Translate

IDEOLOGI VERSUS REALITA



Mendengar kata mahasiswa, pada umumnya sangat identik dikaitkan dengan ideologi-ideologi atau pemikiran-pemikiran yang mereka anut. Terkadang idealitas mereka keluar begitu saja yang didasari atas beberapa pemahaman yang mereka dapatkan dilingkungan akademik perkuliahan, lingkungan organisasi ataupun lingkungan lainnya, seperti lingkungan bergaul dan teman sejawat. Idealitas mereka juga sangat dipengaruhi oleh buku-buku yang mereka baca. Tentu pembahasan mengenai ideologi kali ini saya fokuskan pada mahasiswa pada umumnya. Karena seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa, ada tiga jenis mahasiswa yang kita kenal, pertama jenis mahasiswa akademik, kedua mahasiswa organisatoris dan ketiga jenis mahasiswa gabungan antara keduanya. Namun, ada juga jenis mahasiswa yang lainnya seperti mahasiswa hedonis. Tapi terlepas dari semua itu, seorang mahasiswa minimal memiliki ideologinya masing-masing, yang mana hal itu akan mendasari semua hal yang mereka lakukan.

Keberlangsungan dari ideologi-ideologi yang mahasiswa anut hari ini ternyata tidaklah bertahan lama. Ketika mereka tumbuh menjadi seseorang yang bukan seorang mahasiswa lagi. Dimana tanggung jawab telah bertambah sekian lipat dari biasanya. Selain tanggung jawab dalam pekerjaan, mereka juga akan dihadapkan dengan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga atau ibu rumah tangga yang harus mencukupi segala kebutuhan keluarga. Ideologi tinggalah ideologi. Ia terkubur bersama kenangan masa indah mereka saat masih menjadi mahasiswa dulu.

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan salah sorang guru saya waktu di madrasah tsanawiyah dulu. Sebuah pengakuan miris yangn lagi-lagi memberikan gambaran betapa susahnya mempertahankan ideologi saat ia menjadi seorang mahasiswa. Mungkin pembahasan mengenai ideologi ini terlalu umum, sehingga saya akan membahasanya dengan praktis. Guru saya ini bercerita tentang masa-masa saat ia menjadi seorang mahasiswa dulu. Ambil saja satu contoh mengenai ideologi tentang harus seperti apa kelak kita mendidik anak kita. Seorang anak harus diberikan kebebasan untuk memilih pendidikan sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Ketika ia berbakat dalam bidang ekonomi, maka orang tua harus mendukung sepenuhnya. Ketika anak berbakat dalam bidang sains, olahraga, bermusik dan lain sebagainya, maka orang tua kudu harus mendukung semuanya juga. Inilah ideologinya pada saat itu. Kini ketika ia sudah mendapatkan seorang anak, ideologi-ideoligi terdahulu yang selalu menjadi keyakinan dan dasar kehidupannya berangsur-angsur memudar. Tidak lain karena relita kekinian sangat menyulitkannya untuk tetap bertahan dalam ideolgi yang ia yakini.

Anggap saja hari ini kita memiliki pemahaman ideologi semacam itu. Namun coba dibayangkan betapa sulitnya kita terus bertahan jika digeserkan dengan relita kehidupan dan lingkungan. Bisa jadi anak kita misalnya memiliki bakat dalam bermusik. Lantas apakah kita akan tetap memfasilitasi anak-anak kita untuk bermusik sedangkan proyeksi kerja dan masa depan anak sangat dipertaruhkan karena kita hidup di desa. Bagaimana musik dapat menghidupi kehidupannya kelak?. Belum lagi ketika orang tua tersebuat misalnya seorang tokoh agama. Apakah kita tetap memberikan anak untuk memilih bakatnya sendiri untuk bermusik ataukah menyuruhnya menjadi apa yang kita inginkan, seperti menjadi seorang guru dan sebagainya.

Contoh lain, ketika anak anak kita kelak berbakat dalam bidang olahraga. Apakah kita akan tetap mendukungn anak kita untuk terus menggeluti bakat yang ia punya. Tentu pemikiran orangn tua akan berbeda lagi. Orang tua telah memikirkan masa depan anak yang lebih jelas. Mungkin kuliah akan membuat masa depannya lebih terjamin dibandingkan ia harus mendukung anakanya dibidang olahraga. Karena lagi-lagi kondisi lingkungan sendiri yang membuat semua ideologi orang tua untuk memberikan kebebasan anak memilih bakatanya sendiri menjadi hilang. Di Indonesia, peluang kerja dan jaminan kesejahteraan di masa depan dari orang yang berbakat misalnya dibidang olahraga sangat kecil. Untuk itulah, ideologi hanya sebuah ideologi. Tentu menyuruh anak untuk kuliah pada jurusan tertantu akan lebih menjamin masa depannya dibandingkan jika anak mereka terus menggeluti olahraga.

Namun tidak salah jika hari ini kita memiliki ideologi masing-masing. Karena memiliki ideologi bagi seorang mahasiswa tentu sebuah keniscayaan jika tidak mau dikatakan sebagai mahasiswa palsu. Tapi ada baiknya jika ideologi-ideologi yang kita yakini harus didasarkan pada pondasi yang kuat. Misalnya setelah analisis kondisi dimasa depan, analisis keadaan, dan analisis memilih dan sebagainya. Agar ideologi kita hari ini bukan ideologi yang dalam bahasa orang-orang tua disebut sebagai ideologi “hangat-hangat tai ayam”. Semangat-semangat diawal, setelah itu menjadi dingin kembali.

Wallahua’lam Bissawab..


By: Muh. Hasan Suryawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...