Translate

MEMBUMIKAN PENDIDIKAN BERBASIS KEBUDAYAAN (NUSANTARA) DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL



Abstract
Powerful Nation is a nation that has identity and then internalized to all kind of society activities for collective progress. A lot of phenomenon happen as a consequence of globalization at this moment that has influence almost all live edge include threaten the existence of nation culture. Culture acculturation process that very fast and strict caused losing Indonesian nation culture that actually should have been maintained by us as an ideology all at once as the nation identity. And then it is effected in personality, habit, and productivity phase Indonesian people that disposed in negative thing and left out so far if compared with the other countries. So, it will be important to build back education based on culture, start from formal institution like school until non formal institution that is environment of society, it is an urgent step to strengthen back national culture in live modernization.
Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki identitas kemudian terinternalisasi ke semua bentuk aktifitas masyarakatnya demi kemajuan bersama. Banyaknya fenomena yang terjadi akibat globalalisasi dewasa ini telah mempengaruhi di hampir seluruh lini kehidupan termasuk juga mengancam eksistensi kebudayaan bangsa. Proses akulturasi budaya yang sangat cepat dan ketat menyebabkan hilangnya kebudayaan bangsa Indonesia  yang semestinya kita pertahankan sebagai ideologi sekaligus jati diri bangsa. Hal itu kemudian berdampak pada keperibadian, kebiasaan dan tingkat produktifitas masyarakat Indonesia yang cenderung negatif serta jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Untuk itulah, membangun kembali pendidikan berbasis kebudayaan mulai dari lembaga formal seperti sekolah sampai pada ranah non formal yaitu lingkungan sosial masyarakat merupakan langkah urgen untuk memperkuat kembali kebudayaan nasional di tengah modernitas kehidupan.

Kata Kunci: Pendidikan, Kebudayaan Nusantara, Kearifan Lokal, Tantangan Global

Oleh:
Muhammad Hasan Suryawan
Kabiro Kajian LKP2M Periode 2014
Mahasiswa jurusan PAI UIN Maliki Malang
hasansuryawan@gmail.com


Pendahuluan
Proses dinamika pendidikan di Indonesia telah berjalan lebih dari setengah adab lamanya. Namun hasil yang diperoleh ternyata berbanding terbalik dari periodesasi yang telah dilewati. Munculnya globalisasi merupakan salah satu produk yang dilahirkan oleh dinamika kehidupan. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat memberikan peluang untuk berkembang sekaligus menjadi ancaman. Adanya fenomena global yang kini hadir tak hanya menghadirkan persaingan dalam aspek perekonomian, melainkan juga berpengaruh pada proses transformasi kebudayaan. Jika tidak disiapkan secara matang maka kebudayaan nusantara lambat laun akan punah. Eksistensi kebudayaan sangat penting untuk kita jaga sebagai salah satu jati diri bangsa.
Ditengah isu-isu negatif akibat Dehumanisasi yang melanda bangsa Indonesia, pendidikan diharapkan menjadi jalan memerdekakan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ‘ningrat’ dan bermartabat.[1] Demoralisasi juga terjadi lantaran adanya akulturasi budaya dari luar Nusantara. Bahkan saat ini jarang sekali kita menjumpai lagi keperibadian masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi kearifan lokal dan nilai-nilai kebudayaan daerahnya.
Manusia sebagai sumber daya inti dalam dunia pendidikan tak lagi bebas dan mardeka. Tujuan belajar di sekolah-sekolah saat ini menjadi kerdil, misalnya belajar seakan di bentuk hanya untuk mempersiapkan dan menghadapi UN. Spirit pengembangan nalar kritis anak didik seolah dibatasi. Harapan masa depan anak didik seakan digantungkan hanya pada sebuah angka kelulusan UN.[2] Hal itu tidak senada lagi dengan tujuan pendidikan secara umum yaitu untuk memanusiakan manusia, dengan kata lain melalui pendidikan peserta didik hendak dijadikan pribadi yang dewasa.
