Translate

BERLIBUR KE TANJUNG LUAR


Pada minggu terakhir liburanku kali ini, langit sudah mulai tersenyum. Ia tak lagi menangis di sepanjang hari seperti beberapa hari yang lalu. Ya, beberapa hari yang lalu langit memang seperti wanita yang baru saja ditinggal mati sang kekasih. Kadang ia terang benderang, namun seketika ia tiba-tiba hujan –sangat labil--. Tak bisa diprediksi sama sekali. Ternyata, tak hanya manusia saja yang merasakan perasaan galau, kini langitpun memiliki penyakit itu.

Pagi itu aku sambut dengan antusias. Bukan tanpa sebab, seperti anak-anak sekolah dasar yang dipaksa antusias melambai-lambai didepan sekolah mereka saat presiden melewati jalan raya didepan sekolahnya. Karena pagi ini aku akan melakukan touring bersama kawan-kawanku. Mereka adalah wajah-wajah lama. Namun rasa rinduku selalu memperbaharui mereka di dalam hatiku, hingga membuatku ingin selalu berada di dekatnya. Mereka adalah nama-nama lama, seperti Takwim, Yedi, Wawan, Lefi, Ika, Linda, Haryanti, Hanny, Elis, dan Tedi. Dan tiga penambahan anggota touring kali ini, ia adalah Tendi, Indra dan Doni. Sudah dua hari ini mereka bertiga berada di Mataram, setelah sebelumnya mereka touring dari kota Malang bersama Tedi. Tendi adalah anggota dari club motor vixion. Motornyapun telah dilengkapi dengan segala aksesoris, seperti lumrahnya motor-motor touring lainnya. Tak ketinggalan dengan motornya Tedi. Kini Tedi sudah bergabung bersama anggota club motor 'Koster', yang berarti Komunitas Suzuki Tunder. Sehingga motornya dulu, yang menurutku sangat culun, kini berubah menjadi menyeramkan, bak seorang ustadz yang insaf menjadi seorang preman. Jika dulu kepalanya selalu ditutupi oleh koiah, kini kepalanya ditutupi oleh rambut pirang, berdiri dan mengerucut. Seperti itulah pengandaian dari perubahan motor Tedi. Dibagian belakang, sudah terpasang setbox, dan dilengkapi bel bemo. Jika dibunyikan dalam keadaan diam, suaranyamasyaallah, akan membuat kuping shok. Karena suaranya mirip seperti bunyi sirine yang dapat didengar hingga radius 2 kilometer.


Sebelum memulai touring ke Tanjung Luar, kami telah sepakat untuk berkumpul dirumahnya Takwim. Beberapa menit kemudian anggota kamipun lengkap. Tak sabar, kami langusng memulai touring dan lupa melantunkan doa. Tujuan pertama kami adalah rumah Ika. Karena kami telah berjanji akan menjemputnya disana. Setelah bertemu dengan Ika, kami langsung berangkat menuju ke Tanjung Luar, dan lagi-lagi kami lupa untuk berdoa. Pasangan boncenganku kali ini adalah wanita yang baru saja kami jemput, ya, dia adalah Ika. Dan inilah salah satu penyebab mengapa hari ini aku sangat antusias, kawan. Lebih antusias jika seandainya presiden melewati jalan raya depan rumahku.

Tak lama setelah kami baru saja meninggalkan Kota Mataram, kami disapa oleh sedikit musibah. Ban motor yang dikendarai oleh Lefi dan Linda bocor. Sehingga, kami semua harus menunda pemberangkatan sampai ban itu selesai untuk di tambal.

“Apa ini gara-gara kita lupa untuk berdoa sebelum berangkat tadi?” Nyeletuk Takwim.

“Bisa jadi...” Hanny menguatkan.

Semua anggota Touring terdiam. Saling menatap dengan pandangan kosong. Kemudian sedkit memanggutkan kepalanya. Aku tahu, isyarat itu tak lain artinya adalah “bisa jadi...”. Aku sendiri heran, kenapa aku lupa mengingatkan kawan-kawanku untuk berdoa terlebih dahulu sebelum kami berangkat tadi. Mungkinkah aku gugup karena wanita yang aku bonceng, lantas aku tak ingat apa-apa. Aku terdiam, kemudian sedikit memanggutkan kepala. Dan aku tahu, isyarat itu artinya “bisa jadi...”. Sungguh keteledoran yang fatal. Terlalu antusias juga tak baik. Hal sepele seperti berdoa saja aku lupa dibuatnya, apalagi hal-hal yang serius lainnya. Akupun mendapat pelajaran hidup, bahwa jika bahagia karena membonceng sang pujaan hati, jangan lupa untuk berdoa.

