Translate

ESENSI PERGERAKAN MAHASISWA MASA KINI


Sejarah telah menceritakan kepada kita tentang peran dan kontribusi mahasiswa khususnya dalam mengawal demokrasi yang ada di Indonesia. Salah satu contoh monumental dari gerakan mahasiswa ialah peristiwa revolusi dan penggulingan Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Semua dilakukan dengan penuh rasa sukacita dan niat tulus ikhlas demi membangun bangsa indonesia menjadi lebih baik. Sebagai salah satu starata sosial, identitas seorang mahasiswa selalu identik dengan pembelaan, pengawalan dan garda terdepan dalam membela kaum-kaum tertindas, membela rakyat dan membela keadilan sosial bagi rakyat. Namun akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan, dimanakah letak gerakan mahasiswa seperti tempo dulu?. Apakah mahasiswa masa kini mulai tumpul?.

Membahas tentang gerakan mahasiswa berarti membahas geopolitik yang ada di suatu bangsa. Suka tidak suka, gerakan mahasiswa bukanlah pure digerakkan oleh kesadaran idealitas mahasiswa, tetapi banyak dipengaruhi oleh komando komunitas atau partai tertentu. Gerakan mahasiswa terletak pada iklim yang menerpa suatu partai, bukan pada idealitas mahasiswa secara individu atau badan eksekutif mahasiswa tertentu.

Permasalahan kemudian muncul tatkala banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Memang sulit untuk menafsirkan kebijakan pro-rakyat itu seperti apa. Ketika pajak dari semua sektor dinaikkan. Begitu pula harga BBM yang menjadi kebutuhan vital masyarakat ikut dinaikkan. Tak hanya itu, tarif dasar listrik pun tak luput dari kebijakan kenaikan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pertanyaannya, seberapa bahaya dan mengacamkan kenaikan-kenaikan itu bagi kehidupan masyarakat?.

Dengan masalah-masalah yang muncul saat ini, peran mahasiswa kemudian didengung-dengungkan. Dimana mahasiswa saat begitu banyak kebijakan memberatkan rakyat. Mungkin mahasiswa akan menjawab, mereka sedang asyik ditempat-tempat wisata bersama kolega atau bahkan pasangannya. Mahasiswa juga mungkin akan menjawab, mereka masih sibuk dengan segala kesibukan yang ada di media sosial mereka. Mahasiwa terlalu sibuk untuk diganggu dengan urusan-urusan seperti ini. Mungkin saja demikian.

Perlukan mahasiwa mengadakan revolusi jilid II seperti yang telah terjadi pada tahun 1996?. Pertanyaan ini sangat menjengkelkan didengar. Lagi sekali ini hanya urusan politik. Tak hanya sentimen agama yang ditunggangi oleh aktor-aktor politis dalam melanggengkan kepetingannya, namun juga ranah ideologi mahasiswa di usik oleh isu-isu seperti ini. Untuk menjawab pertanyaan diatas tentu butuh jawaban cerdas. Kita harus melihat konteks kekuasaan pemerintah zaman orde baru dan sekarang. Selain itu, harus difahami juga konteks kebijakan yang pro dan tidak pro rakyat. Apakah gerakan ini pure untuk membela rakyat atau hanya membela beberapa kepentingan politik semata.

Kondisi Indonesia dalam konteks sebelum dan setelah reformasi sangatlah berbeda. Jika konteks pahlawan sebelum bangsa ini mardeka ialah berjuang dengan bambu runcing, maka konteks pahlawan saat ini tentu bukan mereka yang mengangkat bambu runcing, melainkan yang mengangkat pena untuk menghasilkan karya. Apa kontribusi kita untuk bangsa ini?. Kontribusi tersebut dapat terimplementasikan melalui pemikiran, karya bahkan pemberdayaan masyarakat, bukan lagi seberapa tajam dan panjang bambu runcing yang ada ditangan.

Begitu juga ketika banyak yang mempertanyakan ketumpulan gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa bukan melulu hanya lagi persoalan aksi, walaupun kegiatan ini perlu. Namun yang lebih diperlukan ialah gerakan mahasiwa dalam kegiatan akademis. Potensi mahasiswa sebagai seorang pemikir harus diperas lagi. Revolusi tahun 1996 sangat disebabkan oleh actor-aktor pemikir dan kritis. Sedangkan saat ini, aktor pemikir dari kalangan mahasiswa berkurang, bahkan jarang ditemukan. Mungkinkah mereka melakukan gerakan tanpa pemahaman kritis tentang peta politik dan kepentingan?. Jika tidak, mahasiwa hanya akan dijadikan badut pertunjukan oleh kepentingan aktor politik tertentu.

Kreativitas dan sensitivitas-kritis mahasiswa memang pertama-tama harus dipertanyakan sebelum mempertanyakan gerakan mahasiswa. Dengan dunia yang penuh godaan saat ini. Misalnya, mahasiswa dikota-kota pendidikan seperti Malang dan Jogja lebih bangga memamerkan kegiatan liburan mereka ketimbang memamerkan satu sampai dua lembar artikel hasil karyanya. Mahasiswa yang suka membaca dan berdiskusi akan diberikan apresiasi yang sifatnya olokan bernada mulia sebagai mahasiwa “teladan”. Bukan lagi sebagai role model mahasiswa yang harus ditiru. Kegiatan diskusi, membaca buku, dan berdebat bukan lagi role model mahasiswa zaman sekarang, melainkan yang yang menjadi role model ialah mereka yang hidup santai dan tenang terhadap tuntutan akademis. Misalnya kondisi warung kopi yang saat ini sangat pasif dan monoton. Peran warung kopi bukan lagi sebagai basis gerakan ideologis mahasiswa akan tetapi menjadi tempat rekreasi, dan tempat paling nyaman untuk berselancar di dunia maya mengguanakan fasilitas Wifi gratis.

Pentingnya berfikir kritis akan menentukan keputusan bagi mahasiswa, tentu ini akan menentukan kualitas keputusan yang dipilih, apakah keputusan yang tepat atau tidak tepat, apakah itu keputusan yang baik atau buruk, apakah itu keputusan untuk kebaikan bersama atau untuk kepentingan golongan tertentu. Kemampuan berfikir kritis menurut Nurani Soyomukti adalah kecakapan koognitif yang memungkin mahasiswa dapat menginvestigasi sebuah situasi, masalah, atau fenomena tertentu. Penjelasan lanjut dikemukakan oleh Vincent Ryan Ruggiero, yang mengatakan bahwa pemikiran kritis didasarkan atas aktivitas menemukan dan mengumpulakan bukti, memutuskan apa arti bukti itu dan menyimpulkan bukti tersebut. Sedangkan realitas saat ini begitu memperihatinkan, banyak berita bohong (hoax) dan berita-berita yang penuh dengan unsur politis dikonsumsi begitu saja oleh masyarakat, terlebih lagi para mahasiswa. Bukan berniat sombong dan merendahkan mahasiswa saat ini, namun kenyataannya seperti itu. Keputusan dan pendapat-pendapat mahaisiswa dibanyak media sosial bahkan tidak berdasar ada data yang kuat dan alasan yang rasional.

Oleh karena itu, gerakan-gerakan diskusi mungkin hal pertama yang harus dibangun. Diskusi harus dibangun lagi dan menjadi habituality serta aktivitas bisa keseharian mahasiswa. Diskusi bukan hal wah, dan esklusif hanya bagi mahasiswa polos berkacamata dengan frame tebal dan kutu buku. Menurut saya, inilah esensi gerakan yang harus dilakukan oleh mahasiswa saat ini. Minimal ia dapat berkontribusi untuk dirinya sendiri, dan kemudian dapat berkontribusi bagi masyarakat. Mahasiswa dan masyarakat yang baik tentu mereka yang menjalani tanggung jawabnya terlebih dahulu entah itu sebagai mahasiswa untuk berkarya dan berakademisi, maupun sebagai rakyat untuk bekerja.
Wallahualam..

Oleh: M. Hasan Suryawan

(Seorang Mahasiswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...