Dalam beberapa teori pendidikan banyak yang mengatakan bahwa pendidikan harusnya dilakukan dengan bebas dan mardeka bagi peserta didik. Bebas yang dimaksud adalah intervensi atau standarisasi-standarisasi yang umumnya ada pada suatu lembaga pendidikan. Hal itu kemudian didukung oleh adanya kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dalam sosial kemasyarakatan berupa keluarga dan lain sebagainya. Dimana, benda-benda, contoh-contoh, teman sebaya dan orang yang lebih dewasa sebagai sumber belajarnya.[3]
Kontadiktif dengan pemahan diatas, pendidikan saat ini dominan dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan. Makna pendidikan hanya dibatas oleh waktu, lingkungan dan kegiatan. Adanya kebijakan “wajib belajar sembilan tahun” misalnya adalah contoh kecil dari pergeseran makna pendidikan. Seolah-olah, kita hanya diwajibkan belajar dalam masa tertentu. Begitu pula lingkungan dalam hal ini sekolah. Orang-orang selama ini meyakini bahwa pendidikan hanya dilakukan di sekolah. Ketika anak sudah berada dilingkungan keluarga maupun masyarakat (non formal), maka anak tidak dikatakan sedang berada di lingkungan pendidikan, dan wajar jika tidak ada aktifitas pendidikan. Padahal rata-rata waktu dihabiskan di lingkungan sekolah berkisar antara 6 sampai 7 jam per hari, dan selebihnya banyak dihabiskan pada ranah non formal. Lebih miris lagi, proses pendidikan hanya diartikan sebagai prosedural formalitas semata, seperti kegiatan belajar dikelas, bimbingan belajar dan semacamnya. Dan menyampingkan proses pada keluarga (baca: pendidikan berbasis keluarga) yang mana hubungan baik antara orang tua dan anak harus terjalin, keharmonisan keluarga juga menjadi teladan serta kepedulian orang tua terhadap segala macam aktifitas anak saat berada di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Realita telah berbicara kepada kita bahwa kelembagaan pendidikan saat ini telah berdiri eksklusif ditengah-tengah sosial kemasyarakatan. Banyak aparatur sekolah, seperti kepala sekolah dan guru-guru hanya terfokus pada internal sekolah. Mereka sangat jarang mengadakan sosialisasi atau ‘turun gunung’ ke tengah-tengah masyarakat, baik itu dalam rangka menjalin keharmonisan dan pendekatan bersama masyarakat ataupun sekedar memberikan sosialisasi pentingnya penghawasan peserta didik dilingkungan non formal. Padahal, kedua ranah tersebut (sekolah dan lingkungan masyarakat) sangat menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan. Tidak heran jika saat ini banyak perilaku penyimpangan moral seperti perkelahian, pergaulan bebas dan sebagainya akibat dari pendidikan pada ranah non formal sangat minim bahkan tidak ada. Sekolah dalam hal ini tentunya selalu mengajarkan kepada siswa hal-hal positif dan baik, namun jika tidak ada dukungan oleh ranah non formal, maka hasilnya akan nihil.
Oleh karena itu, membangun satu paradigma baru tentang makna sebuah pendidikan itu sendiri sangat diperlukan. Dimana aspek kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan sosial kemasyarakatan (non formal) harus kembali dibangun. Hubungan timbal balik antara pendidikan formal dan non formal tersebut menjelasakan lebih lenjut tentang kita akan pentingnya suatu kebudayaan masuk kedalam ranah formalitas lembaga pendidikan sebagai kesatuan komponen yang tak terpisahkan. Hal itu dimaksudkan agar terjadinya harmonisasi antara kebudayaan dan pendidikan karena kebudayaan itu sendiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.

Tantangan Dunia Pendidikan di Era Global
Sudah menjadi perbincangan hangat dewasa ini tentang isu-isu seputar sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Misalnya dari pergantian kurikulum dari tahun ke tahun yang telah menjadi teradisi. Padahal kurikulum sendiri memiliki tujuan jangka panjang. Pada tataran teknis, perubahan kurikulum memang telah diikuti dan dilaksanakan oleh para guru terlepas bagaimana kualitas pelaksanaanya. Namun nampaknya spirit, ruh, filosofi, dan substansi yang mendasari kurikulum baru tersebut belum mampu terinternalisasi secara utuh.[4]
Di tengah kehidupan globalisasi ini, pendidikan hendaknya dijadikan sebagai alat untuk menjadikan manusia lebih produktif. Mengingat pada tahun 2015 nanti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan segera direalisasikan. Artinya bahwa, persaingan disegala lini kehidupan akan segera dihelat. Persaingan bukan lagi terjadi dalam skala Nasional namun juga Internasional. Selain persaingan yang terjadi dalam bidang politik, ekonomi, kemanan dan pertahanan, MEA juga akan berpotensi menyebabkan transformasi Kebudayaan. Apakah kebudayaan nasional sebagai jati diri bangsa akan hilang dan berganti menjadi sebuah kompilasi yang terdiri dari budaya-budaya luar?. Hal ini bisa saja terjadi, melihat realita kekinian dimana kebudayaan-kebudayaan dari luar perlahan menggantikan posisi kebudayaan lokal setempat, baik dalam idealitas personal, tradisi maupun nilai-nilai kemasyarakatan yang mulai memudar. Peran pendidikan dalam membendung dan memfilter masalah-masalah diatas sangat dibutuhkan. Sistem pendidikan kita yang sentralistik merupakan peluang (Opportunity) untuk merestorasi dan melestarikan kembali kebudayaan nasioanal. Namun nyatanya, sistem pendidikan nasioanal sampai dengan saat ini belum mampu menjawab tantangan bagi kehidupan bangsa, terutama ditengah arus globalisasi saat ini.
Anthony Gidnes mengatakan bahwa globalisasi sebagai proses peningkatan saling ketergantungan masyarakat dunia.[5] Istilah globalisasi sangat erat kaitannya dengan era Industri yang merupakan asal-muasal kehidupan modern. Bahkan saat ini, muncul istilah baru yakni Industrilisasi pendidikan. Adanya sekolah favorit, unggulan dan bahkan yang sempat ada yaitu Sekolah Bertaraf Internasioanl merupakan gambaran adanya status sosial di dalam dunia pendidikan kita yang didasari atas keadaan finansial (kekayaan). Pendidikan kemudian dijadikan sebagai ‘barang’ untuk dikomersilkan (diperjual-belikan), dimana pihak penyelenggara pendidikan lebih mengutamakan keuntungan tanpa mengindahkan muatan nilai sosial kemasyarakatan, budaya dan aspek legalitas tujuan penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain, komersialisasi pendidikan berarti menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.
Industrilisasi pendidikan yang kemudian melahirkan pendidikan yang berbasis pasar adalah salah satu tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Peserta didik dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Bukan lagi bagaimana mereka di persiapkan menjadi pribadi yang siap mengelola potensi lokal dengan kreatifitasnya masing-masing.
Arus teransformasi yang begitu kuat juga menyebabkan akulturasi budaya secara komperhensif (baik posiitif maupun negatif) mengaburkan proses sosialisasi kearifan lokal setempat. Munculnya paradigma kebudayaan barat lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan timur yang cenderung dikatakan konservatif telah membuat proses akulturasi budaya-budaya dari luar Indonesia semakin subur. Maraknya pergaulan bebas, kasus narkoba yang merajalela dan pola konsumtif yang tinggi adalah potret kecil fenomena sosial yang kemudian terjadi.
Secara jujur harus kita akui bersama bahwa apa yang tengah berlangsung dalam dunia pendidikan nasional saat ini bukanlah potret yang sempurna.[6] Meski kita tak menafikkan ada segudang prestasi yang telah ditorehkan yang tidak lain hasil dari produk sistem pendidikan nasional. Namun atas dasar historis, hasil dari pendidikan kita dari waktu ke waktu (periodesasi), dimulai sejak zaman kemardekaan hingga saat ini seharusnya telah memberikan sumbangsih yang jauh lebih besar dibandingkan pencapaiannya saat ini.
Di era transformasi budaya saat ini, sudah waktunya Indonesia meramu sistem pendidikannya sendiri. Dengan kata lain, sistem itu tidak lagi terinterfensi dari pemahaman-pemahaman barat terhadap suatu sistem yang notabenenya lahir dari kebudayaan mereka sendiri. Jika kita menoleh ke sejarah, sejak abad pertengahan orang-orang barat telah memang meramu sistem pendidikannya sendiri sesuai kondisi sosial kemasyarakatan dan budaya setempat yang kemudian berkembang dari waktu ke waktu.
Seharusnya, bangsa Indonesia bukan hanya meniru (menjiplak) dengan kaca mata telanjang teori-teori dan sistem pendidikan yang telah dihasilakan oleh barat, melainkan meniru landasan filosofis mereka. Dengan begitu, kita akan berorientasi pada historis perkembangan bangsa Indonesia, selanjutnya mengidentifikasi sosial budaya ‘endemik’ Nusantara. Kemudian kita akan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dan terwujud melalui sistem pendidikan.

Relevansi Pendidikan dan Kebudayaan
Dalam arti luas, pendidikan mencakup segala lini kehidupan, tanpa dibatasi oleh ruang dan waku. Munculnya konsep Long Life Education merupakan pemahaman yang menegaskan bahwa manusia memiliki kecendrungan untuk terus berkembang selama ia menjalani kehidupannya. Hal itu senada dengan pendapat R.S. Peters bahwa pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas hidup manusia terus berkembang.
Hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global.[7] Pendidikan sebagai pranata sosial seharusnya bukan hanya sibuk memberikan hard skill (pengetahuan dan kemampuan teknis) untuk peserta didik melainkan juga soft skill (kemampuan mengelola diri dan orang lain) yang dapat melahirkan SDM yang professional, bermental baik, kreatif dan memiliki nilai luhur yang tinggi.
Kurikulum hendaknya mengacu pada asas sosiologi suatu bangsa, artinya harus sesuai dengan keadaan masyarakat meliputi kebudayaan sebagai salah satu produk dari hasil tingkah laku manusia. Sehingga isi kurikulum harus senantiasa dapat berubah dengan membentuk kurikulum yang fleksibel, yakni yang dapat berubah menurut kebutuhan dan keadaan.[8] Dinamika kehidupan manusia yang terus berubah-ubah kemudian tercermin dalam kebudayaan yang dilahirkannya. Sudah semestinya kurikulum mengacu pada kebudayaan masyarakat yang sedang berkembang, sehingga selain membudayakan proses pendidikan, Pendidikan juga akan melahirkan kebudayaan yang bernilai tinggi.
Kebudayaan dan Pendidikan seakan inheren dalam lingkup sistem mata uang, atau metabolisme air dengan sungainya. Kebudayaan sebagai air dan pendidikan sebagai suangainya, keduanya dalam satu tempat. Oleh karena itu, memisahkan kebudayaan dan pendidikan sebaliknya, seakan memisahkan air dari sungai.[9] Namun dalam pelaksanaannya ternyata masih jauh dari kata sempurna, solah-olah aspek koognitif (pengetahuan) adalah aspek segalanya. Misalnya di dalam pembelajaran Kebudayaan, masih banyak ditemukan yang hemat penulis menyebutnya sebagai “transfer of knowledge”, dan bukan mendidik peserta didik untuk ikut serta menjaga dan mengembangkan satu kebudayaan.
Di dalam pengembangan keperibadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui keperibadian-keperibadian tersebut.[10] Oleh karena itu membangun keperibadian yang baik sangat bergantung pada bagaimana sistem pendidikan di dalam sebuah kebudayaan.  Keperibadian dan kebudayaan memiliki interaksi mutualisme. Sekolah yang dalam hal ini merupakan peranta sosial sangat berperan dalam mengembangkan keperibadian tersebut. Tak hanya itu, sekolah bukanlah satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam kesuksesan sebuah pendidikan namun juga faktor nonformal yakni melalui pergaulan sosial masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat kaum behavioristic bahwa kelakuan manusia sebagai rangsangan atau akibat dari rangsangan sosial. Disamping itu kaum psikoanalis juga mengatakan; keperibadian ditentukan oleh dorongan-dorongan yang bersifat langsung ataupun tidak dan dorongan-dorongan tersebut berlangsung di dalam suatu kebudayaan yang mana kebudayaan berada di tengah-tengah sistem kemasyarakatan.
Menurut Jhon Gillin, keperibadian itu dibentuk oleh suatu proses kontinu antar manusia dalam interaksinya dengan manusia yang lainnya. Hal itu memberikan gambaran bahwa keperibadian sangat ditentukan oleh kebudayaan yang berada di suatu daerah. Jika kebudayaan yang terbangun positif maka perkembangan keperibadian peserta didik juga akan menuju arah yang positif pula begitu juga sebaliknya. Disinilah pentingnya kerja sama antara pendidikan dan kebudayaan menciptakan kondisi sosial kemasyarakatan yang kondusif demi tercapainya keperibadian yangn diharapkan demi kemajuan bangsa Indonesia.

Paradigma Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Membentuk sistem pendidikan berbasis budaya tentunya harus melihat dasarnya terlebih dahulu yaitu kebudayaan. Adapun kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan nasional. Secara sederhana, kebudayaan nasioanl adalah suatu perlambangan sebagai identitas NKRI dan dapat dipakai oleh seluruh warga Negara Indonesia. Beberapa ciri-cirinya antara lain; merupakan hasil karya anak bangsa, mengandung ciri khas Indonesia dan identitas yang diakui oleh seluruh lemen bangsa. Karena warga negara yang menyadari identitas bangsanya akan berusaha bekerja keras untuk mengharumkan nama bangsa melalui karya-karyanya.
Pelaksanaan pendidikan dengan pendekatan Kebudayaan bukan berarti kita menyampingkan perkembangan zaman seperti masyarakat yang sudah mengenal pola pikir ilmiah yang telah menjadi standar global. Justru dari pola berfikir ilmiah diatas akan memberikan kesempatan lahirnya kebudayaan-kebudayaan yang dinamis dalam rangka mengembangkan dirinya dan kebudayaan setempat menjadi semakin relevan dengan perkemabngan zaman.
            Demikian juga anggota masyarakat memiliki kemampuan untuk mengenal keselamatan, kesehatan, kesesuaian unsur-unsur umum di dalam kebudayaan dengan kebutuhan masyarakat, yakni apakah masyarakat akan menerima atau menolaknya.[11] Dengan demikian, pendidikan sebenarnya dapat menolong manusia terhadap perkembangan kehidupan serta berupaya menyeleksi atau memfilter pengaruh eksternal (kebudayaan luar) agar suatu kebudayaan dapat lestari sekaligus berjalan sesuai dengan zamannya.
Tujuan dari Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal seperti yang telah termaktub dalam Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Pasal 3, menyebutkan bahwa; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan manfaat dari pendidikan yang berbasis kepada kearifan lokal antara lain ialah:[12]
a.       Melahirkan generasi-generasi yang kompeten dan bermartabat
b.      Merefleksikan nilai-nilai budaya
c.       Berperan serta dalam membentuk karakter bangsa
d.      Ikut berkontribusi demi terciptanya identitas bangsa
e.       Ikut andil dalam melestarikan budaya bangsa
Mengusung pendidikan berbasis kearifan lokal sekilas memberikan pandangan tentang segala usaha yang dilakukan untuk mengembangkan potensi lokal setempat. Hal itu kemudian diwujudkan  melalui perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan proses pembelajarannya. Namun banyak kalangan yang meragukan akan ke-universal-an dari tujuan pendidikan semacam ini. Apakah kemudian, ketika kita mengembangkan kearifan lokal setempat akan membuat daerah-daearh merasa fanatik akan kebudayaannya masing-masing. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka konkrit bukan malah persatuan yang akan dihasilkan melainkan sebuah perpecahan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, ada hubungan yang seimbang antara kebudayaan daerah (local genius) dan kebudayaan nasional. Seorang ahli kebudayaan dari belanda, Van Veen dalam majalah Paedagogusche Student mengatakan bahwa kebudayaan nasional belanda tidak akan terbentuk dan berkembang menjadi kebudayaan bernilai kalau tidak menggunakan kebudayaan –kebudayaan provinsinya yang luhur dan indah.[13] Oleh karena itu komponen kebudayaan nasional yang utuh dan menyeluruhn sebenarnya memiliki komposisi yang terdiri atas kebudayaan-kebudayaan dareah setempat.
Lanjut menurut Ki Hadjar Dewantara, bahwa keterkaitan antara kebudayaan nasional dan kedaerahan merupakan rangkaian harus ada untuk menciptakan satu identitas bagi bangsa Indonesia. Keterkaitan itu digambarkan sebagai berikut;[14]
a.       Kebudayaan nasional kita ialah segala tingkatan tertinggi dan sari-sari dari kebudayaan daerah di seluruh kepulauan Indonesia, baik yang lama maupun yang baru tetapi tetap berjiwa nasional;
b.      Perkembangan kebudayaan nasioanal kita harus melalui jalan (yang saya sebut ‘tri-kon’): kontinu dengan apa yang telah terjadi ada masa silam, konvergen dengan bergeraknya kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan konsisten dalam persatuan yang besar (yaitu bersatu namun tetap mempunyai sifat keperibadian).
Dalam daftar pengajaran umum hendaknya dimasukkan segala pengajaran, yang dapat mempersatukan dan memperkuat kebudayaan bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan  yang sehat dan kuat. Beragam pelajaran yang diajarkan hendaknya diambil dari sumber-sumber kegamaan, istiadat, kesusialaan, kesenian, sejarah, dan lain-lain, yang umumnya mengandung pelajaran keadaban.[15]
a)      Sari-sari pokok pelajaran yang terdapat dalam seluruh pengajaran agama (islam, Kristen, hindu dan lain-lain) hendaknya digunakan untuk mengisi pengajaran adab dan kesusilaan (etika dan moral). Alangkah baiknya karena pengaruh etika dan moral anak-anak mendapat rasa penghargaan, cinta dan kesadaran terhadap semua agama secara umum, dan terkhusus agamanya masing-masing.
b)      Sejarah kebangsaan perlu diperbarui, dengan memakai bahan dari daerah-daerah seluruh Indonesia. Bagian-bagian yang terpenting diajarkan pada semua perguruan diseluruh daerah, sedangkan bagian-bagian yang khusus hanya untuk daerahya masing-masing.
c)      Pengajaran adat istiadat kebangsaan (etika dan moral) hendaknya diberikan sebagai dasar pengajaran adab kemanusiaan secara umum.
d)     Kesenian kebangsaan, yang mudah atau dapat diberikan dalam kelas atau secara umum di perguruan, dapat menghaluskan budi pekerti serta menebalkan rasa kebangsaan.
e)      Perhatian terhadap kebudayaan kebangsaan dipakai sebagai permulaan pendidikan kebudayaan, untuk meningkat ke arah pendidikan kebudayaan dunia, dan pada umumnya tidak diberikan sebelum tingkatan ‘sekolah menengah tinggi’.
f)       Pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan bahasa ‘penataran’ wajib diajarkan untuk semua perguruan di seluruh Indonesia, sedangkan bahasa-bahasa daerah, yang bertingkat tinggi dan terpelihara untuk keperluan kebudayaan dan/atau kemasyrakatan, diajarkan dengan semsetinya di daerah masing-masing.
g)      Bahasa-bahasa asing yang perlu digunakan untuk menuntut ilmu, atau untuk melancarkan hubungan bangsa kita dengan bangsa asing, hendaknya diberikan pada tempat sebagai berikut;
1)      Bahasa Inggris mulai diajarkan pada tingkatan sekolah menengah.
2)      Bahasa Jerman mulai diajarkan pada tingkatan sekolah menengah atas.
3)      Bahasa Belanda atau Prancis dan bahasa Arab atau Tionghoa diajarkan (boleh memilih) pada SMA bagian kesusastraan barat/ timur.
4)      Segala bahasa asing diajarkan pada sekolah bahasa-bahasa asing.
Merubah Paradigma Pembelajaran
Komponen yang harus ada di dalam sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan budaya bangsa. Semua itu harus memiliki unsur spatial, temporal dan keseluruan kebudayaan yang perlu dirangkum. Selain itu juga, sistem tersebut harus memiliki komponen ilmu pengetahuan alam dan sosial tanpa harus mengutamakan salah satunya.
Menyiapkan SDM yang handal dan memiliki mental yang kuat untuk memajukan bangsa hendaklah harus di mulai dengan merubah paradigma mengajar. Mungkin sampai dengan saat ini, proses pendidikan kita sangat terfokus pada literature dan buku-buku (book centered). Seharusnya, dengan melihat dan mempertimbangan kondisi zaman yang terus melahirkan dinamika tanpa batas inilah kemudian pendidikan seharusnya mulai memahami bahwa mempelajari kondisi sosial dan perkembangan kebudayaan adalah hal yang utama (life centered), tentunya tanpa menyampingkan literature sebagai refrensi sekaligus pembanding. Munculnya aliran romantisme maupun humanis-romantisme, juga seperti teori yang dikemukakan oleh Ivan Illich; bahwa manusia harus bebas mendapatkan sumber belajar dimanapun ia berada. Hal itu kemudian diperkuat oleh aliran perogresif yang dipelopori oleh Jhon Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan harus berpusat pada peserta didik.
Konsep persaingan antar peserta didik dikelas adalah potret kecil dari cara-cara lama dalam pendidikan kita yang sampai dengan ini masih terjadi. Hal itu sangat kontras dengan konsep gotong royong dan bekerja sama di dalam kearifan lokal kebudayaan Indonesia. Tentu dengan bekerja sama hasil yang akan diperoleh akan lebih maksimal daripada atas kepentingan-kepentingan pribadi. Untuk itu, merubah mind set pentingnya akan gotong royong dan bekerja sama sekaligus akan memberikan potret budaya keindonesiaan yang tercermin di dalam pendidikan kita. Hal yang perlu digaris bawahi adalah paradigma semacam ini bukan berarti membuat produk menjadi serba sama, namun sebaliknya membimbing peserta didik untuk menyadari bakat dan minatnya (baca: konstuktivisme) karena dalam satu kerja sama terdapat banyak peran-peran. Hal ini akan membimbing peserta didik menuju bakat dan minatnya masing-masing.

Internalisasi Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Belajar berbasis budaya merupakan langkah yang tepat untuk mewujudkan pendidikan berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya memuat tiga unsur yaitu: belajar tentang budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu), belajar dengan budaya (metode pemanfaatan budaya), belajar melalui budaya (pemahaman makna yang diciptakan baik melalui kreativitas maupun imajinasi dalam ragam perwujudan budaya). Belajar berbasis budaya harus dilakukan secara berkelanjutan demi tercapainya sisi kulminasi serta mewujudkan situasi indigasi. Dimana mempertujukkan kebudayaan asli setelah kita belajar melalui pendidikan berbasis budaya.[16]
            Banyak kalangan menilai bahwa pendidikan berbasis kebudayaan dengan segala menekankannya pada pemaksimalan kearifan lokal (local wisdom) merupakan bentuk pendidikan tradisional yang bermuatan pesimisme lantaran perkembangan teknologi sangat dikuasasi oleh kaum pemodal (kapital). Kemajuan barat yang (mungkin) tidak bisa dikejar lagi membuat kita harus kembali mencintai kearifan lokal dan bertahan disana untuk mempertahankan satu-satunya eksistensi bangsa yang masih tersisa. Namun sebenarnya makna tersebut terlalu sempit jika ditinjau dengan konsep yang ditawarkan oleh pendidikan berbasis kebudayaan itu sendiri. Pembelajaran dalam pendangan kebudayaan sangat menekankan kebersamaan –kolektif– seperti gotong royong dan lainnya, namun bermuara pada keefektifan personal. Seperti penjelasan diatas bahwa belajar dengan budaya sebagai epistemologi keilmuan merupakan modal dasar bagaimana individu harus menempatkan dirinya dalam menggunakan nalar-kritis mereka ditengah persaingan ketat kehidupan.
Lebih luas lagi, penjelasan tersebut kemudian dijabarkan sebagai berikut:[17]
1)      Pendidikan umum bagi semua. Kurikulum berisikan budaya utama yang wajib diikuti oleh semua orang tanpa terkecuali. Budaya ini ialah moral, akhlak mulia yang dalam kehidupan sehari-hari, minimal hidup bersih, sehat, jujur, toleransi, disiplin, menghargai pemimpin yang baik, berikhtiar dengan ikhlas dan berpandangan kedepan yang baik. Nilai-nilai ini merupakan nilai dasar untuk menjadi warga negara yang baik yang bertanggung jawab (civics responsibilities) yang bernilai etik dan bermuara menjadi etika dalam kehidupan. Pelajaran atau bidang studi yang dapat disampaikan, di antaranya pendidikan agama, budaya dasar, olah raga dan kesehatan dan pendidikan bahasa. Hal ini menjadikan kebudayaan sebagai satu bidang keilmuan.
2)      Pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup. Komponen kedua yaitu profesi bagi kelompok-kelompok sebagai makhluk sosial. Kelompok yang bersamaan kemampuan, minat, pengalaman dan harapan. Budaya profesi yaitu budaya berusaha belajar dan bekerja yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk mengembangkan diri. Bekal menghadapi persaingan yang semakin berat dalam berbagai kehidupan khususnya dalam memasuki pekerjaan untuk menghasilkan nafkah dan menafkahkan yang layak sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi (social economic responsibilities). Mata pelajaran atau bidang studi yang disuguhkan, diantaranya konsentarasi pada MIPA atau IPS. Dengan kata lain menjadikan budaya sebagai salah satu epistemologi keilmuan.
3)      Pendidikan Penyerta. Pendidikan budaya kreatif terpuji secara individual untuk membekali karakteristik atau kekhasan masing-masing. Kekhasan itu diharapkan mampu menampilkan pribadi-pribadi terpuji yang terbaik dan bernilai estetika atau indah dalam kebersamaan yang menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing (personal responsibilities). Pendidikan penyerta misalkan musik klasik, bertanam bunga dan lain sebagainya.
Keharmonisan ketiga komponen kurikulum itu diharapkan mampu membangun manusia yang harmonis, antara Etika, IPTEKdan Estetika.
 Hal yang perlu diperhatikan di dalam menginternalisasikan kebudayaan dalam pendidikan adalah mengenai mekanisme pelaksanaannya, termasuk juga dalam perencanaan pendidikan itu sendiri. Seyogyanya perencanaan pendidikan itu, baik dalam metode, sistem-sistem, buku-buku, fasilitas-fasilitas, metode pengajaran dan lain-lainnya mengundang suatu perencanaan yang lengkap untuk segi-segi kebudayaan secara utuh yang terdapat di dalam masyarakat, baik segi ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya.[18]
Di dalam UU. No. 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal  dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, ketiga dimensi ini haruslah bersinergi agar dapat melahirkan pribadi yang unggul dan bermartabat.
Formal dan Informal
Metode yang bisa digunakan untuk pengenalan lingkungan dalam pembelajaran yang berbasis kebudayaan sebenarnya sangatlah vareatif. Dalam praktiknya, pembelajaran berbasis budaya bisa dilakukan secara terintegrasi. Pada mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Jawa di SMP-SMA, guru dapat menugaskan para siswa untuk membuat karangan tentang potensi wisata daerah masing-masing. Bagi pelajaran seni rupa, guru dapat mengajarkan bagaimana cara menggambar rumah serotongan, limasan dan joglo khas Jawa. Sedangkan pada mata pelajaran matematika, guru dapat mengenalkan bentuk-bentuk geometris kepada para siswa melalui bentuk atap rumah adat.
Metoda lain yang dapat dipraktekkan adalah lewat kegiatan bercerita atau mendongeng, dengan menyertakan gambar, foto, boneka, iringan musik, miniatur rumah adat, atau barang bawaan guru yang menarik. Cara semacam ini sangat efektif untuk mendidik siswa di tingkat Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.[19]
Pembelajaran berbasis kebudayaan juga bisa diterapkan di sekolah secara kultural. Dalam mata pelajaran yang membentuk karakter seperti pendidikan agama dan pendidikan kwarganegaraan, para siswa bisa diajarkan akhlak dan perilaku baik baik serta membangun kebiasaan senyum, salam, sapa yang merupakan budaya ‘ramah’ kepribadian masyarakat Indonesia dilingkungan sekolah. Pihak sekolah juga bisa melaksanakan kegiatan seperti cerdas cermat budaya Indonesia, adanya ekstrakulikuler seni baik tari, rupa, musik, drama, serta mengadakan pentas seni budaya daerah. Peran pendidik sangat diperlukan untuk tercapainya keberhasilan pendidikan berbasis budaya. Guru harus memunculkan ide-ide kreatif, inovatif dan konstruktif untuk memacu siswanya untuk mengetahui lebih dalam pemahaman terhadap budaya di daerah tersebut.
Non Formal
Faktor lingkungan masyarakat banyak memberikan pengaruh kuat dalam pengembangan program pendidikan nonformal, baik dalam proses pembalajaran maupun pengelolaan program.[20] Ada beberapa variable sosial-masyarakat yang berhubungan erat dengan pendidikan nonformal. Beberapa variable yang teridentifikasi bagaimana peran lingkungan sosial seperti agama, budaya, kesehatan, serta kebiasaan-kebiasaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, seperti gotong-royong (mutual help), partisipasi, swadaya (self-reliant) adalah sisi positif kebiasaan masyarakat yang dapat dijadikan variabel pengaruh dalam meningkatkan keberhasilan program-program pendidikan nonformal.[21]
Di dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 4 dinyatakan bahwa: Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang di selenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Sementara itu, dalam GBHN 1993 dinyatakan: “Pendidikan Nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antar berbagai jalur jenis dan jenjang pendidikan, maupun antara sektor pendidikan dengan sektor pembangunan lainnya serta antar daerah. Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk  berperan serta dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional”.
Sejarah telah menunjukkan masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja suku Batak yang kental dengan keterbukaan, suku Jawa dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, serta etnis Cina yang terkenal akan keuletannya. Lebih dari itu, semua suku dan etnis bahkan memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam sekitar mereka. Kearifan lokal itu muncul dari berproses panjang sehingga akhirnya terbukti. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.[22]
Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.[23]
Internalisasi pendidikan berbasis kebudayaan bisa dimulai dari lingkungan terkecil dalam sistem sosial-kemasyarakatan, yaitu Keluarga. Misalnya dalam menghapus budaya korupsi dan menggantikannya dengan kebudayaan-kebudayaan yang lebih terpuji maka menurut Abraham Samad, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, keluarga bisa melakukan pembelajaran tentang pentingnya sikap jujur kemudian didukung oleh orang tua yang selalu memberikan tauladan, kebiasaan dan akhlak mulia, maka besar harapan budaya korupsi pada generasi berikutnya akan hilang. Oleh karena itu, pendidikan pada ranah non formal tidak kalah pentingnya dengan pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan lain sebagainya.
            Selain itu juga, masyarakat berperan aktif dalam mengawasi aktifitas pemuda khususnya peserta didik dalam lingkungan sosial. Masyarakat harus ikut dalam membangun kebudayaan-kebudayaan yang positif. Misalnya menjadikan malam sebagai jam belajar bagi anak-anak yang masih dalam usia sekolah. Jika hal ini sudah terinternalisasi maka hal itu akan meminimalisir aktifitas negatif anak-anak pada malam hari seperti keluyuran dan lain sebagainya.


Penutup
Membangun kembali pendidikan berbasis kebudayaan di era transformasi dan globalisasi saat ini merupakan suatu keharusan. Kondisi masyarakat yang telah banyak berubah akibat hegemoni kaum-kaum kapital seperti sifat konsumtif, bangga dan sering meniru kebudayaan dan tradisi dari luar, perilaku masyarakat Indonesia yang sudah jauh dari kebudayaan nasional seperti gotong royong, masyarakat yang sudah matrealistik sehingga banyak terjadi korupsi dan lain sebagainya. Sehingga pendidikan berbasis kebudayaan menawarkan solusi agar masyarakat kembali memiliki identitas yang jelas.