Beberapa saat kemudian, motor itu akhirnya selesai untuk ditambal. Tak ingin jatuh pada lubang yang sama, kamipun berdoa sebelum berangkat. Formasi touring kali ini sangat rapi. Di garda depan, ada Tedi yang siap untuk mengawal kami semua. Kemudian dibarisan kedua ada aku dan Ika. Dibaris ke tiga diisi oleh Lefi dan Linda serta jejeran anggota touring lainnya. Di garda belakang, ada Tendi yang gagah perkasa dengan motor touringnya. Kami yang ada ditengah, serasa seperti para pejabat pemerintahan yang dikawal ketat. Tentu urutan motor juga sangat penting. Semakin depan, berarti semakin penting orangnya.

Setiap kendaraan-kendaraan yang akan kami dahului, Tedi sebagai pengawal rombongan selalu membunyikan sirinenya. Lalu minggirlah mereka-mereka. Luar biasa, aku yang barada di urutan kedua serasa seperti seorang gubernur. Dan Ika yang aku bonceng serasa seperti Ibu gubernur, bukan wakil gubernur. Mungkin kalian sudah tahu perbedaan keduanya. Disusul pengendara pada urutan ketiga, yang mana ia seperti Bupati. Ika menyebutnya sebagai Bupati Lombok Timur, siapa lagi kalau bukan si Lefi beserta Ibu Bupatinya, Linda. Dan urutan selanjutnya adalah bapak camat dan Ibu camat, di urutan belakangnya lagi ada bapak lurah dan ibu lurah, kemudian disusul oleh bapak RT dan Ibu RT, dan urutan pejabat paling belakang adalah kepala rumah tangga.

Aku dan Ika kegirangan melihat pengawalan yang dilakukan oleh Tedi. Selain sirine, Tedi juga memberikan isyrat tangan kepada para pejabat yang ada di belakangnya. Tangannya tak henti-henti memberika isyarat pada kami. Inilah beberapa isyrat yang ia berikan. Jika tangannya menunjuk-nunjuk kearah  kiri, berarti ada sesuatu yang harus kami hindari. Jika tangannya hanya menunjuk sekali ke arah kiri, berarti kami harus berada di posisi itu. Jika sebelah tangannya menggenggam, itu berarti kami harus memperlambat kecepatan perlahan. Jika kedua tangannya menggenggam, itu berarti kami harus memperlambat kecepatan dengan drastis. Jika tangannya menunjuk ke atas dan kedepan, itu berarti kondisi aman untuk menyalip. Jika ia memberikan jempol kepada pengendara lain yang sudah minggir, itu berarti ucapan terima kasih. Jika kedua lengan tangannya terbuka lebar-lebar, lalu pinggangnya cembung ke depan, itu berarti ia ingin merenggangkan pinggangnya yang pegal. Selain isyarat tangan, isyarat tubuh juga ia lakukkan. Jika ia berdiri, itu berarti ia ingin melihat kondisi jalan sepuluh meter kedepan. Jika ia berdiri kemudian melihat kebelakang, itu berarti ia sedang menghitung jumlah kami. Namun jika ia berdiri dan melihat kebelakang dari posisi kiri dan kanan secara bergantian, itu bararti, ia ingin merefleksikan pinggangnya yang keram.

Saat kami tiba di kecamatan Ganti, kami beristirahat beberapa menit dan transit di rumahnya Elis. Disana kami bertemu dengan Elis. Ia memang berencana untuk ikut bersama kami ke Tanjung Luar setelah kami datang. Elispun menjamu mereka semua dengan es krim. Semua anggota touring menyambut jamuan itu dengan lahap. Kulihat Ika, ia terlihat sangat kehausan. Diantara anggota touring, hanya aku yang tak melahap es krim. Taukah kenapa kawan. Karena aku memang sudah tak haus lagi. Melihat kelezatan Ika melahap es krimnya, seolah ada aliran dingin yang menjalar ke tenggorokanku. Mungkinkah karena rasa sayangku ke Ika?. Akupun terdiam, pandanganku kosong. Aku tahu, isyarat itu artinya “bisa jadi..”.

