Translate

MELAWAN PENYEMBAHAN REALITAS SIMBOL KAPITALIS

Oleh: Muh. Hasan Suryawan

Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan mengenai dominasi simbolisasi dalam mempengaruhi tingkah laku manusia, terutama dalam tingkah laku sebagai konsumen. Agar lebih jelas dan mudah difahami, maka saya akan memberikan ilustrasi dari fakta sosial saat ini.

Digitalisasi dalam segala aspek kehidupan menjadi hal yang lumrah atau biasa. Misalnya lapak-lapak penjualan pakaian online yang mulai menyasar konsumen melalui media-media sosial, seperti instagram, facebook dan lainnya. Dengan kemudahan itu, diamanapun seseorang berada ia dengan mudah dapat mengakses katalog-katalog daftar pakaian yang ada. Ketika seseorang memutuskan untuk membeli, maka dominan ialah mereka akan memilih barang yang ia suka (mungkin yang sedang hits) dan bukan membeli barang yang ia butuhkan.

Ada dua persfektif dalam melihat tingkah ini, yakni eksistensi dan essensi. Eksistensi mementingkan pengakuan dari sesuatu di luar dirinya atau orang lain, maka pola konsumsinya cenderung memilih sesuatu yang dianggap sedang trend atau barang yang dapat menaikan status sosialnya. Terlepas apakah barang itu bermanfaat atau tidak, yang terpenting adalah barang itu dapat membrikan pengakuan orang lain terhadap eksistensi terhadap dirinya.

Berbeda dengan eksistensi, essensi merupakan pola yang mana seseorang lebih mementingkan tercapainya manfaat atau kebutuhan dari sesuatu. Ia tidak lagi bersandar pada pengakuan seseorang, atau tidak memperdulikan status sosial. Sehingga ia tidak terjebak di dalam paradigma yang dibuat oleh masyarakat tentang suatu hal.

Adapun pola-pola diatas lahir dari perjalanan panjang manusia. Dimulai dari munculnya kehidupan modern di abad ke XVI-XVII Masehi, yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kemajuan saat ini. Realitas menurut teori modern ialah sesuatu yang materi (dapat dilihat dan di indera). Perjalanan pola konsumsi tersebut dimulai dari penyediaan barang yang dibutuhkan konsumen oleh produsen “konsumen sentris” (Karl Marx) sampai pada hari ini berkembang begitu jauh, yaitu ketika produsen dapat mengatur kebutuhan para konsumen.

Rupanya pola yang terakhir saat ini lebih mudah dikondisikan oleh para produsen karena ia tak lagi sulit menentukan mana yang dibutuhkan oleh konsumen. Disamping itu, penyembahan terhadap simbol-simbol eksistensi yang telah dilegitimasi oleh masyarakat misalnya trend, model dan merk pakaian tahun ini seperti apa. Lebih jauh lagi ia juga mengatur simbol lain seperti gadget, dimana seseorang yang memiliki gadget terbaru akan menaikkan status sosial atau eksistensinya ditengah-tengah masyarakat. Mungkin kita jug akan bertanya, mengapa saat menjelang lebaran atau hari besar lainnya, diskon pembelian barang elektronik, kendaraan dan lainnya mengalami diskon. Lantas apa hubungannya barang-barang yang terdiskon tersebut dengan hari besar tersebut?.

Bahkan dalam dunia pendidikan saat ini, orang tua cenderung mnyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang sudah terbukti memiliki pengakuan dari mamsyarakat. Saat ditanya orang anak mereka sekolah dimana maka dengan yaqin ia akan menajwab di “sekolah A” (yang mahal), yang secara tidak langsung juga menaikkan drajat dan eksisnsi keluarganya. Padahal tidak sedikit lembaga pendidikan yang menjaga kualitas didikannya, namun karena ia belum mendapatkan “brand” ditengah-tengah masyarakat maka ia sulit akan menjadi sekolah yang benafit dalam segala hal.

Oleh karena itu, saat ini orientasi hidup bergeser dari kebutuhan hidup menjadi gaya hidup. Apapun harus dilakukan demi gaya, dan mendapatkan eksistensi. Padahal pada abad awal aufklarung, kita mungkin akan memahmi “cogito ergo sum” bahwa eksistensimu tergantung buah pemikiranmu. Atau di dalam agama islam, bahwa yang menjadi pembeda antar satu dengan lain ialah ketakwaannya. Sangat jelas, bukan hal-hal yang berbau simbolisasi semata. Artinya islam melihat seseorang bukan pakian dan bentuk rupa fisik, namun jauh dalam yang dilihat islam adalah sisi-sisi spiritual atau essensinya.

Dari sini kita akan melihat sesungguhnya dimana letak kekuragan peradaban modern saat ini. Karena pembahasan dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan hal-hal materi, (empirisme, rasionalisme) maka hal itu akan rentan terhadap manipulasi simbol-simbol (tingkah laku konsumen dikuasai produsen), yang dalam hal ini sudah sangat berbahaya bagi semua orang. Simbol-simbol tersebut menggerakkan manusia untuk bergerak dan terus menyembah produk-produk dari produsen (atau kalangan borjuis). Sehingga kajian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas rupanya kembali akan menjadi diskurus hangat di dalam kehidupan saat ini.

Sehingga masyarakat harus memulai mengganti pola pikir yang dekat dengan essensi. Bahwa apa yang ia lakukan tergantung kebutuhan, dan bukan keinginan. Ini sekaligus sebagai sebuah tantangan sebagai wujud seseorang melawan derasnya arus monopoli pola konsumtif yang dilakukan oleh kaum-kaum borjuis. Sehingga sisi-sisi spiritualitas akan memberikan pengaruh besar untuk mengembalikan manusia pada dirinya sendiri dan apa yang ia butuhkan. Bukan lagi terapsung dalam eksistensi semu yang buat oleh logika kerumunan (masyarakat) yang cenderung tidak reflektif. Artinya semua ditentukan oleh pandangan umum masyarakat, bukan sesuatu yang benar-benar hasil refleksi dan penalaran pikiran individu. Ini akan menghindari kekeliruan kita dalam membaca simbol-simbol kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...