Translate

PERJALANAN SEBUAH PERASAAN


BAGIAN 1
MERUBAH DIRI
Beberapa abad yang lalu seorang filosuf pernah berkata yang kurang lebihnya seperti ini, “dua sampai tiga tahun kedepan, kamu adalah kamu yang sekarng, kecuali mereka yang selalu membaca buku dan memiliki pergaulan dengan orang lain”. Jika boleh saya pahami secara bebas, maksud dari kedua premis diatas adalah perubahan karakter manusia dipengaruhi oleh dua faktor, pertama dengan buku-buku yang mereka baca dan orang-orang yang mereka kenal. Kedua hal ini selalu berkaitan satu dengan yang lainnya. Jika ada orang yang selalu membaca buku dan bergaul dengan orang-orang yang baik, maka perbubahan yang terjadi pasti menuju ke arah yang positif. Namun jika ada orang yang jarang membaca buku atau membaca buku-buku yang negatif dan pergaulannya dijalani bersama orang-orang yang buruk akhlaknya, maka perubahan pun akan menuju ke arah yang negatif. Inilah alasan kenapa manusia disebut sebagai makhluk yang unik.


Pernah mungkin sesekali waktu kita merenungkan dan kembali mengingat perjalanan hidup kita sampai detik ini. Sederet kisah bahagai, sedih, suka-cita tergores mengiringi perjalanan kita selama ini. Ada yang merasa diri mereka lebih baik, ada pula yang merasa dirinya biasa-biasa saja. Namun sudah semestinya kita merasa selalu menjadi lebih baik. Ada pengalaman, ada buku-buku dan ada orang-orang yang siap menawarkan perubahan ke arah yang positif dalam hidup kita. MENGAPA kita masih diam ditempat?.

BAGIAN 2
MENCINTAI DENGAN CARA YANG BENAR

Beraneka jawaban yang dilontarkan ketika sesekali waktu saya bertanya pada seseorang tentang masalah yang terkait dengan percintaan. Satu orang menjawab anti pacaran. Karena pacaran adalah haram. Saya bahkan tidak bisa membedakan, apa ini sebuah apologi semata atau benar-benar sebuah prinsip. Jawaban lain mengatakan, saya belum siap untuk menerima cinta yang baru dalam hati saya. Tentu jawaban ini dilontarkan oleh orang yang bertipe sedikit kurang percaya diri. Maaf jika ada yang memiliki alasan seperi itu, bukan bermaksud untuk mencela. Ada lagi satu jawaban seperti ini, saya tidak mau pacaran karena pacaran hanya menyakiti perasaan.

Saya tidak tau persis perkembangan hati dari masing-masing pemegang prinsip. Saya tidak bisa membayangkan jika pemegang prinsip ‘anti pacaran’ misalnya, tiba-tiba ingin menikah. Apa mereka bisa dengan sekedipan mata siap dengan hubungan pernikahan yang akan dijalani, yang sebelumnya mereka tak pernah sama sekali memiliki pengalaman menjalin hubungan dengan orang lain. Atau mungkin dengan orang yang memiliki alasan ‘belum siap’. Ketika umur telah memaksa mereka untuk siap untuk menjalin hubungan dengan orang lain, maka betapa sibuk mereka harus memperispakan diri, bak sistem SKS (sistem kebut semalan) dalam menghadapi ujian sekolah. Saya menuliskan pernytaan-pernyataan seperti ini bukan berarti saya menganjurkan semua orang untuk membuat sebuah pengalaman dengan berpacaran. Atau sederhananya, saya bukan melegalkan pacaran. Pacaran tentu banyak negatifnya. Yang saya maksud hanyalah, menyarankan agar kita semua berani belajar untuk berkomitmen. Berkomitmen tidak harus dijalani dengan berpacaran bukan. Silahkan tafsirkan sendiri cara-cara berkomtmen yang sekiranya menjauhakan diri dari maksiat.

Terlepas dari statment diatas, saya menyadari bahwa diri saya tidak termasuk ke dalam beberapa penganut prinsip diatas. Dengan kata lain, saya adalah orang yang selalu ingin menantang pengalaman. Tanpa ada ada sedikitpun niat untuk curhat, saya akan menceritakan dengan singkat perjalanan hati saya.

Dulu ketika saya masih ada disekolah dasar, saya mencintai seorang gadis, dan itu teman saya sendiri. Betapa lucu perasaan itu jika saya acukan dengan tingkat kematangan berfikir saya sekarang. Mencintai yang saya rasakan hanya sebatas suka, tak ada niat sedikitpun untuk memiliki, kemudian berpacaran, bahkan berdua-duaan. Ukurannya, melihat sang gadis pujaan saja hati sudah bergetar-getir malu tak kepalang. Apalagi berdua-duaan, tak tersirat sedikitpun di dalam fikiran. Kemudian saya memasuki fase selanjutnya, dimana saat saya sudah bertengger di sekolah menengah pertama, cara pengekspresian sebuah perasaan itu semakin nyata. Dalam tahap ini, saya sudah berani mengirimkan surat. Saling sapa, berbicara empat mata, bahkan berdua-duaan. Walaupun terkadang malu dan tegang masih sangat terasa. Lalu tibalah fase puncak, yaitu di masa Aliyah. Bukan hanya sekedar berdua-duaan, di dalam fase ini emosi sudah mulai ada. Pola pikir yang gila ala remaja puber, artinya perubahan menuju ke dewasa sedikit mempengaruhi cara saya mencintai seseorang. Dalam fase ini sudah ada komitmen. Tapi saya menyadari komitmen itu sangat dangkal walaupun dalam penyampaiannya sangat mendalam. Pengalaman-pengalaman seperti ini tentu tak hanya diraskan oleh saya sendiri, bahkan semua orang pada umunya merasakan perjalanan seperi ini, tentunya bagi orang yang berani mengambil resiko untuk menjalani hubungan. Satu pelajaran sekiranya yang harus saya garis bawahi, pengalaman memberikan pelajaran hidup yang akan selalu diingat sampai kapanpun.
Dengan usia yang sudah mulai meninggalkan usia remaja, tentu harapan saya pada hubungan selanjutnya adalah menjalin hubungan yang lebih baik. Saya telah belajar banyak hal dari fase-fase sebelumnya. Dengan mencari tahu cinta itu seperti apa melalui buku-buku para filosof, pujangga-pujangga cinta, atau bahkan dari cinta seorang sufi pada Tuhannya. Dengan literatul penglaman orang lain dan pengalaman pribadi, sekiranya telah memberikan pandangan kepada saya arti sebuah cinta yang sesungguhnya. Saya pun akan memebenarkan quote pada paragraf pertama sekaligus menambahkannya, yaitu perubahan manusia itu akan terjadi melalui buku-buku yang mereka baca dan orang-orang yang mereka kenal serta pengalaman yang mereka jalani.
Perubahan semkain kian terasa disaat saya mulai mencintai seseorang gadis. Saya tidak lagi mencintai seorang gadis dengan cara-cara seperti dulu. Penyerahan apapun yang akan terjadi di masa depan, merupakan pondasi yang kuat. Cinta sejati hanyalah satu, yaitu cinta sang Ilahi untuk makhluk-makhluk ciptannya. Ketika saya dicintai oleh keluarga dan sahabat-sahabat saya, itu tak lebih saya artikan sebagai manifestasi cinta Allah untuk saya. Keluarga dan sahabat adalah orang-orang yang Allah utus untuk mencintaiku di dunia ini. Cinta seperti ini adalah cinta sejati yang dimanifestasi langsung dari Allah SWT. Hal itu sama ketika kita memiliki jodoh. Dia tak lain adalah manfestasi cinta dari Allah SWT. Namun disaat kondisi seperti sekarang, dimana kita semua masih dalam tahapan menuntut ilmu, tentu jalan menuju ke pelaminan masih jauh. Maka dari itu, tak ada alasan yang kuat untuk menjamin suatu hubungan bisa sampai ke ranah pelaminan. Yang bisa kita lakukkan hanyalah ikhtiar dan mencintai orang yang kita cintai dengan tulus. Komitmen juga harus menyertainya. Ingat, berkomitmen tidak harus dilakukkan dengan pacaran. Apapun yang akan terjadi di masa depan kita serahkan semuanya pada takdir Tuhan. Tugas kita selain ikhtiar dan berserah diri adalah selalu berdoa, semoga orang yang kita cintai saat ini benar-benar manifestasi cinta Allah SWT untuk kita. Dengan begitu, tak ada satu orang pun yang dapat merubah jika dia jodoh kita.
Itulah bebrapa pengalaman yang saya rasakan dari fase ke fase hingga saat ini saya merasa telah mencintai dengan cara yang benar.

By: Hasan Suryawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...