Tanpa membuang banyak waktu, kami langsung bergegas melanjutkan perjalanan. Rute yang harus kami tempuh tinggal beberapa kilometer saja. Jika diturunkan menjadi waktu, kira-kira tinggal 30 menit. Menelusuri jalanan semi hotmik. Panasnya minta ampun. Mungkin dengan kondisi gersang seperti itu, semua anggota touring akan merasa gerah, kepanasan, atau bahkan dehidrasi. Tapi taukah kawan, bagiku cuaca pada saat itu seperti musim salju yang dingin. Dimana matahari telah meninggalkan kordinat normalnya. Merendahkan suhu hingga dibawah nol drajat. Membekukkan semua yang ada. Memang, keringatku terlihat keluar melalui pori-pori wajahku. Namun hatikulah sebenarnya ku maksud sedang dingin, dingin hingga ia membeku. Tak lain karena Ibu gubernur yang berada di belakangku, "bisa jadi..".

Sesampai di Tanjung Luar kami langsung ke rumah salah satu kawan kami, ia adalah Ayuna Fatmala. Ini kali kedua kami pergi kerumahnya, setelah beberapa tahun silam kami pernah kesini. Sesuai kesepakatan awal, kami memang akan menaiki sampan menuju ke pantai Pink. Persiapanpun dilakukkan. Tak lupa kami membawa beberapa air mineral. Karena disana suhu sangat panas, terang ayahanda Ayuna. Kami bergegas ke perahu dan langsung berangkat.

Tak ada moment istimewa saat kami berada diatas perahu. Karena suara dari kedua mesin perahu terlampau sangat keras. Kami hanya terdiam. Saling memandangi. Kemudian sejenak melirik birunya lautan. Aku tau, isyarat kali ini tak bisa diartikan. Karena masing-masing orang punya perasaan yang berbeda-beda. Mungkin memikirkan segala permaslahan berat dalam hidupnya, memikirkan sang kekasih yang di cintai, atau mungkin memikirkan Elis yang tak bisa ikut bersama kami karena harus kembali ke Mataram untuk menjalani UAS dadakan dari dosennya. Inilah salah satu kehebatan lautan. Membuat pikiran setiap orang yang memandanginya menjadi terniang-niang tentang satu hal yang berharga untuk dipikirkan.

Aku memandang jauh kedepan. Terlihat jauh disana, perahu pertama yang ditumpangi Tedi, Yedi, Indra, Tendi, dan Doni sudah meninggalkan kami sangat jauh. Pandanganku kemudian berjalan ke arah kiri, bergeser 45 derajat, di titik koordinat selat alas. Didepanku terlihat pulau Sumbawa. Kemudian pandanganku bergeser 90 derajat, ke arah kanan. Kulihat kali ini Ika. Bagiku, kedua kordinat itu saling berhubungan. Ika memang berasal dari pulau Sumbawa. Ia rela meninggalkan kota kelahirannya di pulau Sumbawa hanya karena ingin pergi Mataram untuk bersekolah. Betapa hebat wanita yang satu ini. Aku mulai mengenalnya lebih dekat semenjak kami satu kelas di jurusan IPA. Ia memang memiliki kepribadian yang berbeda daripada wanita-wanita yang lainnya. Perlu bab baru untuk menceritakan sosoknya lebih detail. Uncontrol, aku terus memandanginya tanpa henti. Kemudian aku tersenyum kecil. Taukah kalian apa arti dari isyarat itu?. Artinya sederhana, “Aku menyayangimu...”. Aku bergegas memotong khayalanku tentang Ika. Pandanganku kemudian bergeser lagi ke arah kanan, 135 derajat dari posisinya semula, tepat dibelakangku. Kini kulihat Ayuna. Ia adalah wanita pesisir yang sangat cerdas. Duduknya begitu tenang. Wajahnya memandang jauh kesana. Aku tahu, isyarat itu hanya dimiliki oleh orang-orang besar. Aku kemudian ingat, Ayuna adalah ketua Bem dikampusnya.

