Budaya
oral sebenarnya satu istilah kasar dari sebuah kegiatan kajian. Di dalam sebuah
kajian, biasanya para peserta akan dihadapkan dengan satu tema pembahasan yang
membutuhkan pendapat-pendapat dari berbagai pihak dengan pemikirannya
masing-masing. Dari hasil pemikiran-pemikiran yang beragam tersebut kemudian
dapat melahirkan banyak pemahaman tentang satu tema atau permasalahan. Saya dan
beberapa anggota dari organisasi LKP2M biasanya melakukan kajian rutin setiap
malam rabu, dan membahas satu tema yang sedang booming. Ini tentu
sekaligus sebagai pembelajaran tentang bagaimana berfikir kritis, kemudian mengutarakannya
dan kemudian menghargai pendapat orang lain.
Budaya
kajian atau oral yang baik mestinya harus didasarkan ada pemahaman normatif
seseorang dengan tema yang sedang dibahas. Atau dalam arti sederhananya ialah
pemahaman secara teoritis mengenai permasalahan itu. Orang harus faham terlebih
dahulu teorinya seperti apa, agar budaya kajian bukanlah forum seperti dagang
obat. Saya kira kita semua sepakat bahwa semua orang dapat berbicara sesuka
hatinya, selama yang ia mau, semaunya, tapi tidak semua orang dapat berbicara
dengan makna yang luas dan mendalam, lebih-lebih bermuatan filosofis.
Hari
ini budaya oral itu kian mengikis pada jalur yang semestinya. Orang-orang suka
berbicara tapi muatan yang dibawa nol. Terlebih lagi jika yang dibahas masalah
penting, seperti pembahasan mengenai agama, politik, pendidikan, pemerintahan
dan sebagainnya. Saya terkejut ketika mereview salah satu tulisan yang
memaparkan bahwa tingkat baca penduduk Indonesia menurut UNESCO ialah
bertengger pada angkat 0,001. Artinya orang Indonesia tidak membaca buku selain
buku mata pelajaran. Terlebih lagi dengan pemaparan di beberapa forum yang
mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini paling cerewet di media sosial tapi
tidak pernah membaca. Miris, ya memang demikian adanya.
Diskusi
di media sosial juga saya katakana sebagai budaya oral. Dimana orang-orang berekspresi
melalui tulisannya (bukan budaya literasi). Ini berbeda dengan budaya literasi
yang lebih tinggi dari budaya oral. Budaya literasi sudah mencakup bagaiamana
orang-orang faham terhadap suatu teks, kemudian memberikan komentar dan dapat
membuat sebuah tulisan yang baik. Mungkin kita jangan kesana dulu, karena
budaya oral kita sendiri memang masih bermasalah.
Kita
tentu mengingat pribahasa yang mengatakan bahwa padi semakin bersisi semakin
merunduk. Hal itu kontras dengan apa yang terjadi saat ini. Dimana orang-orang
yang terlihat pendiam dikesehariannya dapat begitu leluasa mengutarakan
pendapatnya di media sosial, bahkan dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas. Orang
semakin angkuh dengan membenarkan pendapatnya sendiri, dengan me-Maha-kan diri
sendiri. Ini budaya yang tidak baik. Dimana asas budaya oral harus menghargai
pendapat orang lain, sama seperti ketika pendapat sendiri ingin dihargai orang
lain. Tidak ada orang yang berilmu dan kemudian angkuh terhadap diri sendiri
dan di hadapan orang lain. Lagi sekali, padi semakin berisi semakin merunduk.
Berita
hoax, fitnah dan penebar kebencian terus saja mewarnai kehidupan dunia maya
saat ini. Dan anehnya, yang menyebarkan
itu semua tidak terlihat, tidak seperti sebuah buku, yang mencantumkan biodata
penulis dan informasi CP. Sedangkan saat ini berita buruk hanya ditebar tanpa
ada orang yang bertanggung jawab atas berita itu. Ini jelas dilakukan
orang-orang yang terlalu pengecut. Padahal nenek moyang bangsa Indonesia
bukanlah seorangn pengecut, tapi kenapa generasinya saat ini seperti itu. Hal
itu kemudian ramai dibagi-bagikan, dengan memunculkan berita itu di branda
masing-masing. Mereka yang membagikan tentu tak akan bertanggung jawab atas
konten yang ada, karena mereka hanya membagikan satu berita. Hal itu diperparah
karena tulisan itu tidak mencantumkan penulis atau penanggung jawab. Sama
seperti membagikan makanan subhat, kita tidak tau ini halal atau haram, tapi
kita bangga membagikannya kepada orang-orang. Kita mungkin lupa dengan salah
satu hadits Nabi Muhamamd SAW yang memberikan nasehat bahwa berkatalah yang
baik (bijak), jika tidak bisa demikian, diamlah karena diam itu emas.
Budaya
oral di media sosial memang sulit di kontrol. Karena semua kalangan dapat
mengakses internet hari ini. Semua orang bisa bercuap-cuap tanpa dasar apapun,
menghina tanpa rasa takut karena dunia maya seperti memiliki tabir yang
menghalangi kita untuk bertemu secara fisik dengan orang lain. Bahkan yang
tidak memiliki pendidikan yang tinggi ikut-ikutan menebarkan kebencian di
dalamnya. Anehnya, hal itu di-amini saja oleh orang-orang berpendidikan.
Salah
satu cara yang bisa dilakukan ialah memberikan pendewasaan tentang pendidikan
wacana kepada masyarakat. Hal itu bertujuan agar masyarakat tidak serta merta
memakan suatu berita dengan mentah-mentah. Budaya oral yang baik harus
dibiasakan, bagaiaman orang berpendapat harus dengan dasar teoritis dan dasar
filosofis. Tak hanya itu, sikap saling menghargai haruslah dipupuk. Pendapat
sendiri bukanlah hal final, namun masih ada pendapat orang lain yang juga harus
dipertimbangkan dan difahami. Selain itu, kita harus berani bertanggung jawab
terhahadap apa yang kita utarakan. Jangan lempar batu sembunyi tangan, ini
bukanlah sosok orang yang bertanggung jawab. Dan yang lebih penting ialah
hendaknya disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang baik.
Wallahualam
Oleh Muhammad
Hasan Suryawan
(Pecinta
wacana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar