Translate

KOTA MATARAM BANJIR: TANGGUNG JAWAB SIAPA?


Ada yang menarik saat pemberitaan dibeberapa media akhir-akhir ini, dimana berita ini tak pernah terdengar sebelumnya, yaitu ketika “Kota Mataram banjir”. Banjir yang melanda Kota Mataram agaknya terjadi pada beberapa titik dengan intensitas yang cukup serius. Berita ini tentu menggelitik kupuing karena banjir tersebut terjadi di Kota Mataram yang notabenenya bukan kota industri, bukan kota metropolitan, bukan kota satelit, dan kota dengan jumlah penduduk yang tak terlalu padat.

Kemudian muncul dipemberitaan tentang satu pertanyaan yang juga menggelitik, siapa yang harus bertanggung jawab tentang terjadinya musibah banjir ini?. Tentu sesuai tradisi kita di Indonesia, maka Pemerintahlah yang dalam hal ini paling bertanggung jawab. Sontak, pemerintah daerah kemudian menyalahkan pembangunan dan pengembang karena tak membangun sistem drainase yang memadai. Selain itu, dibeberapa media juga ada yang menyalahkan hujan, karena hujan terlalu lebat dan terjadi dalam waktu yang lama maka tak heran terjadi banjir. Lalu, tanggung jawab masyakarat dimana?.

Sebagai orang yang lahir dan tinggal di Kota Mataram, budaya masyakarat khususnya di kota Mataram memang sedikit pikun terhadap pemeliharaan lingkungan. Mereka menganggap Kota Mataram selamanya akan terhindar dari masalah lingkungan. Sehingga masyakaratnya memperlakukan Lingkungan dengan semaunya. Umumnya, membuang sampah di kota lain dilakukan di tong sampah, kemudian diambil oleh petugas kebersihan dan setelah itu didaur ulang. Sedangkan di salah satu kelurahan di Kota Mataram (mungkin juga di keluarahan lain) tidak terdapat tong sampah dan tidak ada petugas kebersihan. Sehingga masyakarat setiap harinya membuang sampah di selokan, dengan alasan nanti sampah-sampah tersebut akan berhenti di satu pemberhentian, dan disana ada petugas yang akan mengangkatnya. Ini mungkin cara pengaturan sampah terunik di dunia yang dilakukan di kota dengan jargon maju, religius dan berbudaya ini.

Selain itu di Kota Mataram, pengembang dengan kekuatan material yang sangat besar mampu merubah persawahan-persawahan menjadi pemukiman. Tentu ini akan membuat daya resap tanah tidak maksimal lagi. Air yang tak tertampung akan tumpah ke tempat lain, dan banjir pun tak terelakkan. Secara umum, masyarakat lebih bersedia menerima resiko yang dianggap sebagai konsekuensi yang tak terelakkan dari sebuah kemanfaatan yang terdesak. Apakah dengan mengorbankan dan mengekspolitasi lingkungan dengan alasan kebutuhan masyakarat yang mendeasak diperbolehkan?. Padahal dalam islam prinsipnya ialah menghindari keburukan lebih utama daripada memperoleh manfaat.

Rupanya masyarakat di kota Mataram melakukan Zero-Sum Competition atau kompetisi nol antara manusia dan penghuni alam atau lingkungan: jika manusia mengguanakan suatu lokasi, maka lokasi itu tidak lagi alamiah; jika lokasi itu dipertahankan sealamiah mungkin, jelas manusia terbatasi. Sehingga, tak heran jika respon lingkungan akan buruk manakala masyakarat memberikan stimulus yang buruk terhadap lingkungan. Ada benarnya pemerintah mengkritik pengembang yang tak membuat sistem drainase yang memadai, namun yang lebih penting lagi adalah kesadaran masyakarat tentang perlunya menjaga lingkungan. Ini yang belum terlihat.

Masalah lingkungan muncul tentu disebabkan karena ketidakmampuan mengembangkan sistem nilai sosial, gaya hidup yang tidak mampu membuat hidup kita selaras dengan lingkungan. Membangun gaya hidup dan sikap terhadap lingkungan agar hidup selaras dengan lingkungan bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat. Seorang antropolog Annabelle Sabloff menyatakan bahwa masyarakat pra-teknologi ternyata melihat dunia alamiah sebagai suatu yang integral bagi diri mereka dan tidak bisa dipishkan dari kehidupan budaya mereka sehari-hari. Namun saat ini, gaya dan pola masyarakat sangat mendiskriminasikan lingkungan. Padahal, kehidupan keberagamaan khususnya di kota Mataram sangat kental dengan kesilamannya. Seharusnya islam difahami dengan kaffah, Ibadah bukan persoalan shalat, dzikir, naik haji dan semacamnya. Namun Ibadah yang utama juga ialah memelihara hubungan dengan sesama, dengan lingkungan sebagai wujud amanat Khalifah yang diberikan Tuhan.

Saat ini yang dibutuhkan oleh Kota Mataram ialah memupuk kembali kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan agar tetap lesatari. Masyarakat harus tahu bahwa anak cucu mereka akan menikmati hasil dari perilakunya saat ini. Peran serta pemerintah tentu dibutuhkan dalam rangka sosialisasi dan meng-edukasi masyarakat agar senantiasa menjaga lingkungan. Hal itu dapat terjadi manakala pemerintah menyediakan dukungan fasilitas, sarana dan prasaran untuk masyarakat. Sebelum banjir ini menjadi masalah yang akut dan bertengger pada stadium lanjut, maka langka antisipasi masih sangat memungkinkan untuk dilakukan. Salam lestari..!

Oleh: Muh. Hasan Suryawan

(Pemerhati Lingkungan Hidup)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

Islam: Way Of Life

Oleh: Muh. Hasan Suryawan Saat kita mendengar kata islam, maka yang terpikirkan dalam benak kita adalah salah satu agama yang menjadi ke...