            Kondisi kebudayaan kita saat ini benar-benar sangat mengenaskan. Jangankan melaksanakan kebudayaan, memahami makna kebudayaan itu saja rata-rata banyak yang salah faham. Banyak orang yang telah membatasi makna kebudayaan itu sendiri hanya pada ranah kesenian, tarian, makanan, tradisi dan sebagainya. Padahal makna kebudayaan lebih dari itu, mencakup keseluruhan elemen dalam tatanan sosial kemasyarakatan yang sangat kompleks, meliputi agama, perilaku, kebiasaan, adat istiadat, nilai, norma dan sebagainya. Oleh karena itu, semangat juang yang tinggi dan memiliki mental yang kuat adalah merupakan produk dari kebudayaan. Melalui pendidikan, kebudayaan nasional akan terus ditanamnkan sehingga nantinya akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang berciri khas Nusantara, memiliki mental kuat untuk mengharumkan dan memajukan bangsa disegala lini kehidupan dan pada akhirnya akan melahirkan insan-insan yang ‘berfikir global namun bertindak lokal’.







DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nazili Shaleh. 1989. Pendidikan dan Masyarakat. Yogyakarta;  CV. Bina Usaha
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Mardeka. Yogyakarta; Grafina Mediacipta Cv
Engkoswara. 2007.  Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Pendidikan Lintas Bidang, Bagian 4 (TIM Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI). Bandung; PT. IMTIMA
Mangunwijaya. 2007. Kurikulum Yang mencerdaskan. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara
Kamil, Mustofa. 2009. PENDIDIKAN NONFORMAL (Pengembangan Melalui Pusat Kegiatan Belajar Mengajar PKBM di Indonesia (Sembuah Pembelajaran dari Kominkan di Jepang). Bandung; ALFABETA)
Maskilah. 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultural (Rekonstruksi sistem pendidikan berbasis kebangsaan), Salatiga; STAIN Salatiga Press
Naim, Nganium. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Nasional (Membangun  Paradigma yang Mencerdaskan). Yogyakarta; Penerbit TERAS
Nasution, S. 1995. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta; Bumi Aksara
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-Teori Pendidikan. Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group
Tim Kreatif LKM UNJ. 2011. Restorasi Pendidikan Indonesia (menuju masyarakat terdidik berbasis budaya). Yogyakarta; AR-RUZZ MEDIA

Internet


[1] Forum Mangunwijaya, Kurikulum Yang mencerdaskan. (Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, 2007) Hlm.191
[2] Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia (menuju masyarakat terdidik berbasis budaya), (Yogyakarta; AR-RUZZ MEDIA, 2011) Hlm. 53
[3] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group, 2010) Hlm. 33
[4] Naim, Nganium, Rekonstruksi Pendidikan Nasional (Membangun  Paradigma yang Mencerdaskan). (Yogyakarta; Penerbit TERAS, 2010) Hlm. 37
[5] Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia (menuju masyarakat terdidik berbasis budaya), (Yogyakarta; AR-RUZZ MEDIA, 2011) Hlm. 21
[6] Naim, Nganium, Rekonstruksi Pendidikan Nasional (Membangun  Paradigma yang Mencerdaskan). (Yogyakarta; Penerbit TERAS, 2010) Hlm. 25
[7] Ibid, Hlm. 18
[8] S. Nasution, M.A, Asas-Asas Kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) Hlm. 162
[9] Maskilah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural (Rekonstruksi sistem pendidikan berbasis kebangsaan), (Salatiga; STAIN Salatiga Press, 2007) Hm. 25
[10] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Hlm. 50
[11] Nazili Shaleh Ahmad, Pendidikan dan Masyarakat. (Yogyakarta;  CV. Bina Usaha, 1989) hlm. 40
[12] Supoyo dan Endah Fitriana, http://gears99.blogspot.com/2012/04/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal.html (Diakses pada 22 September 2014, 17:37 WIB)
[13] Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Mardeka, (Yogyakarta; Grafina Mediacipta Cv, 2009) Hlm. 76
[14] Ibid Hlm. 77
[15] Ibid hlm. 46
[17] Engkoswara, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Pendidikan Lintas Bidang, Bagian 4 (TIM Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI), (Bandung; PT. IMTIMA, 2007) Hlm. 331
[18] Nazili Shaleh Ahmad, Pendidikan dan Masyarakat. (Yogyakarta;  CV. Bina Usaha, 1989) hlm. 41
[19] Supoyo dan Endah Fitriana, http://gears99.blogspot.com/2012/04/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal.html (Diakses 22 September 2014, 17:37 WIB)
[20] Mustofa Kamil, PENDIDIKAN NONFORMAL (Pengembangan Melalui Pusat Kegiatan Belajar Mengajar PKBM di Indonesia (Sembuah Pembelajaran dari Kominkan di Jepang). (Bandung; ALFABETA, 2009) Hlm. 47
[21] Ibid
[22] L.R.Retno Susanti, Disampaikan pada Persidangan Dwitahunan FSUA-PPIK USM pada tanggal 26 s/d 27 Oktober 2011 di Fakultas Sastra Unand, Padang.
[23] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...