Beberapa saat kemudian kami tiba di pantai Pink. Pantai itu sangat indah. Di setiap sudut berdiri bukit-bukit dengan kokohnya. Di setiap sisi bukit yang menjulur ke pantai, tersaji jurang curam yang indah. Tak jauh dari bibir pantai, terlihat sebuah gua yang cukup dalam untuk di jelajahi. Beberapa pulau kecil yang berada di bibir pantai pink kemudian melengkapi keindahannya. Airnya jernih, pasirnya lembut, putih, dan suasananya sangat tenang. Jika diibaratkan, pantai Pink mirip seperti Phi Phi Island, Thailand. Pulau itu berada di dekat Phuket, dan menawarkan pemandangan yang menawan juga, seperti pantai, gua, dan air terjun yang tersemunyi di daerah terpencil. Dan pantai Phi Phi ini pernah menjadi lokasi syuting pembuatan film “the beach”. Demikian penjelasan Takwim  beberapa hari yang lalu tentang pulau Phi Phi.

Jika aku seorang sutradara film yang tak sengaja berlibur ke pantai Pink. Kemudian melihat keindahan pantai Pink yang sangat eksotik itu, pasti aku berencana akan membuat filem layar lebar. Judulnya sederhana, “MELEWATI SELAT ALAS UNTUK MEMINANGNMU”. Aku yakin, filem ini akan meledak dipasaran. Pada minnggu pertama akan ditonton sebanyak 1,5 juta orang. Di minggu berikutnya, jumlah penonton akan sama. Pada dua minggu berikutnya bertambah menjadi 2 juta penonton. Sampai pada saat satu bulan setelah peluncuran film, jumlah penonton adalah 7 juta penonton. Jika ada wartawan yang dengan sengaja mewawancarai salah satu penonton dan menanyakan tentang penyebab meledaknya filem ini. Maka ia akan  mengagumi sosok pemuda yang memiliki cinta yang tulus kepada seorang wanita yang berada di pulau sebrang. Suatu hari, si pemuda ini ingin melamar wanita yang ia cintai. Namun bertepatan dengan hari lamaran, dermaga yang melayani penyebrangan antar kedua pulau itu ditutup untuk sementara waktu karena ada perbaikan dan pelebaran dermaga. Disisi lain, jika lamaran itu ditunda, berarti pemuda ini telah mengundurkan diri. Begitulah kira-kira kesepakatan pihak keluarganya. Kemudian si pemuda ini mencari akal bagaimana untuk melewati lautan yang memisahkan antar kedua pulau itu. Muncullah ide untuk berenang. Pemuda itu kemudian menuju ke suatu teluk, yang mana letak teluk ini sangat dekat dengan pulau tempat sang pujaan hatinya berada. Teluk itu bernama pantai Pink.

Belum berakhir, pemuda ini kemudian berenang melewati lautan yang memisahkan kedua pulau itu. Nama lautan itu adalah Selat Alas. Setelah beberapa jam berenang, keluarga si wanita kebetulan berada di pesisir pantai. Maka, dilihatlah si pemuda itu berenang dengan tertatih-tatih. Sesaat setelah pemuda itu berada dipinggir pantai, ia langsung menghampiri keluarga dari wanita itu. Sebelum pemuda ini menyatakan lamarannya, pihak wanita sudah terlebih dahulu menerima lamarannya. Si pemuda sangat senang dengan jawaban dari keluarga sang wanita. Ia pun berjanji kepada keluarga si wanita, akan selalu membahagiakan anak mereka. Jadi tak heran jika filem itu akan menjadi filem tervaforit –Bomming--

Pasca berhayal. Kamipun tiba dipesisir pantai. Setiba kami disana, kami langsung membakar ikan yang sudah kami beli sebelumnya. Pembakaranpun kami lakukkan. Tak ada hal yang lebih baik, kecuali berfoto ria di setiap sudut pantai Pink. Inilah misi terpenting bagi para uploader. Mungkin ini istilah yang tepat bagi mereka yang sangat suka mengupload foto-foto mereka, entah di FacebookTweeter, Instagram, dan di jejaring sosial lainnya. Akupun memiliki misi rahasia. Misi itu harus aku lakukkan sendirian, tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Disaat orang-orang fokus dengan kegiatannya masing-masing, aku pergi menyelinap ke bibir pantai. Aku kemudian menuju ke arah pojok, dekat tebing. Kulihat pasir yang sangat indah dan lembut. Lalu, dengan perlahan aku goreskan tiga kata dan satu simbol hati ditengahnya. Kemudian aku foto mahakarya indah itu. Jika Yedi membawa pasir pantai Pink sebagai oleh-olehnya, maka bagiku, foto‘dua kata dengan lambang hati ditengahnya' itu adalah oleh-oleh berhargaku di pantai Pink. Tak ada yang boleh tau apa kata yang aku tuliskan. Ini rahasiaku. Sangat rahasia.

Hari sudah senja. Saatnya kami untuk kembali ke dermaga Tanjung Luar. Kulihat cuaca sudah mulai mendung, seperti menyuruh kami agar cepat-cepat untuk kembali karena dirumah masing-masing, orang tua sudah resah menunggu kepulangan kami. Itulah barangkali pesan yang ingin disampaikan oleh sang awan.

Ditengah perjalanan, angin berhembus sangat kencang. Gerimis mulai turun, ombak perlahan membesar. Kami semua yang ada diperahu basah kuyup. Sangat dramatis. Jika ada orang yang cerdas sedang jatuh cinta, maka ia tak akan menyianyiakan moment itu untuk mengatakan cintanya. Sedangkan aku hanyalah orang tolol yang sedang jatuh cinta. Sehingga ia tak akan menyatakan cinta walaupun suasanya sangat mendukung seperti itu.

Beberapa saat kemudian kami tiba di dermaga Tanjung Luar dalam keadaan basah kuyup. Lalu, kami bergegas ke rumah Ayuna Fatmala untuk membersihkan jamuan. Ada cumi-cumi, siput, dan beberapa menu pelengkap lainnya. Kami sangat kenyang. Mulutku tak henti-hentinya menganga, keringatku mengucur deras. Taukah kalian apa arti isyarat kali ini, artinya sederhana “Pedas sekali...”. Setelah berpamitan, kami langsung beranjak dari rumah Ayu. Sedih rasanya, kisah selama seharian di Tanjung Luar harus kami akhiri. Sore itu adalah malam pertama perayaan maulid Nabi Muhammad. Suasana desa Ayuna sangat ramai. Terdengar suara kecimol membumbung ke seluruh antero desa. Suara speaker tak kalah keras terdengar, “Aneh silaq, inaq, amak, tepade nyumbang.. mudah-mudahan tetung jarin amal ibadah leq akherat jemak///..” Yang kurang lebih artinya Ayo bersodaqoh.

Kami kemudian berangkat kembali ke mataram. Di wajah kawan-kawanku tergambar keletihan. Namun dibalik keletihan itu ada kisah indah yang digoreskan. Hari sudah semakin sore, kami perlahan menuju ke arah barat. Semakin sore, suasana semakin indah. Sunset terlihat menggoda didepan mata. Menghibur kami yang sebelumnya sangat letih karena hujan dan angin laut. Kini matahari menghibur kami, menebarkan pesona anggun nan elegan. Jika ada orang yang pintar sedang jatuh cinta, maka ia tak akan menyianyiakan suasana ini untuk mengatakan cintanya. Aku bertanya-tanya, setolol inikah diriku?. Sudah dua kali moment indah menghampiri. Namun tak kugunakan semaksimal mungkin. Maka untuk mengurangi ketololanku, aku kemudian memanggil Ika yang berada di belakangku.

“Lihat itu di depan..”

“Sunset, Indah sekali san...” Jawab Ika.

“Bukan itu yang aku maksud”

“Tapi.. Tapi...Hmm” Aku benar-benar tegang.

Aku menarik nafas dalam-dalam, kuhilangkan gugupku dihati. Kemudian aku menoleh lagi dan berkata;

“Lihatlah Ika, Mentari Tenggelam di Wajahmu”

Ika tersenyum dibelakang. Ia tersipu setelah mendengarkan rayuanku. Akupun bahagia tak kepalang.
Hari itu sangat indah. Lebih indah jika seandainya presiden datang ke rumahku. Kami menutup acara touring tepat di depan rumah Ika. Kami berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing.


By: Hasan Suryawan
Untuk: Anggota Touring NAV Comunity 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...