Translate

MELARANG ATAU MENGEDUKASI SISWA TENTANG PENGGUNAAN GADGET?



Kemajuan teknologi informasi yang begitu mengesankan membuat tantantangan baru dalam kehidupan. Ya, kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat layak disebut sebagai sebuah paradoks, dimana ia menawarkan kemudahan hidup dan memberikan begitu banyak kemudahan serta solusi bagi permasalahan kehidupan manusia, namun disisi yang berbeda ia membawa sekian banyak permasalahan. Salah satu permasalahan akibat pesatnya teknologi informasi ialah penyebarnya konten-konten fornografi dan forno aksi yang dapat dilihat dengan mudah melalui gambar-gambar, video dan konten lainnya. Selain itu, kemajuan teknologi informasi memberikan biaya komunkasi yang mudah dan murah bagi manusia. Beragam aplikasi media sosial seperti BBM, Instagram, facebook, Twitter dan lainnya dapat membuat konektivitas antar individu semakin mudah dimanapun ia berada.

Permasalahan kemudian muncul bagi pemuda-pemudi khususnya para pelajar. Di zaman ini, tidak sulit untuk mendapatkan perangkat handphone atau smartphone dengan kualitas baik dan dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu kemudhan ini membuat hampir seluruh anak muda saat ini memiliki perangkat minimal dengan OS Andriod pada smartphonenya. Sehingga mereka bisa mengakses begitu banyak fitur dan aplikasi, membuka browser dan tentunya menjalankan aplikasi media sosial mereka. Ini akan menyebabkan anak-anak lupa terhadap waktu, dengan kata lain sebagaian waktu mereka akan terkuras hanya untuk sibuk di depan gadget, terlebih lagi pada saat jam belajar sedang berlangsung di kelas.
Melihat masalah pelik diatas kebijakan-kebijakan kemudian bermunculan lantaran ingin membatasi siswa-siswi agar tidak membawa gadget mereka ke sekolah, salah satunya ialah yang dikeluarkannya perda oleh gubernur NTB tentang larangan siswa membawa smartphone ke sekolah. Salah satu alasan yang dikutip oleh penulis di sebuah situs berita online ialah agar siswa tidak bisa lagi sibuk dengan media sosialnya pada saat jam pelajaran berlangsung. Aturan ini akan berlaku mulai 1 juli 2017 dan tahap sosialisasi akan dimulai pada tanggal 1 april 2017 yang lalu.
Munculnya kebijakan ini tidak begitu serta disambut baik oleh semua pihak. Perlu adanya kajian kritis mengenai permasalahan penyalahgunaan dan uncontrol penggunaan gadget oleh siswa di sekolah. Bisakah kebijakan ini membendung aktivitas buruk siswa dengan smartphone nya?. Tentu ini bukan persalahan yang besar bagi siswa, misalnya larangan ini hanya bertujuan untuk melarang siswa membawa handphone atau smartphone nya, dan bukan perangkat lain seperti leptop dan notebook. Tentu dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, siswa dengan mudah akan merubah leptop dan notebook mereka menjadi sebuah perangkat layaknya smartphone, misalnya dengan menggunakan aplikasi blustack, aplikasi-aplikasi yang awalnya tidak bisa dijalankan di leptop sekarang dapat dijalankan oleh leptop. Lebih jauh lagi bahwa perusahan-perusahan media sosial seperti Whatsapp, Line, Instagram dan lainnya itu telah meluncurkan aplikasi mereka dengan versi web. Sehingga ketika siswa tidak bisa menggunakan smartphonenya untuk berselancar di media sosial maka mereka masih bisa menggunakan leptop. Pertnayaannya, apakah membawa leptop juga akan dilarang?. Ini kemungkinan-kemungkinan yang penulis perediksi jika memang perangkat seperti smartphone dilarang mamsuk sekolah.
Permasalahan siswa membawa gadget mereka ke sekolah sebenarnya masalah klasik. Perlu ada kajian mendalam terkait permsalahan ini, bukan hanya saja melihat teknologi dari satu kaca mata sempit. Misalnya ketika siswa tidak bisa membawa smartphonenya ke sekolah maka ketika mereka pulang dan berada di rumah maka mereka akan ‘balas dendam’ dan semakin menjadi-jadi menggunakan perangkat mereka. Siapa yang akan mengkontrol siswa ketika saat berada di rumah, apakah orang tua?. Tentu pengawasan dari orang tua sedikit diragukan karena kebanyakan orang tua tidak memahmi apa itu teknologi informasi.
Penulis sesungguhnya ingin agar solusi para pengemban kebijakan bukan hanya sekedar tambal sulam, walupun memang sifat sebuah kebijakan seringkali demikian. Lebih parah lagi jika kebijakan tersebut tidak bisa menambal permaslahan yang ada. Oleh karena itu, pendidikan tentang pentingnya mengolah waktu sepertinya akan cocok untuk hal ini. Siswa dalam hal ini diajak untuk menggunakan teknologi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Ketika jam pelajaran berlangsung siswa dapat menyepakati sebuah kesepakatan yang tidak mengizinkan mereka mengakses sesuatu selain yang berhubungan dengan kepentingan belajar. Sehingga tercipta suatu kondisi dan suasana kelas yang menjujung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang baik. Pun jika ada pelanggaran harus ditindak dengan tegas tanpa kompromi. Inilah bentuk sosialisasi dan pendidikan sekaligus mendidik bagi siswa tentang bagaiamana menggunakan media sosial dan kemajuan teknologi dengan bermanfaat, efektif dan memudahkan segala urusaan.
Adapun caranya ialah dapat menekankan pada pembelajaran yang aktif dan kreatif. Siswa mungkin sudah bosan dengan pembelajaran klasikal sehingga mereka seringkali mengantuk dan sibuk dengan gadget mereka. Kebijakan ketat terkait hal ini harus ada. Tunjangan yang besar dan gaji yang tinggi bagi guru seharusnya menutut kinerja yang tinggi pula. Ketika semua civitas sekolah telah menyepakati budaya yang baik, misalnya menggunakan perangkat dengan baik dan hukuman yang keras dan tegas bagi mereka yang melanggar tentu ini akan merubah kebiasaan buruk siswa dalam menggunakan perangkat pada saat jam pembelajaran.
Melarang siswa membawa gadget dengan alasan kesalahan penggunaannya ketika jam pelajaran sedang berlangsung tentu hal yng harus kembali dikaji. Hal itu sama saja memusuhi dan menjadikan kemajuan teknologi ini sebagai sebuah musuh yang harus dihindari. Kenapa tidak menggunakan kemajuan teknologi yang dapat memudahkan siswa mengakses segala informasi terkait pembelajarannya. Mereka difasilitasi, kemudian membuat regulasi dan ketentuan yang ketat. Pemberdayaan inilah yang dibutuhkan dikehidupan saat ini, yaitu membuat siswa memanfaatkan perangkatnya demai kebaikan dan meminimalisir hal-hal negatif. Seperti Zaiuddin  Sardar yang menjustifikasi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat hidup dalam satu lingkungan taqwa. Dengan kata lain, sekolah dapat mengedukasi siswa agar bisa mengelola prangkat mereka dengan positif dan bermanfaat. Dengan demikian, ketika siswa mengetahui bahaya jika mereka menyalahgunakan perangkat dan manfaat jika mereka menggunakannya dengan baik maka semangat untuk mengguanakan teknologi akan dapat memajukan taraf kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Walllahualam bissawab

Oleh: Muhammad Hasan Suryawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...