Translate

ARABISASI “PHOBIA”


Diskursus (wacana) tentang menguatkan kembali kebudayaan lokal (local genius) Indonesia akhir-akhir ini menjadi tranding topic di berbagai kalangan. Pembahasan ini hangat lantaran beberapa sikap anak bangsa yang notebenenya lebih mencintai budaya luar dibandingkan budaya Indonesia itu sendiri. Misalnya k-pop, westernisasi bahkan sampai arabisasi. Budaya arab atau arabisasi masuk ke dalam budaya Indonesia tentu melalui ajaran agama islam. Sulitnya memilih dan memiliah mana ajaran islam dan mana budaya arab menjadikan masyarakat tidak mau ambil pusing, dan dengan sederhana menerima semuanya (baik ajaran islam maupun budaya arabnya). Seperti kata gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab, bukan untuk “aku” jadi “ana”, “Sampeyan” jadi “antum”, “sedulur” (saudara) jadi “akhi”. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya tapi bukan budaya arabnya.”

Para cendikiawan muslim banyak membahas tentang hal ini, termasuk para budayawan. Misalnya munculnya wacana “islam nusantara” dari kalangan NU membuktikan bahwa masyarakat ingin mengembalikan ruh kebudayaan masyarakat Indonesia (nusantara) itu sendiri. Budaya arab sudah dirasa tidak cocok diterapkan di Indonesia (memang demikan), karena latar belakang dan sosio-kultur masyarakat Indonesia berbeda dengan budaya lain, termasuk budaya arab.
Masalah lain muncul ketika dihadapkan dengan masalah berjilbab dan berhijab bagi wanita. Banyak masyarakat kita yang mengikuti budaya arab dalam berpakaian, bahkan lebih-lebih memakai cadar. Saya tidak menyalahkan itu, karena tidak ada salahnya wanita memakai pakaian semacam ini, namun jangan karena mereka memakai jubah besar dan cadar lantas membuat argumen bahwa INILAH YANG ISLAMI. Berarti yang tidak memakai pakaian seperti itu tidak islami?. Sehingga muncullah serangan argumen bagi penganut pakaian besar dan bercadar ini.  Saya ingin katakan, ini adalah budaya arab. Di Arab, jangankan melihat lekukan tubuh wanita, melihat jempol wanita saja mereka udah berniat buruk. Sehingga dari segi fisik dan emosional, orang arab dan orang pribumi sangat jauh berbeda. Inilah yang menyebabkan timbulnya wacana tentang bagaimana pakaian ideal seorang muslimah di Nusantara?. Sehingga muncul istilah Hijab Syar’ie, ya.. ada-ada saja.
Saya akan membahas sedikit tentang istilah “hijab syar’ie”. Ketika mendengar istilah ini, saya langsung terniang-niang, kalau memang begitu ada hijab yang tidak syar’ie dong?. Dalam banyak pembahasan, ayat-ayat yang menjelaskan tentang hijab memang sifatnya mutasyabihat (multitafsir). Banyak cendikiawan muslim yang melihat hal ini pada sisi substantif-nya, bukan bagaimana kamu harus berjilbab atau menutup aurat. Meminjam istilah Edi AH Iyubenu, Al Qur’an bukan kitab Desain Kelambi (pakaian). Lanjut bang Edi menjelaskan bahwa Maqosid al Syar’ie dari menutup aurat ialah menjaga diri dari agar tidak diganggu. Sehingga pakaian yang baik ialah tidak tipis, dan tentunya menutupi aurat. Oleh karena itu, hijab syar’i sesungguhnya bukan satu-satunya rambu-rambu kebenaran yang harus di patuhi yang mengatasnamakan dirinya sebagai ajaran islam. Bahkan terdengar angin bahwa istilah hijab syar’ie hanya buatan saja, untuk memantik order pasar fassion.
Selain masalah pakaian, fondasi ajaran Islam kontemporer juga menjadi tandingan dari islam abad pertengahan. Islam abad pertengahan ialah satu ajaran islam yang sangat mengagumi karya-karya tulis (kitab kuning) dari ulama pada zaman pertengahan. Kepercayaan ini tidak lain dikarenakan karena mitos-mitos yang buat, misalnya suatu kitab ditulis oleh seorang ulama di malam nan gelap gulita daengan diterangi cahaya yang memancar dari mata sang ulama. Mitos-mitos ini ternyata sampai sekarang berhasil membuat kajian-kajian kitab ini terus diminati, bahkan menimbulkan kefanatikan pembacanya. Selain mitos-mitos diatas, banyak juga alasan lain. Untuk itu, setidaknya kita harus merenungi kembali bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang dan terus berkembang. Apakah masih relevan ajaran ulama arab pertengahan dengan masa sekarang?. Tidak semua relevan dan tidak semua juga tidak relevan. Artinya ada yang masih relevan dan ada juga yang tidak relevan dan diganti dengan formula yang lain. Saya ingin mengutip kata-kata indah bang Edi dalam bukunya “Berhala-Berhala Wacana” bahwa “dalil itu dari Allah dan Rasul-Nya, tafsir itu dari umat islam. Keduanya memiliki autentisitasi yang berbeda. Dalil harus di imani, tafsir tidak wajib. Dalil itu absolut, tafsir itu relatif”. Oleh karena itu, semangat kajian islam kontemporer yang kekinian harus juga di dengungkan, tanpa melupakan karya-karya ulama masa lalu.
Beberapa kajian diatas memang telah menyudutkan kehadiran budaya arab jika ingin diterapkan di Nusantara. Jangan hanya membahas seperti kaca mata kuda, tentu budaya lain seperti k-pop dan westernisasi juga harus disindir. Apakah relevan, budaya telanjang di barat dibawa ke Nusantara?. Apakah budaya disco, kapitalisme, dan pergaulan bebas cocok diterapkan di Nusantara?.

Semoga bermanfaat, Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...