secara terbatas penulis mengapresiasi menghapus UAN dengan mengembangkan model sistem
evaluasi pendidikan yang tentunya lebih baik dari yang sebelumnya. Apalagi jika
dihadapkan dengan kurikulum k13 yang sangat mengutamakan aspek afektif peserta
didik. Tentunya model-model evaluasi yang sumatif dan hanya melihat
perkembangan kognitif peserta didik seperti UAN ini tidak layak lagi untuk
dijadikan patokan atas keberhasilan peserta didik secara keseluruhan.
Oleh
Muhammad Hasan Suryawan
(pecinta
pendidikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar