Translate

ISU AGAMA DALAM NORMA NEGARA


Sejarah telah banyak menceritakan kepada kita tentang keharmonian antara Bangsa Indonesia dengan Islam, tentu saja dalam konteks ini Islam sebagai sebuah agama. Dalam masa Kolonial, agama bisa dijadikan alat pemersatu nasional dalam rangka merebut kemerdekaan, masih segar dalam ingatan kita tentang resolusi jihad yang difatwakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 10 November 1945 yang telah membakar semangat arek-arek Surabaya sehingga memicu perlawanan sengit dari rakyat kepada tentara sekutu yang hendak menguasai kembali kota Surabaya. Jauh sebelum itu, para founding father Negara Indonesia telah membuat Piagam Jakarta sehingga melahirkan Pancasila. Walaupun pada akhirnya Negara Indonesia bukan Negara Islam, namun jiwa dan semangat Pancasila tetaplah cerminan dari nilai-nilai luhur ajaran Islam. Sehingga secara konstitusi, seluruh warganegara Indonesia berhak menjadi pemimpin meupun wakil rakyat sesuai dengan point kelima dalam pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhir-akhir ini isu tentang Pemimpin non-muslim, sedang mencuat dan menjadi pembahasan hangat dikalangan masyarakat. Bagaimana hukum umat islam memilih pemimpin yang bukan dari kalangannya sendiri (muslim)?. Alangkah bijaknya jika kita membuka forum diskusi, menghadirkan beberapa ulama dan orang-orang yang memahami agama islam secara mendalam untuk membicarakan permasalahan ini. Apalagi jika dihadapkan dengan surat Al Maidah ayat 51, yaitu larangan umat islam memilih “pemimpin” Yahudi dan Nasrani. Karena makna kata pemimpin dalam ayat tersebut masih banyak menimbulkan interpretasi dari ulama.

Fenomena yang terjadi hari ini ialah munculnya isu agama sebagai senjata utama dalam memusnahkan lawan politik. Ketika isu itu digulirkan dengan embel-embel penistaan agama dan memanfaatkan arus teknologi informasi yang begitu kuat maka yang terjadi adalah dukungan penuh atas agama. Analogi posisi agama tak jauh berbeda seperti seorang anak kecil lugu yang digendong oleh seorang pengemis untuk meminta-minta di jalan. Pengemis pasti berharap akan banyak orang yang memberikan uang kepadanya lantaran kasihan terhadap anak yang digendongnya. Padahal uang hasil mengemis tidak seluruhnya diberikan untuk anak tersebut, bahkan sepeserpun anak kecil itu tidak menikmatinya. Inilah posisi agama saat ini, tak sepeserpun agama mendapatkan keuntungan, karena alasannya isu-isu penistaan agama itu pure karna kepentingan politik kekuasaan dan harta.

Hemat saya memang ini murni urusan politik. Bahkan fenomena ini mengingatkan kita pada tragedi Perang Salib yang pada akhirnya banyak dari pelaku perang tersebut menyadari bahwa perjuangan mereka bukan untuk Tuhan dan Agamanya, melainkan untuk kepentingan politik, kekuasaan dan harta. Sebagai umat islam, jangan pernah melupakan sejarah dan hendaknya menjadikan sejarah sebagai pelajaran hidup kita hari ini.

Karakter politisi muslim di Indonesia saat ini memiliki kemiripan dari bentuk dan wujud dari ekspansi islam pada masa awal. Islam lahir dan dibela oleh kaum pejuang. Sehingga dengan cepat islam menyebar dan menaklukkan (ekspansi) daerah-daerah yang belum dikuasai islam. Hal itu dimaksudkan agar daerah atau tanah tersebut dapat dikelola dalam bingkai kekhalifahan dan akhirnya untuk mengibarkan bendera Daar al Islam. Mungkin semangat penaklukkan seperti ini yang mengilhami para politisi kita untuk menaklukkan “pos-pos” kekuasaan birokrasi di Indonesia. Seperti analogi Max Weber bahwa dalam Konfusianisme muatannya adalah tata dunia yang birokratis; dalam Hinduisme, tata dunia yang magis; dalam Budhisme, kekhawatiran para biksu terhadap dunia; dalam Islam, para prajurit yang selalu mencari tanah untuk ditaklukkan; dalam Yahudisme, para pedagang yang selalu kasak-kusuk, dan dalam Kristianitas, para petualang yang selalu berpindah-pindah. Dari sini dapat difahami bahwa terjadi perang kepentingan norma agama dan norma konstitusi Negara.

Dalam hal ini mungkin akan cocok dengan salah satu pernyataan William Franklin Graham Jr. tentang karakter, yaitu; When wealth is lost, nothing is lost, When health is lost, something is lost, When character is lost, everything is lost. Karakter dan norma adalah dua hal yang sangat dekat. Norma atau normation, secara sederhana dapat dikatakan sebagai seperangkat aturan ditengah-tengah masyarakat yang mengatur kehidupan bersama. Ada istilah norma kesusilaan, norma kesopanan, norma Agama bahkan ada juga istilah norma hukum. Dalam konteks keindonesiaan, norma hukum dapat berupa kepatuhan terhadap ideologi Negara Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Semua memiliki aturan atau norma yang berlaku, sehingga dapat difahami secara sederhana bahwa moral merupakan sebuah idea yang tertulis pada norma-norma yang ada. Sehingga dapat diasumsikan bahwa, bangsa Indonesia memiliki struktur sosial yang amat kompleks, mulai dari budaya, adat, agama, bahkan juga kompleks akan norma-norma. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat bahwa norma agama bukan satu-satunya norma yang hendak dijalankan, melainkan disandingkan dengan norma hukum yang berlaku. Karakter politisi saat ini mungkin telah keluar dari norma hukum bangsa Indonesia yang secara tidak langsung melawan amanat ideologi konstitusi Negara untuk bebas memilih. Namun disisi lain, mereka selalu berteriak Nasionalisme.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk meredam isu larangan umat islam memilih pemimpin non muslim diatas. Pertama penguatan Ideologi bangsa Indonesia yang Pancasilais. Sehingga masyarakat akan dapat memilih dan memilah mana kepentingan politik, agama dan kepentingan murni untuk kebaikan masyarakat. Kedua, merumuskan kembali relasi hukum Negara dan hukum Agama yang lebih transormatif. Hal ini didasarkan atas fakta perubahan karakteristik dan pola pikir manusia dari waktu ke waktu. Ketiga, Menguatkan kembali konsep pendidikan Multikultural dan pendidikan inklusif pada tingkat satuan pendidikan sebagai penanaman sejak dini tentang arti keberagaman, pluralis dan saling menghargai.

Oleh:

Muh. Hasan Suryawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...